Oleh: Fariha Ilyas
Nada-nada terus berganti, menyentak, membangkitkan, lalu tiba-tiba menarik jauh ke dalam keharuan. Potret-potret dengan lincahnya mengombang-ambingkan perasaan, dalam rentangan rasa yang sangat lebar, tak terukur, tak terdefinisikan. Hanya ada sepatah-dua patah kata yang meluncur dari mulut ini. Namun sering-sering hanya tertahan saja di kerongkongan. Itulah seni.
Sepanjang sejarah estetika, manusia selalu berusaha merumuskan apa yang membuat sesuatu bernama seni mampu “menggugah” sisi lain dalam pikiran dan jiwa manusia. Tarik ulur antara obyektifitas dan subyektifitas yang tak kunjung usai rasanya menjadikan rumusan tentang apa itu seni nyaris mustahil dikerjakan dengan sempurna oleh para filsuf keindahan.
Yang lebih mengherankan sebenarnya adalah kemampuan manusia dalam mencapai sebuah kreatifitas seni itu sendiri. Hal-hal yang biasa, dengan tiba-tiba dapat menimbulkan suatu rangsangan dalam penilaian benda-benda. Merunut proses penciptaan seni sebenarnya adalah mengurai kembali persepsi manusia tentang segala hal yang sempat tecerap indera, bercampur dengan endapan-endapan pengalaman, serta proses mental yang bernama imajinasi. Jadi dapat dikatan bahwa proses awal dari perwujudan karya seni adalah apresiasi manusia terhadap alam semesta itu sendiri, yang kemudian berlanjut ke proses interpretasi dan proses penciptaan.
Jika diurai satu per satu, memang sebenarnya elemen-elemen dalam sebuah karya seni hampir tidak menimbulkan suatu kesan khusus dalam diri penikmat seni. Namun keseluruhan komposisi-lah yang mempunyai kekuatan untuk membangkitkan rasa keindahan dalam hati manusia. sebuah lukisan tidak dapat membangkitkan rasa keindahan jika kita nikmati satu-per satu warna atau garis yang digoreskan, sebuah symphony beethoven tak dapat menggugah kita jika kita dengarkan nada-per nada. Keindahan seni muncul dalam keseluruhan karya seni tersebut, dalam strukturnya yang utuh.
Dari sekian banyak hal yang dijelaskan tentang seni, rasanya orang lebih sering memilih untuk diam dan merasakan keindahan itu sesuai dengan hasil yang dirasakan dari interaksinya dengan karya seni itu sendiri. Dan memang begitulah cara seni dinikmati, dihayati. Seni menawarkan sebuah kebenaran dengan bahasanya sendiri, sebuah bahasa yang sangat universal kadang-kadang, namun juga bahasa sangat individual. Bagaimana kedua hal yang kontradiktif ini dapat menjadi begitu lekat dan sulit dibedakan? Jawabannya sederhana : inilah seni.
(Surabaya, 6 November 2010)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya