Oleh: Fariha Ilyas
Menunggu ada kalanya terasa mengasyikkan
Banyak waktu kita miliki untuk berfikir
(Ebiet G. Ade)
Cerita ini berawal dari sebuah dunia, dunia yang aneh, aneh kenapa? Hhhmmm kenapa ya? Mungkin karena di dunia yang kuceritakan ini semua nampak janggal. Dunia ini diselimuti udara yang terkontaminasi cinta, tapi cinta yang aneh. Aneh tapi biasa, karena sekarang banyak hal aneh di dunia ini. Jadi, yang biasa lah yang aneh. Aduh, kok cuma muter-muter aja sih!
Baiklah, ini dia, kupu-kupu terbang di saat-saat khusus: Saat menunggu! Haiyyah......
Soal tunggu menunggu, rasanya pekerjaan ini adalah spirit kehidupanku. Hhmm...kok bisa? Ya iyalaaahhh.
Kau dan Rambutmu yang Basah: Setelah maghrib, kuberanikan diri untuk menemuimu. Modalku cuma satu : otakku yang sakit. Hihihi. Lama sekali aku menunggumu. Karena ternyata kau tak percaya bahwa ada seseorang yang sedang menuggumu. Akhirnya kau muncul juga. Dengan senyummu yang khas. Senyum monster yang akan membuat anak kecil ketakutan. Tak bisa kulupakan rampbutmu yang panjang terurai. Dan saat itu rambutmu masih basah.
Kau, Pagi Subuh dan Amarah: Suatu sore kau dan aku sepakat untuk pulang ke kota kita. Kau bertanya padaku jam berapa kita harus berangkat. Kukatakan terserah kau saja lah. Kau bilang jam 5 pagi. Kutunggu kau jam 5 lebih sedikit di halte. Jam 5 lebih 10 menit kau belum juga muncul. Jam 5 lebih seperempat aku berangkat sendiri. 2 menit kemudian kau kabari aku kalau kau sudah di halte. Kukatakan bahwa aku sudah berangkat. Kau katakan aku edan waktu itu.
Kau dan Kecantikanmu: Entah berapa kali aku duduk di bangku panjang dekat tangga. Menunggumu berdandan. Sudah berkali-kali. Dan berkali-kali itu pula aku selalu kagum pada kecantikanmu, kawanku.
Kau, lantai 2 dan Pagi yang Begitu Akrab: setelah hafal bahwa pada hari tertentu kau akan datang pada jam tertentu, aku mulai rajin menunggumu. Hanya sekedar ingin melihatmu. Rambutmu yang panjang melambai karena angin, semua kulihat dari lantai 2. Pagi yang sama terulang-ulang, banyak sekali, dan begitu akrabnya aku dengan pagi itu. Hingga aku yakin bahwa pagi lah yang mengantarmu padaku, kawan. Bukan senja.
Kau, Egoku dan Senja yang Terlewatkan: Suatu waktu dipertengahan Maret, aku mengajakmu ke sebuah tempat, bersama kawan-kawanku. Waktu itu kau menyanggupinya, kita sepakat jam 4 sore berangkat. Kau katakan kau agak terlambat. Kutunggu kau. Namun akhirnya kau kutinggalkan. Kau pun marah. Senja indah soer itu akhirnya terlewatkan tanpamu. Maafkan aku, kawan.
Kau, Sahabatmu dan Lama Menunggu: Di penghujung tahun, kau pergi untuk servis rutin motormu. Kau ditemani sahabatmu. Kira-kira jam 10 kau berangkat. Tapi lama sekali kau di sana. Padahal waktu itu sahabatmu itu harus ujian di pesantrennya. Akhirnya saat sore, selesai juga. Kau antarkan dia ke pesantrennya. Setelah itu kau membeli martabak. Di sore yang basah karena hujan itu aku menyantap martabak itu denganmu. Jika Minke memiliki Annelis dan menyebutnya sebagai “Bunga Akhir Abad”, maka aku menyebut matabak itu dengan “ Martabak Akhir Tahun”.
Huuhh....masih banyak sekali hal-hal yang ingin kuceritakan saat aku menunggu. Dan yakinlah, banyak sekali yang menunggumu, selain diriku, kawan. Dan jika kisah-kisah itu diceritakan, tentu akan menjadi kisah yang sangat panjang. Ayahmu, Ibumu, adalah orang yang paling setia menunggumu, mereka menunggumu, dengan cinta yang sebenarnya. Tidak untuk apa-apa. Mereka menunggumu untuk melihatmu kembali ke rumah. Itu saja.
Menunggu lebih terasa beban yang membosankan
Banyak waktu kita terbuang, tergilas cuaca...
Kupu-kupuku terbang, entah ke mana. Mungkin ia akan menyusuri lorong waktu yang penuh kristal.
(Malam Bising, 24 Mei 2010)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya