Jumat, Agustus 27, 2010

Untuk Han (2)

Oleh: Fariha Ilyas



Siang itu aku berjalan ke arah sungai, tidak seberapa jauh dari rumahku.
Aku tidak ingin berbaring di gubuk kecil di tepi sungai, atau mencelupkan kedua kakiku ke air sambil melihat pak Gito mendorong gethek. Aku ingin bertemu Han, sahabat masa kecilku.

Dari kejauhan kulihat Han sedang terdiam. Kuhampiri kawan yang sebaya denganku itu. Kuucapkan salam kepadanya seperti biasa, namun ia tetap diam.

“Han, aku baru saja datang kemarin dari Solo, sudah 3 minggu aku tak pulang, maafkan aku”

“Han, beberapa malam ini aku selalu teringat tentang dirimu, aku ingat saat kau ke rumahku siang itu. Dengan layang-layang dan segulung benang di tanganmu, aku masih ingat saat kita beradu cepat menyentuh putri malu di sepanjang tepi jalan dekat sawah. Aku belum bisa lupa saat kau kalahkan aku sdalam permainan gasing sore itu. Aku yakin kau pun masih mengingatnya”

Han hanya diam, membisu.

“Han, aku sering lupa bercerita padamu tentang teman-teamn kita dulu. Aku tak tahu apakah mereka sering menjengukmu? Atau mereka telah melupakanmu? Aku tak bisa menceritakan semua padamu karena aku pun jarang bertemu teman-teman kita dulu”.

“Han, maaf jika aku selalu menganggapmu seperti dulu, aku tak bisa mengerti apa maumu sekarang. Dalam benakku kau adalah teman yang riang dan tak pernah sekalipun menyakitiku. Bagiku kau tak tergantikan. Walau kau tak sudu menemaniku bersekolah, tapi tak mengapa. Aku tahu kau sebenarnya juga ingin menyertaiku”.

Han tetap membatu.

“Han, beberapa waktu lalu aku berniat memperkenalkan kekasihku padamu. Dia sangat cantik, tubuhnya tinggi semampai, rambutnya lurus, panjang dan hitam. Dapatkah kau bayangkan dia, Han? Aku rasa sudah saatnya kau juga memiliki kekasih, Han. Dan aku yakin pasti kau juga akan memilki kekasih yang cantik, karena aku tahu jika kau dewasa, aku juga akan menjadi pemuda yang tegap dan tampan”.

“Tapi kenapa, Han? Kenapa kau ingkari janjimu padaku? Kenapa sore itu kau pergi dengan tiba-tiba? Kau belum sempat membuktikan bahwa kau mampu mengalahkanku di kelas, kau juga belum sempat menyaksikan gasing baru yang kusiapkan untuk mengalahkan gasingmu, Han”.

“Han, aku tak pernah menerti kenapa sampai saat ini aku belum mampu merelakan kepergianmu. Kau selalu menjelma saat aku kesepian, kau selalu muncul dengan tawa dan teriakanmu yang tak pernah berubah. Kau samasekali tak berubah. Tapi jika kau muncul, kau tak pernah menyapaku. Apakah kau lupa padaku, Han? Inilah aku sekarang, Han. Aku sudah dewasa. Bukan anak-anak lagi seprti dulu. Apakah itu yang membuatmu tak mengenaliku lagi?”

“Han, kenapa kau tak beranjak dewasa sepertiku? Apakah di sana kau juga bisa bersekolah sepertiku? Apakah kau punya kekasih sepertiku juga?

“Han, aku mulai gelisah, aku gelisah tentang hidup ini. Apakah di sana kau juga gelisah, Han? Apakah kau punya banyak keinginan, Han? Apakah kau juga pernah merasa kecewa di sana? Apakah kau merasakan cinta, kebencian, sakit dan perih? ”

“Han, aku tahu kau takkan pernah bicara, tapi aku juga tahu kau pasti mendengarkanku, dan aku yakin kau pasti mengerti apa yang kupikirkan sejak dulu. Karena kau adalah satu-satunya teman sejatiku”

Aku berdiri, kuucapkan salam pada Han, lalu kuambil satu-persatu langkah berat meniggalkan Han. Han telah mengingkari janjinya padaku 16 Tahun lalu. Ia sengaja ingkar padaku, karena ternyata ia memilih untuk memenuhi janjinya pada Sang pemilik janji.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya