Oleh: Fariha Ilyas
Dari dulu saya selalu tertarik pada jembatan, semenjak di kampung saya suka duduk di bawah jembatan, hingga sekarang saya hidup di daerah yang katanya berlabel "kota", saya masih suka nongkrong-nongkrong di bawah jembatan yang tak jauh dari kos saya di dekat Taman Jurug, Solo. Saya juga hampir tidak bisa menghindar untuk tidak berlama-lama menatap tembok, karena setiap hari saya hidup di antara tembok-tembok yang mengelilingi saya. Namun demikian, tak satu pun pernah saya tulis tentang jembatan dan tembok. Tak pentinglah apakah yang saya maksud di sini adalah jembatan yang bermakna konotatif atau denotatif. Kita ambil subtansinya saja, bahwa jembatan adalah penghubung.
Banyak sekali fungsi jembatan, dalam sebuah buku lama pernah ada kisah bahwa betapa sebuah jembatan mampu merubah banyak aspek kehidupan di suatu wilayah. Banyak sekali kisah tentang hal ini, hampir di setiap belahan bumi ada cerita tentang jembatan. Di mana saja jembatan itu berada, tentu ia mempunyai fungsi vital dalam kehidupan masyarakatnya. jembatan adalah salah satu saja dari sekian banyak jawaban yang dihasilkan manusia berkenaan dengan persoalan hidupnya.
Sebenarnya banyak sekali "soal-soal" yang telah dijawab oleh manusia, gelap malam dijawab oleh manusia dengan menciptakan lampu. Soal jauhnya benda-benda angkasa dijawab dengan teleskop, dengan pesawat antariksa, jauhnya wilayah dijawab dengan sepeda, motor, mobil, kereta, pesawat, telepon, internet, dan lain sebagainya.
Sampai di sini saja soal jembatan yang berkaitan dengan “soal-soal alam”. Yang jelas jembatan sebagai penghubung juga menyangkut manusia yang berbahasa, berbagai bahasa yang ada, yang jumlahanya sangat banyak tentunya, melulu sebagai jembatan yang menghubungkan pikiran-pikiran kita, maksud kita, kepada orang lain. Jadi di sini dapat dipahami bahwa jembatan memang dibutuhkan, entah setelah itu bisa saja disalahgunakan, tapi itu soal belakangan. Yang terpenting adalah kita perlu banyak sekali jembatan untuk dibangun terlebih dahulu.
Berbeda dengan tembok, tembok-tembok yang kasat mata yang (materiil sifatnya) tentu berkaitan juga dengan hal-hal yang bersifat praktis, tembok berfungsi sebagai penyekat anta ruang, penutup ruang, penyangga atap, dan sebagainya. Tembok yang paling terkenal di dunia: Tembok Besar China, Tembok Berlin, dan Tembok Ratapan. Yang pertama lebih condong pada fungsi praktis sebagai sebuah benteng penghalang bagi musuh yang akan menyerang sebuah wilayah, yang kedua sebenarnya juga berfungsi hampir sama, sebagai pembatas saja, namun tembok berlin lebih dari itu, tembok tersebut merupakan pemisah sebuah ideologi, tembok yang dibangun di atas fondasi yang politis sifatnya. Yang ketiga lebih berfungsi sebagai sebuah simbol, simbol tentang batas jangkau kekuatan manusia, titik berhenti upaya manusia, sekaligus titik berangkat upaya manusia mencapai sesuatu di luar dirinya.
Ketiga tembok tersebut masih dalam bentuk benda fisik walau pada akhirnya harus masuk dalam kategori yang berbeda. Lalu bagaimana tentang tembok-tembok yang tak kasat mata? Tembok-tembok non fisik? tembok-tembok yang terbangun di dalam pikiran kita ini? Tembok-tembok yang terbangun oleh pengetahuanyang kita cecap, cerna, dan kita pahami.
Bagaimanapun juga tembok-tembok ini tidak sekedar sebagai tembok pemisah, yang membatasi secara mental diri kita dengan hal-hal di luar diri kita, di luar pemahaman kita, di luar keyakinan kita. Tembok-tembok ini ambigu sifatnya, tembok ini seperti tembok kaca bening. Memungkinkan kita menjangkau hal-hal di luar yang kita yakini (keyakinan ini yang membentuk tembok tersebut) sekaligus menjadi batas antara diri kita, pemahaman kita, keyakinan kita, dengan segala hal di luar itu semua. Di sinilah awal mula terjadi konflik dalam pikiran kita. Bukankah tembok-tembok pikiran itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang tertutup, keras, tak tergoyahkan?
Ideologi, agama, keyakinan, selalu membangun tembok-tembok yang sulit dijelaskan tapal batasnya dalam pikiran kita, namun pada akhirnya dalam kehidupan nyata, seolah-olah tembok-tembok ambigu ini menjadi begitu jelas dan mengakibatkan banyak malapetaka buatan, malapetaka yang diciptakan oleh manusia sendiri, manusia dengan kebebalannya membangun tembok-tembok tinggi untuk mengisolasi dirinya dari hal-hal di luar dirinya, dari kebenaran yang mungkin datang menggantikan kebenaran sebelumnya, dari kebijaksanaan.
Tembok-tembok yang berdiri kokoh, yang dibangun oleh manusia dalam rangka “memberi batas” adalah wujud kekerdilan manusia. Manusia pemberi batas adalah manusia yang tidak jujur pada diri dan pikirannya, pikiran yang sebenarnya selalu berisi paradoks.
Kant membangun jembatan antara Rasionalisme dan Empirisme, problem epistemologi yang hampir berlumut menjadi sedikit terpecahkan walau tidak benar-benar rampung sempurna. Tembok berlin diruntuhkan dan jutaan manusia bersukacita, kebekuan mencair sudah. Anak-anak di magelang susah ke sekolah karena jembatan yang roboh dihempas banjir lahar dingin. Banyak sekali jembatan yang harus dibangun, dan banyak sekali tembok yang harus diruntuhkan. Namun tentunya tembok-tembok rumah saudara kita yang roboh perlu didirikan kembali. Jadi sikap kita adalah: Selektif dan kritis terhadap tembok, sambil berupaya membangun banyak jembatan. Ya, karena kita harus menjawab "soal-soal" itu......
(Surakarta, 15 Januari 2011)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya