Senin, Desember 15, 2014

Khotbah Wayne Mies di Masjid para Imigran

Saudara-saudaraku sekalian..

Jum’at ini kita lagi-lagi berkumpul untuk sembahyang bersama, seperti jum’at-jum’at yang lalu. Saya sebenarnya agak merasa bimbang beberapa hari ini, apa yang harus saya sampaikan untuk diri saya sendiri yang bodoh ini. Saya bisa mangkir, dan memilih untuk menenggelamkan diri di perpustakaan, atau hiking sekadar untuk merasakan kebesaran alam, dan tak perlu lagi saya ucap apa-apa kepada diri saya ini.

Namun, saya pada akhirnya mesti harus tetap menjalankan tugas rutin ini, yang saya tidak tahu apakah saudara-saudara sekalian merasa bosan dengan saya atau tidak. Hari ini, terlalu banyak jalan bagi kita untuk bisa belajar dan mengetahui, menghimpun sebanyak mungkin jawaban bagi rasa ingin tahu kita pada apapun. Termasuk rasa ingin tahu kita kepada Tuhan, dzat yang kita sembah setiap hari, yang membuat kita semua yang berada di sini merasa memiliki sebuah ikatan, sebuah kesamaan.

Saudara-saudaraku yang saya hormati..

Di masjid kita ini seminggu sekali kita berkumpul di sela-sela kesibukan kerja kita, di antara upaya kita memperjuangkan kelangsungan hidup kita ditempat yang jauh dari tanah di mana kita dilahirkan. Sungguh, bagi saya pertemuan dengan saudara-saudara yang berasal dari segala penjuru dunia ini merupakan suatu rahmat yang sangat saya syukuri. Namun demikian, saya merasa ada sesuatu yang mengganjal di benak saya selama bertugas di sini. Apakah kita memiliki tuhan yang sama? Apakah kita menyembah tuhan yang sama?
Saudara-saudara mungkin agak terkejut setelah berada di masjid ini saya justru melontarkan pertanyaan seperti itu? Seolah saya menganggap diri saya dan saudara-saudara sekalian berada di sini dengan suatu alasan yang meragukan. Bukan, bukan seperti itu yang saya maksud.

Saya memimpikan sebuah dialog dengan saudara-saudara sekalian. Dialog yang akan membuka pikiran saya sendiri yang masih banyak berselimut kebodohan dan ketidaktahuan tentang tuhan. Setiap hari beberapa diantara kita yang berjamaah di masjid ini sering berbasa-basi satu-sama lain. Membicarakan pekerjaan, keluarga, rindu kampung halaman dan masa depan. Saya juga seorang imigran, sama dengan saudara-saudara semua, saya tamu di tempat ini. Lalu apa yang membuat kita merasa begitu dekat? Setiap malam saya memikirkan hal ini.

Saya terdorong rasa ingin tahu yang besar untuk menguak pikiran-pikiran kita yang berlapis-lapis. Mungkin ini sebuah kelancangan saya, saya minta maaf jika dianggap demikian. Saya kira dorongan-dorongan semacam itu akan baik jika dengannya saya memahami isi pikiran orang yang menjadi rekan saya berbicara. Selama ini saya merasa bersalah jika menyampaikan khotbah-khotbah yang saya susun berdasarkan pengetahuan saya yang didukung oleh buku-buku yang saya baca. Saya mengajak, menggiring saudara-saudara pada apa yang saya ketahui dan pahami. Saya tidak mengetahui apa yang saudara ketahui dan pahami.

Pikiran saya berontak pada semua ini, hati saya pun merasa tak nyaman. Saya berkeyakinan bahwa saudara-saudara sekalian memiliki pengalaman, keunikan, yang lahir dari perbedaan tempat, budaya, situasi, yang mengitari awal mula hidup kita, mengiringi pertumbuhan kita. Semua itu saya kira sangat memengaruhi diri kita, apa yang terpikir, dan apa yang dirasakan. Untuk itulah tadi saya bertanya-tanya, apakah kita menyembah tuhan yang sama?

Dulu di kampung saya, saat saya masih kecil, saya memahami tuhan saya yang menciptakan ayah ibu saya, laki-laki dan perempuan kaukasoid yang bertulang besar, berambut pirang dan bermata biru. Tuhan saya lah yang menciptakan salju dan dingin yang membekukan saya saat musim dingin tiba. Ia mencipta pohon poplar, dandelion, bunga matahari yang indah warnanya itu. Ketika saya mengenal buku bacaan di sekolahan saya terpukau dengan pelajaran geografi, biologi, antropologi, sejarah, seni, yang membuat saya melihat hal-hal yang tidak saya temui dalam kehidupan saya secara langsung. Saya merasa bahwa pohon itu, yang gambarnya tertera di buku itu bukanlah pohon yang diciptakan tuhan saya, demikian pula dengan bunga-bunga dan binatang itu. Yang paling jauh adalah, saya merasa orang-orang luar negeri yang gambarnya bisa saya lihat di buku itu bukan ciptaan tuhan saya. Saya terkungkung dalam pemahaman semacam itu.

Hari ini, setelah beberapa tahun saya hidup bersama saudara-saudara di sini, setelah banyak waktu kita saling bicara, saya belajar dan mulai berubah. Misalnya saya bertemu dengan saudara saya Mas’oud dari Maroko itu. Saya belajar mengerti banyak, saya mendefinisikan ulang diri saya bertolak dari pemahaman dan perjumpaan-perjumpaan baru. Memang itu hal sepele, hal biasa yang dialami setiap penjelajah dunia. Tapi bukankah selama ini kita terbentuk dari hal-hal yang sepele itu? Sedari kecil saya makan bubur gandum, kentang, kacang, sementara saudara Fadli dari Malaysia kenyang dengan bubur nasi. Bukankah itu sepele belaka? Lalu kita tumbuh besar dari itu semua hingga saat ini. Saya rasa saudara-saudara sekalian juga mengalami apa yang saya rasakan dan pikirkan itu.

Saudara-saudaraku yang saya cintai..

Saya kira, persoalan perubahan keyakinan pada tuhan itu bukan hanya wilayah debat para teolog, menjadi sesuatu yang mesti dilegitimasi dengan setumpuk argumentasi teologis yang dipelajari di sekolah-sekolah. Saya rasa persoalan semacam itu adalah persoalan diri kita dan upaya mengkristalisasi pengalaman hidup kita. Kita mesti menyadari dan menghayati dari mana kita berangkat dan bagaimana kita bermula memahami apa dan siapa itu tuhan. Kita sering melupakan hal itu, dan justru setelah kita dewasa dan bisa mempelajari banyak hal dengan membaca buku dan mendengar ceramah agama, kita tanpa sadar dengan sukarela menukar pengalaman hidup kita dengan pemahaman baru yang disusun oleh pikiran dan disarikan dari pengalaman orang lain. Kita tak percaya diri dengan pengalaman dan penghayatan hidup kita sendiri. Kita sendiri yang menghakimi pengalaman hidup kita ini tak terlampau berarti. Bukankah itu sebuah tragedi?

Kita akan selalu berbeda. Saya yakin hal itu. Tak soal, kita tak perlu takut akan kehilangan ikatan. Yang terpenting dari ini semua adalah saling mengerti perbedaan itu, mengenalinya hingga akarnya, sehingga kita menemui keutuhan pemahaman. Kita tak menuntut terlampau banyak pada orang lain sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kita akan terbebas dari kekhawatiran-kekhawatiran kita soal kebenaran. Selama ini kita menyaksikan ketakutan-ketakutan itu menjangkiti umat manusia hampir di segala jaman dan di segala tempat.

Orang takut kesalahan ada pada dirinya. Ia mesti benar dengan cara membuat yang lain nampak salah. Ia enggan melihat, mendengar, memahami. Sedang untuk merefleksi diri orang tak lagi merasa sempat dan perlu. Diantara berbagai penyakit pikiran ini, marilah kita saling mengenal kembali dengan sungguh-sungguh, dengan niat dan tujuan yang jernih. Agar rasa takut di dalam diri kita ini berangsur lenyap.

Pedih perih dari luka-luka peradaban manusia ini, sebagian besar bukan diakibatkan oleh kebodohan pada mulanya. Ia disebabkan oleh ketakutan, ketakukan melihat kebenaran yang lain di luar diri kita. Bukankah kita telah mengingkari semangat kita sendiri yang setiap saat mendaku sebagai pencari kebenaran? Kita tak sungguh mencari. Kita lebih sering duduk diam, dan menghakimi.

Hari ini bayangan tentang diri kita tak lagi seperti dahulu. Kita dapat saling melihat sejak dini. Bagaimana saudara kita, sesama manusia berpikir dan berbuat di tempat hidupnya. Kita sudah melihat perbedaan. Tapi melihat saja tidak cukup, kita mesti mendorong diri kita untuk mengerti. Tak heran sekarang hidup kita juga masih diwarnai sengketa. Karena kita tidak ingin memahami. Segala yang dapat dengan mudah kita saksikan itu hanya kita biarkan menambah tumpukan asumsi-asumsi negatif. Kita makin brutal menghakimi, bahkan menghakimi diri sendiri pun kita tak lagi punya sandaran jelas.

Ada persoalan yang halus tapi pelik dalam kehidupan kita ini. Sejarah peradaban manusia ini saya anggap sebagai pembentuk siluet tuhan. Tuhan yang beribu tahun selalu mengiringi perjalanan hidup manusia tidak semakin utuh rupanya. Jika kita hanya bisa melihat siluetnya dari tingkah polah kita, sikap kita, apakah salah jika saya mengatakan bahwa tuhan itu tidak jelas? Karena ia selalu mendorong manusia untuk melakuakan hal yang berbeda-beda. Apalah kaum imperialis tak bertuhan? Apakah para penjahat tak bertuhan? Apakah para sufi dan pertapa saja yang bertuhan?

Tindak-tanduk kita, rumusan sikap kita, mencerminkan tuhan macam apa yang kita sembah. Saya percaya, kita punya hak merumuskannya secara pribadi. Karena hidup kita, pikiran, hati kita, diserahkan secara pribadi oleh tuhan kepada kita. Kita menyusuri waktu sebagai pribadi, dan akan kembali kepada tuhan sebagai pribadi.

Pribadi ini adalah alam-alam tersendiri. Seluruh alam adalah ciptaan tuhan, kata sandi tuhan yang kita terima berbeda-beda. Kita mesti belajar memahaminya ke kedalaman diri kita. Lalu dengan itu kita akan berhenti memaksa orang lain untuk mengerti.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya