Sabtu, Januari 15, 2011

Darat, Air, dan Udara (Sekaligus Darah)

Oleh: Fariha Ilyas


Manusia, adalah entitas paling misterius di alam raya ini. Kadang merupakan sebuah hal yang mengherankan jika menilik bagimana manusia bisa termakan rasa penasarannya terhadap benda-benda langit, pada alien, pada hamparan bintang di galaksi antah berantah? Sedang pertanyaan esensial tentang diri manusia selalu meleset seiring perilaku manusia yang terus berubah.


Dulu, dengan segala keterbatasannya, manusia hidup di daratan saja. Sejarah perang melulu hanya terjadi di daratan, darah manusia hanya tumpah di daratan saja. Seiring kemajuan peradabannya manusia dapat menguasai wilayah yang berupa air dan udara, mampu hidup di air, mampu hidup di udara, bahkan di ruang hampa udara. Inilah kelebihan akal pikiran yang diberikan tuhan kepada manusia.


Peradaban yang terus berubah, yang katanya bergerak maju, selain membawa kemajuan yang sebenarnya juga membawa pembiadaban yang sebenarnya. Inilah sebuah titik keseimbangan dalam setiap langkah manusia. Sejarah perang ternyata selalu bertaburan di sekeliling kehidupan manusia, di manapun tempatnya berada. Laut sudah berbau anyir darah, udara pun demikian adanya, menyusul daratan yang telah meresapkan darah manusia semenjak kehidupan manusia baru dimulai dari sebuah keluarga kecil yang pertama.


Bagaimana wajah masa depan? Apakah ilmu manusia akan membuka lagi medan pertumpahan darah yang sudah habis di bumi ini?


Darah rupanya begitu penting, melebihi identitas manusia sendiri. Atau, darah itulah jejak identitas kita?


(Surakarta, 15 Januari 2011)







Baca Selengkapnya... → Darat, Air, dan Udara (Sekaligus Darah)

Tulisan “Ngelantur” : Tentang Jembatan dan Tembok

Oleh: Fariha Ilyas





Dari dulu saya selalu tertarik pada jembatan, semenjak di kampung saya suka duduk di bawah jembatan, hingga sekarang saya hidup di daerah yang katanya berlabel "kota", saya masih suka nongkrong-nongkrong di bawah jembatan yang tak jauh dari kos saya di dekat Taman Jurug, Solo. Saya juga hampir tidak bisa menghindar untuk tidak berlama-lama menatap tembok, karena setiap hari saya hidup di antara tembok-tembok yang mengelilingi saya. Namun demikian, tak satu pun pernah saya tulis tentang jembatan dan tembok. Tak pentinglah apakah yang saya maksud di sini adalah jembatan yang bermakna konotatif atau denotatif. Kita ambil subtansinya saja, bahwa jembatan adalah penghubung.


Banyak sekali fungsi jembatan, dalam sebuah buku lama pernah ada kisah bahwa betapa sebuah jembatan mampu merubah banyak aspek kehidupan di suatu wilayah. Banyak sekali kisah tentang hal ini, hampir di setiap belahan bumi ada cerita tentang jembatan. Di mana saja jembatan itu berada, tentu ia mempunyai fungsi vital dalam kehidupan masyarakatnya. jembatan adalah salah satu saja dari sekian banyak jawaban yang dihasilkan manusia berkenaan dengan persoalan hidupnya.


Sebenarnya banyak sekali "soal-soal" yang telah dijawab oleh manusia, gelap malam dijawab oleh manusia dengan menciptakan lampu. Soal jauhnya benda-benda angkasa dijawab dengan teleskop, dengan pesawat antariksa, jauhnya wilayah dijawab dengan sepeda, motor, mobil, kereta, pesawat, telepon, internet, dan lain sebagainya.


Sampai di sini saja soal jembatan yang berkaitan dengan “soal-soal alam”. Yang jelas jembatan sebagai penghubung juga menyangkut manusia yang berbahasa, berbagai bahasa yang ada, yang jumlahanya sangat banyak tentunya, melulu sebagai jembatan yang menghubungkan pikiran-pikiran kita, maksud kita, kepada orang lain. Jadi di sini dapat dipahami bahwa jembatan memang dibutuhkan, entah setelah itu bisa saja disalahgunakan, tapi itu soal belakangan. Yang terpenting adalah kita perlu banyak sekali jembatan untuk dibangun terlebih dahulu.


Berbeda dengan tembok, tembok-tembok yang kasat mata yang (materiil sifatnya) tentu berkaitan juga dengan hal-hal yang bersifat praktis, tembok berfungsi sebagai penyekat anta ruang, penutup ruang, penyangga atap, dan sebagainya. Tembok yang paling terkenal di dunia: Tembok Besar China, Tembok Berlin, dan Tembok Ratapan. Yang pertama lebih condong pada fungsi praktis sebagai sebuah benteng penghalang bagi musuh yang akan menyerang sebuah wilayah, yang kedua sebenarnya juga berfungsi hampir sama, sebagai pembatas saja, namun tembok berlin lebih dari itu, tembok tersebut merupakan pemisah sebuah ideologi, tembok yang dibangun di atas fondasi yang politis sifatnya. Yang ketiga lebih berfungsi sebagai sebuah simbol, simbol tentang batas jangkau kekuatan manusia, titik berhenti upaya manusia, sekaligus titik berangkat upaya manusia mencapai sesuatu di luar dirinya.


Ketiga tembok tersebut masih dalam bentuk benda fisik walau pada akhirnya harus masuk dalam kategori yang berbeda. Lalu bagaimana tentang tembok-tembok yang tak kasat mata? Tembok-tembok non fisik? tembok-tembok yang terbangun di dalam pikiran kita ini? Tembok-tembok yang terbangun oleh pengetahuanyang kita cecap, cerna, dan kita pahami.


Bagaimanapun juga tembok-tembok ini tidak sekedar sebagai tembok pemisah, yang membatasi secara mental diri kita dengan hal-hal di luar diri kita, di luar pemahaman kita, di luar keyakinan kita. Tembok-tembok ini ambigu sifatnya, tembok ini seperti tembok kaca bening. Memungkinkan kita menjangkau hal-hal di luar yang kita yakini (keyakinan ini yang membentuk tembok tersebut) sekaligus menjadi batas antara diri kita, pemahaman kita, keyakinan kita, dengan segala hal di luar itu semua. Di sinilah awal mula terjadi konflik dalam pikiran kita. Bukankah tembok-tembok pikiran itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang tertutup, keras, tak tergoyahkan?


Ideologi, agama, keyakinan, selalu membangun tembok-tembok yang sulit dijelaskan tapal batasnya dalam pikiran kita, namun pada akhirnya dalam kehidupan nyata, seolah-olah tembok-tembok ambigu ini menjadi begitu jelas dan mengakibatkan banyak malapetaka buatan, malapetaka yang diciptakan oleh manusia sendiri, manusia dengan kebebalannya membangun tembok-tembok tinggi untuk mengisolasi dirinya dari hal-hal di luar dirinya, dari kebenaran yang mungkin datang menggantikan kebenaran sebelumnya, dari kebijaksanaan.


Tembok-tembok yang berdiri kokoh, yang dibangun oleh manusia dalam rangka “memberi batas” adalah wujud kekerdilan manusia. Manusia pemberi batas adalah manusia yang tidak jujur pada diri dan pikirannya, pikiran yang sebenarnya selalu berisi paradoks.


Kant membangun jembatan antara Rasionalisme dan Empirisme, problem epistemologi yang hampir berlumut menjadi sedikit terpecahkan walau tidak benar-benar rampung sempurna. Tembok berlin diruntuhkan dan jutaan manusia bersukacita, kebekuan mencair sudah. Anak-anak di magelang susah ke sekolah karena jembatan yang roboh dihempas banjir lahar dingin. Banyak sekali jembatan yang harus dibangun, dan banyak sekali tembok yang harus diruntuhkan. Namun tentunya tembok-tembok rumah saudara kita yang roboh perlu didirikan kembali. Jadi sikap kita adalah: Selektif dan kritis terhadap tembok, sambil berupaya membangun banyak jembatan. Ya, karena kita harus menjawab "soal-soal" itu......


(Surakarta, 15 Januari 2011)




Baca Selengkapnya... → Tulisan “Ngelantur” : Tentang Jembatan dan Tembok

Fariha Ilyas Seorang Agnostik?

Oleh: Fariha Ilyas


Hidup adalah lembar - lembar kosong, ia berwarna sesuai dengan apa yang kita goreskan. Yang kita kerjakan sepanjang hidup bukan melulu mengukir sejarah, namun mengidentifikasi diri yang selalu berubah.


Beberapa kali mendapat pertanyaan yang gimana gitu dari seorang teman. Hampir setiap bertemu selalu mengajukan pertanyaan yang sama “Mas, agamamu ki opo to?”. Tidak aneh sebenarnya, karena memang cukup sulit mencari jawabannya, apalagi untuk teman-teman yang baru mengenal saya.


Pertanyaan semacam ini pernah juga terlontar dari seorang teman yang sebenarnya belum lama saya kenal waktu itu, belum banyak pembicaraan di antara kami, namun tiba-tiba saja dia bertanya “Mas, apa mas ini berpaham sekuler?”, waktu itu pertanyaan tersebut juga tidak saya jawab. Kena semua pertanyaan semacam itu tidak saya jawab?. Sederhana saja, saya tidak mau “melabeli” diri saya sendiri.


Saya memang terlahir sebagai dari keluarga muslim yang taat, semenjak kecil sudah akrab dengan ajaran-ajaran islam yang memang masih cukup kental di desa kelahiran saya, apalagi ada sebuah pesantren modern di lingkungan tempat tinggal saya. Singkat kata, saya lahir dalam kondisi lingkungan keagamaan yang cukup baik. Namun demikian apa yang membentuk diri saya sekarang ini bukanlah melulu dari tempat saya dilahirkan, tempat saya bersekolah, namun sepanjang yang saya rasakan, hampir saja setiap orang menjadi “apa yang dipikirkannya”. Kalau pun toh sekarang ini saya terlihat seperti seorang agnostik, bisa saja itu benar, bisa juga tidak. Ada banyak persepsi orang tentang diri saya, sesuai dengan pandangan mereka masing-masing. Sesuai dengan sikap saya kepada mereka.


Saya merasa bahagia sekali dikaruniai kegelisahan yang luar biasa pada diri saya, hingga sampai hari ini saya masih punya keberanian untuk terus mempertanyakan diri saya sendiri. Kadang-kadang jawaban-jawaban itu datang dari luar diri saya. Sekali lagi saya tidak ingin melabeli diri saya. Inilah saya, dan biarkan saja gambaran diri saya melekat apa adanya dalam pikiran semua orang yang simpatik dan baik kepada saya, atau bahkan pada orang-orang yang membenci saya.


Saya tidak tahu akan sampai kapan bersikap sepeti ini, bagi saya, hidup ini adalah soal pemaknaan, tidak perlu takut berpikir berbeda, toh orang sulit sekali mengetahui apa yang ada dalam pikiran dan hati kita, demikian juga diri kita yang tidak bisa memastikan isi hati dan pikiran orang lain. Jadi fokus saja pada apa yang kita pikirkan, persoalan benar atau salah itu urusan zaman. Zaman yang akan menghakiminya.


Hidup masih akan terus berjalan. Satu hal yang menjadi ketakutan saya adalah: jika saya tidak pernah menemukan diri saya di belantara manusia beserta seluruh pikirannya. Saya selalu was-was jika saya ternyata hanyalah mayat yang sedang menjalani kehidupan tak bermakna, menunggu kematian saya yang kedua.


Bagi saya, hidup adalah perjalanan spiritual, dan spiritual itu lebih dari hal-ihwal yang berhubungan dengan agama, apalagi sekedar ritualnya. Jadi beginilah jawaban saya tentang pertanyaan teman tersebut, dan saya rasa jawaban yang agak panjang ini malah tidak memuaskan untuk seseorang yang sekedar ingin tahu.


(Surakarta, 8 januari 2011)




Baca Selengkapnya... → Fariha Ilyas Seorang Agnostik?