Oleh: Fariha Ilyas
Han, semalam tidurku tiba-tiba terputus, aku terjaga entah karena apa. Yang terlintas di pikiranku semalam adalah kau. Kurasa sudah terlalu lama tak kutulis lagi surat untukmu.
Han, kutulis surat ini di kamarku yang dingin, saat sepi memuncak dan di luar jendela hanya nampak lampu-lampu jalan yang sinarnya terbias rintik halus gerimis yang belum berhenti.
Entah apalagi yang harus kutuliskan untuk menggambarkan betapa waktu ini terasa lambat sekali merayap. Aku tak tahu berapa lama sebenarnya kita tak pernah lagi bermandi cahaya senja, atau menghirup dalam-dalam angin yang berhembus pelan melewati ladang kekuningan.
Han, banyak sekali orang menghitung waktu dengan bilangan hari, minggu, bulan, tahun....
Apa beda itu semua? Apakah aku harus menempelkan label bilangan itu pada rinduku? Pada waktu yang merambat dalam jiwa dan pikiranku? Tidak, tidak bisa. Karena nampaknya semua yang dibawa oleh waktu lebih mencerminkan gerak hidup, sedang waktu hanya kesan. Apa yang terjadi padamu, padaku, pada rindu, tak bisa diukur dengan waktu. Karena itulah malam ini tak berbeda dengan malam itu, malam saat gerimis seperti ini turun dan membuat air mataku tak kentara. Air mata yang telah kering kini, namun hangatnya masih terasa di kedua kelopak mataku, tak pernah, dan takkan pernah hilang. Mungkin sampai kita bertemu lagi di suatu tempat dan waktu yang tak menentu.
(Surakarta, 25 November 2010)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya