Senin, Desember 15, 2014

Kejahatan yang Bernyawa

Sekar, malam ini aku tak pulang. Kubalikkan arah setelah hampir saja aku tiba di halaman rumah. Jalanan sepi malam ini. Lebih senyap lagi gang-gang kecil yang kulewati. Di salah satu gang kudapati tikus got yang sepertinya baru saja mati.

Ah, seekor tikus yang mati. Pikiranku melayang jauh ke tanah seberang. Di mana banyak sekali manusia yang mati. Mati dibunuh. Ya, dibunuh dengan keji. Tiada kata yang cukup kasar untuk menggambarkan kebiadaban yang begitu nyata membuat manusia sendiri menjadi cemar namanya. Ya, pelakunya adalah manusia seperti kita juga.

Beberapa jam kuhabiskan di pertigaan jalan yang temaram. Aku merasa ingin pulang. Kubayangkan kau sedang menyeduh kopi dengan dua sendok gula seperti biasanya. Kau tentu mulai gelisah karena aku tak kunjung datang. Aku pun juga. Aku gelisah karena malam ini tak kutemukan alasan untuk pulang agar kita bisa berbincang sebentar sebelum terlelap beberapa jam ke arah pagi.

Sekar, kematian samasekali bukan sesuatu yang mengherankan. Biasa dan wajar adanya. Namun jika kematian itu menggores luka bagi yang hidup maka sebab-sebab kematian itu tentu patut dipertanyakan. Apalagi jika yang tergores tak hanya sekadar luka, melainkan dendam dan kebencian.

Tuhan memang sering membingungkan. Sungguh, dia mengizinkan semua ini terjadi. Tak hanya mengizinkan, tuhan bahkan menginginkannya. Kita lalu mengidamkan perdamaian yang kita yakini bahwa itulah yang diinginkan tuhan. Sekarang apa yang dapat kita simpulkan dari segala kerancuan ini?

Kurasa tak ada yang rancu atau saling meniadakan dari semua ini. Memang benar sepertinya keterbatasan kita tak cukup untuk menampung segala sifat tuhan yang paradoks. Pada akhirnya tugas kita hanyalah memilih diantara sifat-sifatnya yang bisa kita kenakan sebagai jubah. Malam ini kukenakan sehelai jubah tuhan yang paling kelam: kutukan. Sebagaimana banyak orang lain yang memilih mengenakan jubah itu untuk meneguhkan sikapnya pada peristiwa perih yang menyentuh rasa kemanusiaan kita yang terdalam.

Tak ada satupun yang dapat menghindar dari kutukan kita, termasuk dia yang menginginkan semua ini terjadi. Memang kadang-kadang kita perlu nampak terlalu berani menantang. Yang kita tantang tentu bukanlah dia yang tuhan itu, melainkan suatu ruang kosong yang digunakan manusia menempatkan segala alasan untuk membenarkan tindak-tanduknya yang membinasakan dan melenyapkan sesuatu yang samasekali tak mampu ia ciptakan: jiwa-jiwa manusia.

Pada suatu malam yang sama dengan malam ini aku tentu akan benar-benar pulang. Aku takkan memutar langkah seperti malam ini. Memang, malam ini aku sengaja melakukannya. Aku sedang menemui ruang kosong itu. Sungguh, di sana ada berjuta alasan yang membuatku masih memelihara sifat jahat dalam diriku.

Melalui sebuah pintu kecil yang malam ini terbuka, kumasuki ruang itu. Dengan berjuta alasan itulah aku berkelahi. Semoga jiwaku tak mati malam ini. Jika aku mati maka esok hari yang datang kepadamu bukanlah aku si manusia, melainkan kejahatan yang bernyawa.

Sungguh, para pembunuh itu sebenarnya telah mati terlebih dahulu daripada yang dibunuh. Jiwa manusia dalam diri mereka telah kalah dan binasa. 

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya