Jumat, Desember 31, 2010

Gemerisik Dedaunan (6)

Oleh: Fariha Ilyas





Jalanan basah, udara dingin, angin hampir-hampir tak bertiup, beberapa orang lelap dalam tidurnya, dengan selimutnya yang hangat, dan beberapa orang lainnya sedang duduk di luaran, kedinginan. Malam yang kurang kusukai.


Rasa iba kadang datang, saat diri secara alami masuk dalam perbandingan-perbandingan. Dan sakit terasa menusuk, saat tak ada yang mampu kulakukan untuk mengubah semuanya, walau sedikit saja.


Teringat pada sebuah cerita, cerita tentang pertemuan seseorang. Tentang hidup itu, tentang kebahagiaan itu, yang ternyata tidak selalu seperti yang kupikirkan. Aku akan merasa bahagia jika aku dicintai, jika aku memberi, jika aku berjasa, jika aku mencapai hal-hal yang kuinginkan, jika aku memilki banyak hal, jika, jika, dan jika. Kebahagiaanku bersyarat, syarat yang kuajukan pada diri sendiri yang terbatas, tanpa sadar aku telah membatasi, bahkan mungkin telah menghalangi kebahagiaan itu datang.


Dengan apalagi kutolak kebahagiaan itu, jika sedetikpun tak mampu kulepaskan anugerah kehidupan ini. Suatu pagi, pernah kurasakan takjub, pada segala hal yang nampak, dan pada keberadaanku yang sukar untuk dipikirkan.


Tentang orang-orang yang kedinginan di luar sana, aku rasa mereka juga bahagia. Tapi hidup bukan soal perasaan dalam hati, hidup adalah kesempatan untuk merubah kehidupan, membangunnya, karena kita adalah penggerak peradaban. Tuhan titipkan semua ini kepadaku, kepada kita, dan sebaliknya, malam ini kutitipkan hati ini pada tuhan.


Tuhan memberi kebahagiaan dalam hati setiap orang, dan kasih tuhan tidak mengambang di awang-awang, kasih tuhan tersebar di seluruh bumi, melalui tangan-tangan manusia.


(Surakarta, 10 Desember 2010)


0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya