Jumat, Desember 31, 2010

Narasi Malam

Oleh: Fariha Ilyas




Malam ini ada banyak orang yang sedang hanyut dalam sebuah novel yang dibacanya, entah itu kisah cinta usang, atau sebuah cerita tentang makhluk-makhluk dan peristiwa imajinasi. Malam seperti ini laksana teman bagi mereka.


Malam ini ada banyak orang yang terjaga demi mendaras angka-angka, memecahkan hitungan-hitungan rumit demi tanggung jawabnya pada bidang ilmu yang ditekuninya. Malam seperti ini menjadi semacam bukti relativitas waktu bagi mereka yang merasa waktu berjalan tak seperti biasanya.


Malam ini ada banyak orang yang menjelang tidurnya masih memikirkan rangkaian gerak koreografis, demi terciptanya sebuah tarian yang memukau. Sebagian yang lain masih menggores-gores cat minyak di atas permukaan kanvasnya yang lebar dan menantang. Ada pula yang sedang menggesek dawai biolanya, mencari nada-nada yang tepat, menyatukannya dalam komposisi yang utuh dan harmonis. Malam bagi mereka adalah sebuah telaga inspirasi.


Malam ini ada banyak orang yang tak henti bergoyang, berbicara tak jelas dengan separuh kesadarannya, dengan dibasahai tajamnya alkohol yang menjalar mengikuti aliran darahnya. Sebagian yang lain sedang berolah asmara dengan wanita-wanita tuna susila yang sama-sama muak dengan kehidupannya sendiri. Malam bagi mereka adalah sebuah tempat persembunyian sekaligus pembebasan.


Malam ini ada banyak orang yang selalu terjaga, dengan pikirannya yang tak lepas dari satu titik. Seseorang yang kehilangan rasa di luar dirinya, orang-orang yang khusyuk dalam sebuah perjalanan transenden. Orang-orang ini sedang mendekatkan dirinya pada tuhan. Malam bagi mereka adalah bukan malam, bukan pagi, bukan sore, ataupun siang. Malam bukan apa-apa.


Malam ini banyak orang yang sedang tidur lelap sekali, dengan aneka mimpi yang merupakan kelanjutan dari kehidupannya hari ini. Rutinitas yang tak perlu dipikirkan lagi. Malam bagi mereka adalah bius.


Malam ini banyak orang yang sedang menahan sakit yang sebenarnya telah menjadi teman setianya beberapa tahun belakangan ini. Malam bagi mereka adalah sebuah keberlanjutan dari apa saja yang mereka rasakan.


Malam ini ada banyak sekali bayi yang lahir, dengan membawa berbagai harapan akan masa depan, baik sempit ataupun luas konsep masa depan yang kita pikirkan itu. Malam bagi bayi-bayi ini adalah sebuah dunia baru.


Malam ini banyak orang yang sedang berdebar-debar karena esok ada sebuah keputusan yang harus diambil, esok adalah hari yang dianggapnya sebagai sebuah hari penentuan dan perubahan. Malam bagi mereka adalah sebuah batas.


Malam ini ada yang banyak kelompok orang yang sedang menempuh sebuah perjalanan panjang. Mereka kelelahan, bimbang, dan mulai terganggu akan keputusan yang belum lama diambilnya. Malam bagi mereka adalah pengundang keraguan.


Malam ini ada banyak orang yang sedang mengingat sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Entah seseorang, benda, atau peristiwa. Malam seperti ini adalah saat yang memberi kebebasan bagi masa lalu untuk menyeruak ke luar.


Malam ini banyak orang yang sedang menulis, menulis apa saja, tentang mimpi, tentang dunia baru dengan peristiwa-peristiwa khayali, atau tentang sebuah angan tak sampai yang dilempar tanpa ampun menjadi sebuah dongeng. Malam seperti ini adalah saat sublimasi.


Malam ini banyak sekali orang yang duduk terpekur di emperan toko, di kota-kota yang tak peduli. Malam seperti ini adalah derita, karena malam tak memberi jawaban akan hari esok yang diri mereka sendiri pun tak pernah yakin.


Malam ini banyak muda-mudi yang sedang meratap karena merasa cintanya kandas, atau baru saja merasakan siksaan rindu yang mudah saja meruntuhkan akal waras manusia. Malam seperti ini bagi mereka adalah saat kehilangan, kehilangan sesuatu yang tak ada.


Malam ini banyak orang tua yang saling bicara lirih di tempat tidur, tentang anak-anak mereka yang mulai berubah, bertumbuh, entah sesuai yang mereka harapkan atau tidak. Malam seperti ini adalah sebuah ruang perbandingan antar generasi.


Malam ini banyak sekali orang mati. Ada yang ditangisi, ada pula yang mengundang gelak tawa. Ada yang mati karena sakit, ada yang mati karena dibunuh, ada juga yang mati bunuh diri. Bagi mereka malam ini adalah pintu rahasia terbesar dalam hidup.


Malam ini ada banyak orang yang sedang merenung, mengenali dirinya kembali. Mengidentifikasi kembali sosok paling misterius di bumi ini, diri mereka sendiri. Bagi mereka malam seperti ini adalah sebuah kemungkinan akan datangnya cahaya kebenaran.


Malam seperti ini adalah narasi tak berkesudahan tentang hidup, tentang manusia yang membuat narasi itu sendiri. Manusia hidup di dalam kepungan narasi yang dicerapnya semenjak ia mampu berpikir. Manusia lalu menjalani kehidupan diantara narasi-narasi yang tumpang tindih antara masa lalu dan masa depan, dan titik ambiguitas kedua narasi itulah masa kini.



(Untuk orang-orang yang kucintai, kubanggakan dalam hidup. 31 Desember 2010


Baca Selengkapnya... → Narasi Malam

Tentang Wanita Itu

Seraut wajah anak perempuan kadang masih muncul menggangguku, itulah kau, Ibu. Itu kau dalam inginku. Sedari dulu aku ingin melihatmu, menemuimu di masa kanak-kanakmu. Aku ingin menyaksikan masa kecil seorang wanita yang kelak akan bertaruh nyawa melahirkanku, merawatku hingga tumbuh dewasa. Itu saja.


Hari ini adalah hari yang biasa, dan seperti biasa kujalani semuanya, juga dengan biasa. Hari ini hujan, dan selepas hujan kali ini aku berkeinginan untuk kembali menghabiskan malam dengan menggoreskan warna-warna yang kusukai di atas kertas-kertas putihku.


Waktu berjalan wajar, saat ini sulit sekali kutemukan fokus, bayang-bayangmu yang sedang terbaring lemah di rumah sakit terus saja menghantuiku. Ibu, sebenarnya lama sekali ingin kuceritakan semua ini kepadamu, namun aku tak punya kekuatan demi melihatmu yang nampak lelah dengan pergulatan hidupmu untukku, untuk adik-adikku. Kusimpan saja semuanya dalam hati.


Sekarang tak ada lagi alasan untuk menyembunyikan semua ini darimu, ini antara aku dan kau Ibu. Kau kuingat sebagai seorang perempuan yang berhati putih, kau tak pernah memikirkan hal-hal aneh dan tidak penting. Hidupmu lurus. Kau hanya tahu bagaimana berbuat baik pada sesama, kau tak tahu cara menyakiti orang lain, tak pernah, tak pernah kulihat itu sepanjang waktu bersamamu, hingga kini, bahkan kau lebih memilih disakiti daripada menyakiti. Tak heran saat kau harus terbaring tak berdaya, banyak sekali orang yang menjengukmu, aku baru mengerti sepenuhnya tentang siapa kau sebenarnya.


Dulu, sebelum aku dekat denganmu, aku tak pernah tersentuh terlalu dalam saat aku melihatmu, bagiku kau adalah seorang wanita yang melahirkanku, yang merawatku, itu saja. Kejadian-kejadian yang kualami dulu sedikit demi sedikit membuka pikiranku. Waktu aku terbaring di rumah sakit 9 tahun lalu karena kecelakaan, kakak berbisik kepadaku dengan mata berkaca-kaca “kamu adalah anak kesayangan Ibu, tapi kenapa kamu seperti ini?”, waktu itu hatiku terasa mencair....diam-diam aku menangis. Aku juga telah mendengar cerita tentang peristiwa kelahiranku dulu, waktu itu Ibu mengalami pendarahan hebat hingga hilang kesadaran, dulu tak pernah terpikir olehku bahwa pertaruhan nyawa itu benar-benar kau alami. Kau bertahan, dan ternyata saat itulah kuterima anugerah terbesar dalam kehidupanku.


Setelah itu hari-hari terasa berbeda dari sebelumnya, aku lebih sering berada di dekatmu, memasak, mencuci piring, hampir setiap hari aku bersamamu di dapur kita. Tak bisa kutuliskan betapa banyak hal yang kita bicarakan di dapur kita, tapi aku selalu mengingatnya, selalu.


21 Juli 2006, sore itu aku mengalami kecelakaan lagi hingga tulang fibulaku patah. Aku tak berani pulang ke rumah waktu itu, aku selalu takut dengan amarah ayah. Tapi apa yang kubayangkan tak terjadi, waktu itu ayah tak memarahiku, dan kau sepenuh hati merawatku, membantuku ke kamar mandi atau sekedar berpindah tempat di dalam rumah.


28 Juli 2006, siang itu aku harus menjalani operasi tulang, tak banyak yang dapat kuingat selain pagi yang biasa di hari jum’at. Tapi ada hal yang takkan mungkin kulupakan, sekitar jam empat sore aku keluar dari ruang operasi, masih dalam pengaruh obat bius kulihat kau berdiri di samping ayah, menatapku yang masih dalam keadaan setengah sadar. Entah kenapa, momen itu selalu memaksa air mataku keluar jika aku mengingatnya. Saat itu aku tak mampu berkata-kata, jika ada hal yang terucap dari mulutku waktu itu, itu adalah sebuah kalimat “terimakasih Ayah, Ibu”. Lalu sesudah itu banyak sekali episode-episode yang masih saja berhamburan keluar dari memoriku.


Ibu, semua hal yang telah kau lakukan, dan masih kau lakukan hingga kini, menjadikanku gamang menceritakan diriku sekarang, imanku sekarang, sikapku sekarang. Sulit rasanya bagiku untuk diam, diam dalam kegelisahanku ini. Aku ingin selalu berbagi cerita kepadamu, tak ada yang ingin kulewatkan dalam hidupku tanpa sepengetahuanmu, namun aku tak yakin jika harus kukatakan semuanya kepadamu, karena kau adalah seorang wanita yang begitu polos, kau mungkin akan sulit mengerti hal-hal gila yang berkecamuk di pikiranku beberapa tahun ini. Kau akan sulit menerimanya, kupikir itu akan membuatmu sangat tertekan. Kau takkan kuat menerimanya.


Hari-hari yang baru saja lewat terasa banyak merubah semuanya, kemarin, saat hari Ibu, saat beberapa temanku banyak mengucapkan sekedar kata cinta pada Ibunya, atau bahkan menulis tentang Ibunya, aku biasa saja seperti tahun-tahun lalu, karena memang bukan kebiasaanku untuk mengucapkan itu kepadamu. Dalam hati aku hanya mencoba kembali mengingatmu sejauh yang mampu kuingat, melemparkan diriku ke dalam nostalgia masa lalu yang sulit sekali dicari bandingnya. Beruntungnya aku memiliki Ibu sepertimu, seorang wanita kebanyakan yang sederhana.


Pikiranku menjadi kacau saat hari kamis kemarin kudengar berita bahwa kau harus menjalani perawatan di rumah sakit, otakku terasa sulit sekali berpikir normal. Sulit sekali kukumpulkan konsentrasiku yang cerai-berai entah ke mana. Beberapa waktu ini aku memang agak lama tidak pulang ke rumah, terakhir kali aku pulang kau memang sudah nampak payah dengan sakitmu, kau minta aku memijit kedua kakimu saat itu. Waktu itu sebenarnya aku merasa iba melihatmu, kau adalah perempuan dewasa yang sangat kukenal, dan di hadapanku kau nampak lemah sekali waktu itu.


Kini kau masih terbaring lemah, aku sempat berada di dekatmu, walau tak seberapa lama. Ibu, tahukah kau bahwa aku tak tahan melihat orang sakit? Aku tak pernah punya kekuatan berdekatan dengan orang-orang yang kucintai saat rasa sakit sedang merongrong tubuh-tubuh mereka. Apa yang kurasakan sama dengan yang pernah kurasakan saat kakek terbaring tak berdaya digerogoti rasa sakitnya, hatiku pilu, entah kenapa hingga sedalam itu.


Aku juga pernah sakit, Ibu, walau mungkin tak separah kau saat ini. Namun kadangkala rasa sakitku sudah melampaui kemampuanku menahannya, saat itu air mataku selalu keluar, tanpa bisa kutahan-tahan lagi, rasa sakit itu hampir membuatku frustasi. Saat itu kucoba lenyapkan pikiranku, kubuang kesadaranku, kulepaskan hasratku dan entah ke mana sukmaku melayang, aku tak mengerti. Saat itulah kurasakan bahwa ada sebuah kekuatan yang melampaui pikiran, yang tak terpahami, tak terdefinisikan, kepada kekuatan itulah aku kembali. Meninggalkan segala apa yang kusadari, kupikirkan, kuinginkan. Itulah tuhanku.


Malam ini ingin kubisikkan kepadamu hal-hal yang tentunya telah kau mengerti “bahwa Tuhan sangat menyayangi Ibu”, lenyaplah, lenyaplah semua dalam ketiadaan. Hilangkah semua jerat hati yang membuatku terikat kepadamu. Karena aku, kau, dan dia adalah satu. Tuhan, kehendakmu tak dapat kami atur, berbuatlah sesukamu karena malam ini semuanya kuserahkan kepadamu. Kau adalah segala, segala yang tak dapat kumengerti.


Malam ini ingin kumainkan biola darimu, Ibu...

Untuk mengusir resahku...

Aku tak tahu apakah yang kulakukan ini menyembuhkan...

Atau justru mengoyak hatiku...



(Untuk Ibuku yang sedang berpelukan dengan rasa sakit, 27 Desember 2010)



Biola dari Ibu, 22 Mei 2007


Baca Selengkapnya... → Tentang Wanita Itu

Kepada Seorang Kawan

Oleh: Fariha Ilyas




Harusnya tak kukatakan hal ini padamu, jika aku berpikir esok pasti datang lagi, lusa pasti datang lagi. Terus saja begitu, tanpa pernah usai. Namun terlalu sombong untukku untuk yakin bahwa kesempatan ini akan terus menjadi bagian dari perjalanan hidupku.


Aku sangat merindukanmu, walau baru saja kita berjumpa, hatiku kering sekali, hampa, seperti padang gersang yang tak bertepi. Aku kehilangan diriku sendiri di sini, di padang gersang hatiku. Kau adalah seseorang yang paling kuingat, kau adalah orang yang membuatku merasa ada di antara timbunan sepi ini.


Entah apa yang akan terjadi kepada kita esok, lusa, atau setelahnya. Namun sebuah perpisahan yang niscaya sudah pasti menghadang. Kau tentu mengerti apa yang kurasakan, karena kau juga ada dalam rasa yang sama denganku. Gula-gula yang kita kecap kemarin, hari ini, sepertinya akan selalu meninggalkan rasa manis yang takkan hilang.


Aku masih ingat saat-saat kita dipertemukan dulu, sebuah hari yang telah membeku. Siang itu adalah titik di mana kehidupanku saat ini mulai dirajut oleh kehadiranmu. Takkan pernah kulupakan hari itu. Tak akan.


Harusnya aku juga tak sesentimentil seperti malam ini, saat jantung masih berdenyut dan dunia masih sudi berdamai dengan orang-orang seperti kita. Namun jujur kukatakan kepadamu bahwa tulisan ini adalah semacam bisik ketakutanku akan perpisahan yang niscaya itu. Siapa yang tersisa dan menyisakan?


Apakah perlunya kukatakan semua ini kepada orang-orang? jika segala sisi hidup kita telah terbungkus oleh perasaan yang serupa, yang kata orang-orang adalah hal yang biasa. Aku hanya ingin menulis semua ini untukmu saja. Maaf jika segala yang kusampaikan terlalu tergesa-gesa. Aku hanya tak ingin terlambat, seperti menulis sebuah berita duka dalam linangan air mata.


(25 Agustus 2010)

Baca Selengkapnya... → Kepada Seorang Kawan

Surat Balasan dari Han

Oleh: Han


Empat kali kuterima surat yang aku kirimkan padaku, dan setiap kali kubaca suratmu, aku selalu sampai pada kesimpulan yang sama: kau berdiri di atas pijakan yang goyah. Aku tahu bahwa kau selalu ragu untuk memilih, kemungkinan-kemungkinan itu, ketakutan-ketakutan itu, selalu kau pelihara dengan senang hati. Sebenarnya apa yang kau inginkan?


Jika waktu yang kau miliki kau pergunakan untuk selalu bertanya-tanya, kapan kau akan mencari jawaban? Dan jika memang tanyamu membuat orang-orang sesudahmu berupaya keras untuk mendapatkan jawaban, masihkan kau ada saat itu? Masihkah kau sanggup berdiri selama itu untuk menunggu jawaban itu? Sedang waktu yang tersisa tak pernah kau ketahui.


Bersikaplah selagi kau punya banyak pilihan untuk memilih, jangan pernah jadikan pilihan-pilihan itu untuk menarik diri dari kenyataan hidup. Jika relativitas yang melekat pada kebenaran itu kau yakini, mestinya kau juga yakin pada kebenaran yang kau pilih. Biarkan relativitas itu menjadi bagian dari sikap dan pilihan hidupmu.


Hidup bukan untuk merayakan kebebasan yang rasanya kita miliki dalam setiap tindakan. Sebuah kebebasan yang justru tak mampu kau lepaskan, adalah bukti bahwa kau berada dalam sebuah aturan, aturan itu adalah kebebasanmu sendiri. Jika kebebasan itu kau maknai dengan keteraturan, maka yang kau jalani adalah proses pemberadaban, jika kebebasan itu kau maknai sebagai kesewenang-wenangan, maka yang kau jalani adalah sebuah proses pembiadaban.


(18 Desember 2010)

Baca Selengkapnya... → Surat Balasan dari Han

Surat Untuk Han (4)

Oleh: Fariha Ilyas





Han, sudah waktunya kita kembali ke tempat biasa. Tak usahlah kau membuat drama di sana, jika kau memang ingin pulang. Datanglah segera, sebelum senja yang manis hilang, dan hanya sisi gelapnya yang tersisa untukmu.


Apalagi yang kau tunggu jika kau telah lama mengerti bahwa apa yang kita cari-cari ada di tempat kita dilahirkan, dekat sekali dengan keseharian kita dulu. Kebahagiaan. Tak ada yang tersisa dari setiap tetes keringat yang mengucur dari tubuhku dan tubuhmu kini. Yang ada adalah perasaan kalah.


Kita pernah bermimpi bersama, Han, tentang hidup yang menghidupkan. Kuharap kau akan bertemu banyak hal di sana. Mengetahui segala perubahan yang melingkupi hidup kita, berharap kau ada dalam setiap peristiwa yang merubah dunia, aku ingin kau menjalani hidup yang membanggakan, seperti mimpi kita.


Hingga saat ini tak pernah kudengar kabar beritamu, tak pernah kuketahui lagi kau dan mimpi-mimpi itu. Aku pun belum sempat menggapai mimpiku yang kutebus dengan waktu dan keringatku. Sekarang aku ingin berhenti sejenak. Aku ingin pulang. Apakah kau dengar rintihku, Han?


Tak ada lagi yang lebih kuharapkan selain pertemuan itu, walau kita berdua sama-sama kalah, setidaknya aku masih yakin kau mempunyai kekuatan untuk memulai semuanya dari awal.

Kutunggu kau di ladang, datanglah tanpa pikiran, biarkan saja senja menelan kita, setidaknya kita masih saling mengerti, tentang apa yang sebenarnya kita sembunyikan, tentang apa yang sebenarnya kita cari-cari tanpa pernah kita dapatkan.


Datanglah, Han, sebelum kawanan burung pulang ke sarang. Kita, Han, hanya kita. Tak akan ada orang yang peduli, tentang kekalahan ini. Dan kita pun tak akan peduli dengan semua ini, kita buang saja apa yang kita sebut sebagai cita-cita itu. Kita lemparkan saja diri kita ke dalam kebahagiaan yang sering kita tunda-tunda sendiri kedatangannya.



(Surakarta, 16 Desember 2010

Baca Selengkapnya... → Surat Untuk Han (4)

03122010

Oleh: Fariha Ilyas


Aku tak ingin mewarnai langit atau menghempaskan bumi

Biarlah semua nampak apa adanya

Aku hanya ingin melihat langit yang tak berubah

Seperti adanya, saat kutengadahkan wajahku ke arahnya


Bagaimana jika suatu ketika kuhembuskan lagi

Angin yang pernah kubekukan dalam kata

Dan kubuka lagi tirai yang kupakai

Menutupi segala hamparan dunia nyata


Dalam segala resahku....


Kau tetap saja

Tak pernah mau beranjak


Dan aku terus menyalak

Seperti anjing


(Surakarta, 03 Desember 2010)


Baca Selengkapnya... → 03122010

Malam dan Sebatang Salib (Catatan tentang Simbol)

Oleh: Fariha Ilyas




Sebenere rada males nulis tapi ya piye meneh. Kemarin sore baru saja kumpul sama teman-teman di kampus, seorang teman asyik membicarakan Facebook seseorang yang melecehkan agama kristen. Sebenarnya sudah lama sekali saya baca beberapa situs yang berkaitan dengan pelecehan agama-agama. Salah seorang teman kos sampai menjadikannya “hiburan” tiap pagi. Ya terkadang memang cukup menyenangkan membaca-hal-hal yang seperti itu. Apalagi saat kita seolah merasa “menang” karena argumentasi pendebat "pembela" agama yang kita yakini begitu “hebat”.


Namun kegelisahan kadang muncul juga, saat orang yang seagama dengan kita (dan agama yang saya yakini tidak pernah mengajarkan saya untuk bersikap berlebihan pada hal apapun) melakukan penghinaan terhadap agama lain dengan bahasa yang sangat kasar (kasar atau halus podo wae tetep menghina).


Banyak yang sekali pendapat atau pandangan bahwa hal-hal semacam itu tidak perlu kita ributkan. Namun kejadian hari itu cukup dapat memancing diri saya untuk menulis. Apalagi malam sebelumnya ada seorang teman yang memperdengarkan lagu yang sangat melecehkan kristen. Malam itu berlanjut dengan obrolan tentan Tuhan, tengah malam lewat dengan cepat dengan obrolan yang berbau “subversif” “gila” dan “agak piye gitu”. Seorang teman yang juga penganut kristen turut serta dalam perbincangan yang tidak bertujuan untuk mencari jawaban itu, obrolan itu sebatas rasa gelisah saja, atas apa yang telah dan belum kami mengerti tentang agama kami masing-masing.


Dari situlah tulisan ini berasal, dari sebuah lagu dan Facebook orang iseng yang rupanya sangat senang dan ketagihan dengan hujatan yang dialamatkan kepadanya. Kebetulan saja pikiran saya agak kacau seperti biasanya (yuhuu......) jadi begini saja, kita pecah pembicaraan ini dalam 2 fokus, yang pertama adalah tentang kehidupan sosial di ruang maya, yang kedua adalah tentang simbol-simbol agama.


Siapapun yang dengan lantang dan dengan sangat berani melecehkan agama di jejaring sosial tersebut tentulah seorang pengecut, yang menyembunyikan diri dalam “identitas tanpa identitas”. Karena siapapun dia, dapat dengan mudah menjelma menjadi “siapapun juga” dengan rasa aman di dunia maya. Ia terlepas dari tanggung jawab moralnya, dari tanggung jawab sosialnya. Jangankan di dunia maya yang sulit dilacak, dalam kehidupan sehari-hari saja kita dapat dengan mudah berkata kasar kepada orang yang tidak kita kenal di jalanan, saat sepeda motornya “nyelonong” di lampu merah yang tiba-tiba menyala dan menyenggol sepeda motor kita misalnya, dengan mudah kita akan berkata kasar dengan alasan “Wong gak kenal aja kok, toh dia juga salah”, begitu kira-kira yang ada di pikiran saya saat emosi di jalanan...: )


Seorang pendebat yang cerdas dan pemberani, tentu tidak akan berbuat seperti itu. Seorang yang benar-benar punya argumentasi kuat harusnya tidak gentar melawan apapun. Kalau dia juga cerdas, tentu dia mampu memilah-milah mana hal perlu diperdebatkan, dan mana yang tidak. Hehe....: ) STOP. Kesimpulannya, si tukang melecehkan adalah kurang memiliki adab.


Tentang simbol-simbol agama, wah ruwet ki, hal ini menjadi sangat sensitif, banyak kejadian yang melibatkan simbol-simbol agama, bahkan simbol-simbol inilah pemancing emosi paling efisien dalam pelecehan agama, salib, patung buddha, dsb. Dalam beberapa kasus tidak hanya simbol agama, melainkan utusan/ nabi (ingat kasus karikatur Nabi Muhammad dulu kan?). Inti dalam tulisan ini sebenarnya erat dengan "visualisasi".


Sepanjang yang saya ketahui, di luar ajaran-ajaran, dan isi kitab suci, simbol-simbol inilah yang menjadi sasaran empuk untuk memancing emosi. Islam dalam hal ini cenderung diserang di sisi sejarah, pelecehan terhadap islam berkaitan dengan sejarah Nabi serta mu’jizat-mu’jizatnya (yang ini bisa dicari sendiri ya contoh-contoh kasusnya). Namun yang dapat saya tangkap adalah suatu yang paling sensitif dalam simbolisasi agama adalah soal yesus yang disalib. Simbolisasi yang antropomorfis inilah yang menjadi masalah, karena perdebatan tentang tuhan yesus melulu mengarah pada “kemanusiaan” tuhan yesus yang menjadi sasaran dalam perdebatan teologis. Saya tidak ingin dan samasekali tidak punya keinginan untuk berdebat, ya supaya tidak tampak bego gitu. Yang dapat saya mengerti dari simbol adalah upaya “mengkonkritkan” atau membahasakan sesuatu yang abstrak, baik dalam wujud bahasa ataupun dalam wujud visual. Kata “Tuhan” merujuk suatu konsep,sebelum ke situ, kita lihat dulu arti kata Tuhan ya...: ). Dalam Kamus besar bahasa Indonesia Tuhan berarti :


1. sesuatu yg diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sbg yg Mahakuasa, Mahaperkasa, dsb: -- Yang Maha Esa; 2 sesuatu yg dianggap sbg Tuhan: pd orang-orang tertentu uanglah sbg -- nya;


    Yang Maha Kuasa, Maha Besar, dan Maha-maha inilah yang sebenarnya di luar jangkauan pikiran manusia, sifat-sifat tuhan yang Maha itulah yang berbenturan dengan penggambaran tuhan yang antrama Islam, karena Islam mengajarkan bahwa Tuhan itu berbeda dengan segala makhluk, hal ini secara otomatis membuat Islam tidak menyimbolkan Tuhan secara visual, karena apapun yang dibuat (misalnya ada yang mau bikin gitu, hehe...) jadi tuhan bertindak sebagai oposisi bagi seluruh makhluk (dalam wujud lo) beda lagi ntar kalo udah masuk tasawwuf, ini cuma dalam lingkup semiotika, ingat ya? hehehe........: )


    Pendek kata, Islam lebih “aman” karena Islam hanya mempunyai simbol bahasa “Allah”, karena dalam kitab suci agama Islam, Tuhan mewartakan dirinya dengan nama “Allah”. Selain itu penggambaran Nabi juga dilarang, karena memang visualisasi ini sering mengekang sebuah konsep yang sangat besar, agung (Tuhan) ke dalam bentuk (form) yang dapat diindera. Padahal, sepengetahuan saya, konsep-konsep yang agung, yang suci dan yang maha ini adalah konsep yang diyakini pemeluk agama apapun, terlepas dari simbolisasi yang terjadi dalam konsep-konsep agung ini.


    Sekali lagi simbol sebenarnya hanyalah upaya manusia untuk memahami sesuatu. Manusia hanya dapat berkomunikasi dengan simbol, kata Ernest Cassirer. Tuhan, dalam hal ini sebagai sesuatu yang “melampaui segala hal” sebenarnya tidak dapat disimbolkan, sebaliknya, tanpa simbol (bahasa) kita tidak dapat memahami konsep tuhan. Jadi, terlepas dari visualisasi tuhan dalam bentuk apapun. Sayakok tetep aja yakin bahwa setiap agama itu mengajarkan konsep-konsep yang sama tentang tuhan, tentang yang “melampaui segalanya”, minimal melampaui manusia-lah (ingat animisme dan dinamisme?)


    Jadi ya sebenarnya perdebatan-perdebatan tentang tuhan itu kadang ya aneh (kalau kita memang sepakat bahwa Tuhan itu adalah sesuatu “yang melampaui”). Tulisan ini masih banyak bolongnya, belum sempat liat-liat buku (gawat), dan ada masalah juga dalam tulisan saya ini tentang aspek historis yesus sendiri. (Bukan wilayah saya untuk membahas ini). Masih banyak sekali contoh simbol-simbol "Tuhan", lain kali disambung lagi yak? lagi capek banget nih. Masalah sejarah simbol-simbol itu sendiri tidak saya bahas karena keterbatasan saya, namun masalah simbolisasi tuhan sama aja kasusnya di berbagai kebudayaan. Gitu....: ). Mohon kehangatan komentar atau kritik ya....plis deh!!


    Mari hidup damai, karena Tuhan itu Maha Kasih, dan mengajarkan kasih sayang kepada manusia..

    Baca Selengkapnya... → Malam dan Sebatang Salib (Catatan tentang Simbol)