Sabtu, Januari 15, 2011

Fariha Ilyas Seorang Agnostik?

Oleh: Fariha Ilyas


Hidup adalah lembar - lembar kosong, ia berwarna sesuai dengan apa yang kita goreskan. Yang kita kerjakan sepanjang hidup bukan melulu mengukir sejarah, namun mengidentifikasi diri yang selalu berubah.


Beberapa kali mendapat pertanyaan yang gimana gitu dari seorang teman. Hampir setiap bertemu selalu mengajukan pertanyaan yang sama “Mas, agamamu ki opo to?”. Tidak aneh sebenarnya, karena memang cukup sulit mencari jawabannya, apalagi untuk teman-teman yang baru mengenal saya.


Pertanyaan semacam ini pernah juga terlontar dari seorang teman yang sebenarnya belum lama saya kenal waktu itu, belum banyak pembicaraan di antara kami, namun tiba-tiba saja dia bertanya “Mas, apa mas ini berpaham sekuler?”, waktu itu pertanyaan tersebut juga tidak saya jawab. Kena semua pertanyaan semacam itu tidak saya jawab?. Sederhana saja, saya tidak mau “melabeli” diri saya sendiri.


Saya memang terlahir sebagai dari keluarga muslim yang taat, semenjak kecil sudah akrab dengan ajaran-ajaran islam yang memang masih cukup kental di desa kelahiran saya, apalagi ada sebuah pesantren modern di lingkungan tempat tinggal saya. Singkat kata, saya lahir dalam kondisi lingkungan keagamaan yang cukup baik. Namun demikian apa yang membentuk diri saya sekarang ini bukanlah melulu dari tempat saya dilahirkan, tempat saya bersekolah, namun sepanjang yang saya rasakan, hampir saja setiap orang menjadi “apa yang dipikirkannya”. Kalau pun toh sekarang ini saya terlihat seperti seorang agnostik, bisa saja itu benar, bisa juga tidak. Ada banyak persepsi orang tentang diri saya, sesuai dengan pandangan mereka masing-masing. Sesuai dengan sikap saya kepada mereka.


Saya merasa bahagia sekali dikaruniai kegelisahan yang luar biasa pada diri saya, hingga sampai hari ini saya masih punya keberanian untuk terus mempertanyakan diri saya sendiri. Kadang-kadang jawaban-jawaban itu datang dari luar diri saya. Sekali lagi saya tidak ingin melabeli diri saya. Inilah saya, dan biarkan saja gambaran diri saya melekat apa adanya dalam pikiran semua orang yang simpatik dan baik kepada saya, atau bahkan pada orang-orang yang membenci saya.


Saya tidak tahu akan sampai kapan bersikap sepeti ini, bagi saya, hidup ini adalah soal pemaknaan, tidak perlu takut berpikir berbeda, toh orang sulit sekali mengetahui apa yang ada dalam pikiran dan hati kita, demikian juga diri kita yang tidak bisa memastikan isi hati dan pikiran orang lain. Jadi fokus saja pada apa yang kita pikirkan, persoalan benar atau salah itu urusan zaman. Zaman yang akan menghakiminya.


Hidup masih akan terus berjalan. Satu hal yang menjadi ketakutan saya adalah: jika saya tidak pernah menemukan diri saya di belantara manusia beserta seluruh pikirannya. Saya selalu was-was jika saya ternyata hanyalah mayat yang sedang menjalani kehidupan tak bermakna, menunggu kematian saya yang kedua.


Bagi saya, hidup adalah perjalanan spiritual, dan spiritual itu lebih dari hal-ihwal yang berhubungan dengan agama, apalagi sekedar ritualnya. Jadi beginilah jawaban saya tentang pertanyaan teman tersebut, dan saya rasa jawaban yang agak panjang ini malah tidak memuaskan untuk seseorang yang sekedar ingin tahu.


(Surakarta, 8 januari 2011)




2 komentar:

Merlyna mengatakan...

aih... tulisan yang satu ini sangat beresonansi dengan pengalaman saya. tidak ada label yang tepat untuk menggambarkan seseorang yang terus menerus bertanya (dan menjawab) dan berrefleksi (dan merefleksikan) ttg hidup, kehidupan, keTuhanan, dan kemanusiaan...

kegelisahan yang datang dari keingintahuan adalah sebuah berkah, saya setuju :)

Unknown mengatakan...

Yups....Jauh di dalam diri setiap manusia tentu ada pertanyaan "macam-macam". Saya hanya menuliskannya sebagai bagian kecil saja dari upaya saya untuk memahami kehidupan ini dengan pandangan yang lebih luas dan bebas. Seperti yang mbak Mer lakukan juga, hehe, Salam damai dari saya mbak Mer...

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya