Oleh: Fariha Ilyas
Sebenere rada males nulis tapi ya piye meneh. Kemarin sore baru saja kumpul sama teman-teman di kampus, seorang teman asyik membicarakan Facebook seseorang yang melecehkan agama kristen. Sebenarnya sudah lama sekali saya baca beberapa situs yang berkaitan dengan pelecehan agama-agama. Salah seorang teman kos sampai menjadikannya “hiburan” tiap pagi. Ya terkadang memang cukup menyenangkan membaca-hal-hal yang seperti itu. Apalagi saat kita seolah merasa “menang” karena argumentasi pendebat "pembela" agama yang kita yakini begitu “hebat”.
Namun kegelisahan kadang muncul juga, saat orang yang seagama dengan kita (dan agama yang saya yakini tidak pernah mengajarkan saya untuk bersikap berlebihan pada hal apapun) melakukan penghinaan terhadap agama lain dengan bahasa yang sangat kasar (kasar atau halus podo wae tetep menghina).
Banyak yang sekali pendapat atau pandangan bahwa hal-hal semacam itu tidak perlu kita ributkan. Namun kejadian hari itu cukup dapat memancing diri saya untuk menulis. Apalagi malam sebelumnya ada seorang teman yang memperdengarkan lagu yang sangat melecehkan kristen. Malam itu berlanjut dengan obrolan tentan Tuhan, tengah malam lewat dengan cepat dengan obrolan yang berbau “subversif” “gila” dan “agak piye gitu”. Seorang teman yang juga penganut kristen turut serta dalam perbincangan yang tidak bertujuan untuk mencari jawaban itu, obrolan itu sebatas rasa gelisah saja, atas apa yang telah dan belum kami mengerti tentang agama kami masing-masing.
Dari situlah tulisan ini berasal, dari sebuah lagu dan Facebook orang iseng yang rupanya sangat senang dan ketagihan dengan hujatan yang dialamatkan kepadanya. Kebetulan saja pikiran saya agak kacau seperti biasanya (yuhuu......) jadi begini saja, kita pecah pembicaraan ini dalam 2 fokus, yang pertama adalah tentang kehidupan sosial di ruang maya, yang kedua adalah tentang simbol-simbol agama.
Siapapun yang dengan lantang dan dengan sangat berani melecehkan agama di jejaring sosial tersebut tentulah seorang pengecut, yang menyembunyikan diri dalam “identitas tanpa identitas”. Karena siapapun dia, dapat dengan mudah menjelma menjadi “siapapun juga” dengan rasa aman di dunia maya. Ia terlepas dari tanggung jawab moralnya, dari tanggung jawab sosialnya. Jangankan di dunia maya yang sulit dilacak, dalam kehidupan sehari-hari saja kita dapat dengan mudah berkata kasar kepada orang yang tidak kita kenal di jalanan, saat sepeda motornya “nyelonong” di lampu merah yang tiba-tiba menyala dan menyenggol sepeda motor kita misalnya, dengan mudah kita akan berkata kasar dengan alasan “Wong gak kenal aja kok, toh dia juga salah”, begitu kira-kira yang ada di pikiran saya saat emosi di jalanan...: )
Seorang pendebat yang cerdas dan pemberani, tentu tidak akan berbuat seperti itu. Seorang yang benar-benar punya argumentasi kuat harusnya tidak gentar melawan apapun. Kalau dia juga cerdas, tentu dia mampu memilah-milah mana hal perlu diperdebatkan, dan mana yang tidak. Hehe....: ) STOP. Kesimpulannya, si tukang melecehkan adalah kurang memiliki adab.
Tentang simbol-simbol agama, wah ruwet ki, hal ini menjadi sangat sensitif, banyak kejadian yang melibatkan simbol-simbol agama, bahkan simbol-simbol inilah pemancing emosi paling efisien dalam pelecehan agama, salib, patung buddha, dsb. Dalam beberapa kasus tidak hanya simbol agama, melainkan utusan/ nabi (ingat kasus karikatur Nabi Muhammad dulu kan?). Inti dalam tulisan ini sebenarnya erat dengan "visualisasi".
Sepanjang yang saya ketahui, di luar ajaran-ajaran, dan isi kitab suci, simbol-simbol inilah yang menjadi sasaran empuk untuk memancing emosi. Islam dalam hal ini cenderung diserang di sisi sejarah, pelecehan terhadap islam berkaitan dengan sejarah Nabi serta mu’jizat-mu’jizatnya (yang ini bisa dicari sendiri ya contoh-contoh kasusnya). Namun yang dapat saya tangkap adalah suatu yang paling sensitif dalam simbolisasi agama adalah soal yesus yang disalib. Simbolisasi yang antropomorfis inilah yang menjadi masalah, karena perdebatan tentang tuhan yesus melulu mengarah pada “kemanusiaan” tuhan yesus yang menjadi sasaran dalam perdebatan teologis. Saya tidak ingin dan samasekali tidak punya keinginan untuk berdebat, ya supaya tidak tampak bego gitu. Yang dapat saya mengerti dari simbol adalah upaya “mengkonkritkan” atau membahasakan sesuatu yang abstrak, baik dalam wujud bahasa ataupun dalam wujud visual. Kata “Tuhan” merujuk suatu konsep,sebelum ke situ, kita lihat dulu arti kata Tuhan ya...: ). Dalam Kamus besar bahasa Indonesia Tuhan berarti :
1. sesuatu yg diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sbg yg Mahakuasa, Mahaperkasa, dsb: -- Yang Maha Esa; 2 sesuatu yg dianggap sbg Tuhan: pd orang-orang tertentu uanglah sbg -- nya;
Yang Maha Kuasa, Maha Besar, dan Maha-maha inilah yang sebenarnya di luar jangkauan pikiran manusia, sifat-sifat tuhan yang Maha itulah yang berbenturan dengan penggambaran tuhan yang antrama Islam, karena Islam mengajarkan bahwa Tuhan itu berbeda dengan segala makhluk, hal ini secara otomatis membuat Islam tidak menyimbolkan Tuhan secara visual, karena apapun yang dibuat (misalnya ada yang mau bikin gitu, hehe...) jadi tuhan bertindak sebagai oposisi bagi seluruh makhluk (dalam wujud lo) beda lagi ntar kalo udah masuk tasawwuf, ini cuma dalam lingkup semiotika, ingat ya? hehehe........: )
Pendek kata, Islam lebih “aman” karena Islam hanya mempunyai simbol bahasa “Allah”, karena dalam kitab suci agama Islam, Tuhan mewartakan dirinya dengan nama “Allah”. Selain itu penggambaran Nabi juga dilarang, karena memang visualisasi ini sering mengekang sebuah konsep yang sangat besar, agung (Tuhan) ke dalam bentuk (form) yang dapat diindera. Padahal, sepengetahuan saya, konsep-konsep yang agung, yang suci dan yang maha ini adalah konsep yang diyakini pemeluk agama apapun, terlepas dari simbolisasi yang terjadi dalam konsep-konsep agung ini.
Sekali lagi simbol sebenarnya hanyalah upaya manusia untuk memahami sesuatu. Manusia hanya dapat berkomunikasi dengan simbol, kata Ernest Cassirer. Tuhan, dalam hal ini sebagai sesuatu yang “melampaui segala hal” sebenarnya tidak dapat disimbolkan, sebaliknya, tanpa simbol (bahasa) kita tidak dapat memahami konsep tuhan. Jadi, terlepas dari visualisasi tuhan dalam bentuk apapun. Sayakok tetep aja yakin bahwa setiap agama itu mengajarkan konsep-konsep yang sama tentang tuhan, tentang yang “melampaui segalanya”, minimal melampaui manusia-lah (ingat animisme dan dinamisme?)
Jadi ya sebenarnya perdebatan-perdebatan tentang tuhan itu kadang ya aneh (kalau kita memang sepakat bahwa Tuhan itu adalah sesuatu “yang melampaui”). Tulisan ini masih banyak bolongnya, belum sempat liat-liat buku (gawat), dan ada masalah juga dalam tulisan saya ini tentang aspek historis yesus sendiri. (Bukan wilayah saya untuk membahas ini). Masih banyak sekali contoh simbol-simbol "Tuhan", lain kali disambung lagi yak? lagi capek banget nih. Masalah sejarah simbol-simbol itu sendiri tidak saya bahas karena keterbatasan saya, namun masalah simbolisasi tuhan sama aja kasusnya di berbagai kebudayaan. Gitu....: ). Mohon kehangatan komentar atau kritik ya....plis deh!!
Mari hidup damai, karena Tuhan itu Maha Kasih, dan mengajarkan kasih sayang kepada manusia..
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya