Jumat, Desember 31, 2010

Surat Untuk Han (3)

Oleh: Fariha Ilyas



Han, sebagai seorang sahabat tentunya kau mengerti tentang diriku. Walau tak sepenuhnya benar jika aku menutut untuk selalu kau mengerti. Malam ini, kutulis lagi surat untukkmu, karena banyak sekali yang ingin kuceritakan kepadamu. Kau sedikit lebih beruntung daripadaku Han, kau tak pernah cucurkan air mata untuk hal-hal yang tak perlu, kau tak pernah menagisi hal tak berguna. Kau beruntung, Han.


Di sini, di dunia yang kau kenal ini, banyak sekali peristiwa yang menggiriskan, tak ada cerita usai jika cerita itu tentang kita ini, manusia. Sejarah yang begitu panjang memang melulu bercerita tentang makhluk seperti kita. Aku malas dengan semua itu, ingin kulupakan saja dan kita bicarakan soal lain yang dikandung oleh sejarah, Han.


Ingin kupungut satu dari bunga-bunga indah sejarah, Han, ingin kuperdengarkan kepadamu satu musik yang begitu indah, The Blue Danube Waltz. Betapa aku akan sangat gembira sekiranya kita bisa mendengarkan itu berdua, di kamar yang luas, dengan jendela kaca yang besar. Dan di luar sana dapat kita saksikan ranting- ranting yang menelusup di antara dedauan yang rimbun, itu saja, seperti suasana yang disukai orang kebanyakan.


Atau, ingin kumulai perdebatan denganmu tentang satu karya agung, sebuah coretan manusia di dinding goa, Han. Aku ingin bicara denganmu, menanyakan pendapatmu tentang keindahan yang begitu dekat dengan kehidupan manusia, tentang manusia yang mampu mengubah semuanya dengan pikiran dan pengetahuannya, tentang kelembutan hati, tentang dunia-dunia baru yang tercipta lewat kekuatan imajinasi seorang manusia.


Aku ingin kita bicarakan saja semuanya tanpa sekat, tanpa periodisasi, karena aku ingin membicarakan sejarah yang hidup, bukan sejarah yang sudah menjadi bangkai, bangkai yang kadangkala ditangisi, dan bahkan bisa membuat orang-orang meledakkan tangis orang lain di mana-mana. Aku ingin kita berimajinasi tentang sejarah usang, Han, sejarah yang kadang terlalu mendikte, hanya karena ia datang mendahului kita.


Ingin kulihat semuanya dari sudut pandangmu -lewat ceritamu- sudut pandang seseorang yang mampu melihat kedalaman, yang tak terpengaruh oleh wujud-wujud berlawanan yang selalu hadir di hadapan kita, Han, yang sebenarnya serupa.


Han, bagaimana jika kita membuat janji? Maukah kau duduk denganku? Jika kau tak menyukai musik, atau lukisan, tak mengapa, takkan kuperdengarkan kepadamu satu nada atau sebingkai gambar pun kepadamu, karena bisa jadi kau telah melihat semuanya, dalam wujudnya yang tunggal.


(Surakarta, 10 Desember 2010)


0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya