Selasa, Agustus 24, 2010

Dari Lubang Kunci

Oleh: Fariha Ilyas



Surau itu masih berdiri, meski nampak tak kokoh lagi namun sepertinya ia masih akan bertahan beberapa generasi lagi. Hal itu sangat mungkin terjadi saat kusadari bahwa waktu cepat sekali berlalu bagiku, anak kampung. Tanpa terasa lembar-demi lembar hari telah tertumpuk, dan tumpang tindihnya peristiwa sepertinya terlalu sulit diurai kembali dengan teratur.


Namun aku takkan lupa sedikitpun pada apa saja yang terjadi di surau itu, bertahun-tahun lalu. Di surau itulah dulu aku belajar mengeja huruf-huruf arab dengan terbata-bata. Setiap hari, selama beberapa tahun. Di surau itulah aku diperkenalkan kepada sebuah nama agung, nama pencipta semesta raya. Pendek kata, di surau itulah aku mengenal nama tuhan.


Tahun berlalu dengan wajar, saat-saat itu kunikmati selayaknya kehidupan anak-anak kampung, tak ada yang terlalu istimewa mungkin, aku masih saja mengaji setiap hari, sebagaimana yang dilakukan kawan-kawan sebayaku. Saat itu tuhan bagiku mungkin hanya sebuah bayangan besar yang menunggui masjid. Itulah pikiran kanak-kanakku. Aku sering sekali berdo’a kepada tuhan saat aku menginginkan sesuatu, atau tak mampu melakukan sesuatu untuk orang lain. Rasanya hidupku saat itu tanpa sebuah keraguan. Setiap hal yang kulakukan adalah sebuah jalan yang juga ditempuh oleh para pendahuluku.


Sampai pada suatu saat tiba-tiba muncul pertanyaan di benakku : Kenapa kulakukan semua ini? Apa gunanya untukku? Untuk kehidupanku?. Namun saat itu semua hanya berhenti di benakku, tak pernah tergiring lebih jauh lagi.


Aku masih mengaji, kali ini di surau yang berbeda, masih di kampungku. Kampungku yang jauh dari hiruk-pikuk kehidupan luar yang berbeda warna. Saat itu jiwaku sudah ingin keluar dari kepompong pikiran yang mengurungku, namun jalan terang belum kutemukan, setumpuk buku dari abad-abad lampau belum sanggup melontarkanku keluar, menghirup kebebasan berpikir, mencari, dan menjumpai berupa-rupa hal yang ingin kuketahui, mencari tuhan yang kukenal dulu.


Aku mulai berhenti mengaji, karena kehidupan yang baru menarikku untuk menghirup segala kesenagan yang ia tawarkan, aku larut namun tak seberapa lama aku merasa asing, karena sepertinya di kehidupan yang baru itu tuhan tak ada, padahal aku mencarinya. Ia adalah pencarian terbesar dalam hidupku.


Masih saja aku tak mengaji, karena banyak sekali hal-hal yang mulai membuatku mengerti tentang hakikat pencarianku. Aku haus sekali kepada tanda-tanda, sandi-sandi, isyarat-isyarat yang terhampar tak terduga dalam setiap langkah dalam perjalanan hidupku. Kuhabiskan waktuku dalam sepi namun memekakkan telinga dan membisingkan pikiranku. Aku terus belajar untuk melihat semuanya dari sebuah mata baru, pikiran baru, dan hati baru. Kubasuh-basuh segala yang pernah melekat di pikiranku dulu. Walau tak sepenuhnya berhasil, namun setidaknya kali ini kehidupan membentang lebih luas dalam pandanganku.


Tuhan masih samar-samar saja, masih kalah jelas daripada tuhan yang kukenal dulu, tapi tak dapat kupungkiri bahwa dalam bayang ketidakjelasan tuhan, aku merasa ada, merasa hidup. Sampai hari ini aku belum menemukan tuhan yang kukenal dulu, mungkin tuhan itu telah mati, dan sekarang berganti dalam hatiku, tuhan mati dalam hatiku, lalu lahir lagi. Mungkin seperti itu. Aku tak tahu pasti.


Aku masih belum mengaji lagi seperti dulu, membaca firman tuhan yang menjadi penuntun manusia dalam kehidupan fana ini. Lama sekali perpisahan ini, hingga rasanya perjumpaan kecil saja dapat membuat aku tak mampu mengendalikan diri ini. Itu yang kupikirkan.


Tuhan datang lagi, datang lagi. Sulit sekali melepaskannya, atau pergi darinya. Saat yang kucari-cari tak mau pergi sekejap saja dariku, aku merasa segalanya menjadi buruk. Aku hilang lagi dalam keakraban ini. Rindu tak indah lagi, remuk oleh pertemuan-pertemuan tanpa kendali. Kubuat sebuah jarak yang tak logis antara aku dan dia, yang akan membuat langkahku punya ruang untuk kuayunkan lagi menujunya. Itu yang kupikirkan.


Rasanya panjang sekali jalan ini, karena yang kutempuh bukan jalan dalam kehidupan, melainkan kehidupan itu sendirilah jalanku. Ia terbentang tanpa batas yang dapat kuperkirakan. Semua serba tak kumengerti. Tiba-tiba aku rindu kepada tuhanku yang kukenal dulu. Pikiranku yang sekarang rasanya berat sekalu kutanggung. Aku ingin sejenak pulang, pulang ke sebuah perkenalan. Aku ingin indahnya perkenalan lagi, perkenalan tanpa inginku, namun karena inginnya.


Suatu ketika diam-diam kudatangi lagi surau tua tempatku mengaji dulu, tempaku berkenalan dengan nama yang agung. Dari lubang kunci yang sempit kulihat sebuah ruang yang kosong, yang malam nanti akan dipenuhi anak-anak kecil, polos, yang sedang membaca nama agung itu, terus, setiap hari, berdengung-dengung. Anak-anak itu sedang belajar mengenal tuhannya. Yang mungkin saja akan mereka cari nanti, seumur hidupnya.


(Surakarta, 18 Agustus 2010)


0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya