Jumat, Desember 31, 2010

Rembulan dan Kata-kata

Oleh: Fariha Ilyas


Malam ini seperti malam kemarin saja rasanya, tanpa cahaya terang di langit. Matahari masih di tempatnya semula, tertutup bagian bumi yang kutapaki. Namun ada sesuatu yang membuat malam ini tak biasa, karena malam ini aku akan duduk di bulan bersama seseorang. Entah apa yang membuatnya mengajakku duduk di bulan, tanpa tahu bagaimana kami berdua harus mencapainya. Segala hal yang mampu kupikirkan rasanya hanya berujung kepada kemustahilan. Kami takkan duduk di bulan malam ini, apalagi bulan tak nampak di langit sana. Tak akan.


Sampai pada akhirnya aku kembali kepada sumber segala pemahamanku, kata-kata. Saat jalan buntu menghentikan langkah, aku masih percaya bahwa kata-kata selalu punya jalan untuk sampai meski kadang jalan yang dibentuknya harus berliku-liku dengan batu-batu kesalahpahaman yang terjal. Namun pada akhirnya tak akan ditemukan cara yang lebih baik untuk mencapai sesuatu, entah itu bagian dari dimensi ruang atau dimensi waktu.


Kusebarkan kata-kata malam ini di hamparan tanah kosong, kususun rangkaian anak tangga yang sangat panjang, sampai ke bulan, sesudah itu kulubangi lapisan-lapisan selimut bumi, dan kukirimkan udara di bulan, yang cukup untuk kuhirup bersamanya semalaman, semuanya kulakukan hanya dengan kata-kata. Tas ransel bututku telah kupenuhi dengan segala makanan kesukaannya. Tak sepeserpun kukeluarkan biaya, karena semua telah tersedia dalam kata-kata.


Setelah semua kuanggap cukup, kukirimkan pesan dengan rangkaian kata-kata kepadanya yang mengajakku pergi ke bulan dan duduk di sana semalaman. Demikian isi pesan yang kutuliskan di selembar daun jingga:


Kekasihku, datanglah segera ke tanah lapang di dekat kebun tebu, telah kusiapkan tangga menuju bulan. Jangan kau terburu-buru lelap dalam tidurmu dan memimpikan segala yang tidak dapat kau capai dalam hidup ini. Datanglah segera, sebelum tangga itu lenyap dan malam menjadi sirna. Aku menunggumu di sini. Dariku, kekasihmu.


Tak seberapa lama, datanglah ia yang kunantikan. Wajahnya merah merona, rupanya ia terlampau larut dalam rasa senang sekaligus rasa tak percaya pada semua hal yang telah kulakukan malam ini. Tanpa banyak membuang waktu, kuraih pergelangan tangannya, dan kami langkahkan kaki menapaki satu demi satu anak tangga yang tak terhitung jumlahnya, menuju bulan.


Beberapa saat kuputuskan untuk meninggalkan kata-kata, supaya yang terjadi selanjutnya-tentang malam, tentang rembulan, tentang kami-tidak menjadi cerita. Biarlah semuanya hilang begitu saja. Tanpa kata-kata. Kuyakinkan kepadanya, bahwa semua ini bukan mimpi, karena mimpi selalu tanpa kendali. Ini adalah imajinasi, yang tersusun dari setiap keping kesadaranku.


Kami hilang. Entah ke bulan, entah ke mana. Semua hilang, tak bersisa. Yang ada hanya kata-kata.


(Malam, saat kata-kata terangkai dalam desah nafas setiap hamba. 9 September 2010)




0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya