Jumat, Desember 31, 2010

Surat untuk Han

Oleh: Fariha Ilyas

Sekali lagi kutulis selembar surat untukmu, Han. Entah akan kau balas atau tidak. Namun sebagai orang yang pernah mengenalmu dengan sangat baik, aku hanya terpikir untuk menulis surat kepadamu jika kurasakan hatiku mulai kering oleh rasa bosan, bosan yang terpendam dalam diam ini.


Saat ini jika memang kau tak melihat apa-apa di sana, hanya bisa hidup dalam sepi, maka akan kubisikkan cerita-cerita tentang tempat yang pernah kau singgahi dulu. Banyak hal yang mestinya kususun dengan lebih rapi untukkmu, agar kau bisa mengerti dengan baik apa yang kukatakan. Namun kadang banyak hal yang tumpang tindih di kepalaku, sehingga sulit bagiku untuk memilah-milah mana yang harus aku ceritakan terlebih dahulu padamu, Han.


Kita mulai dari cerita tentang penantian. Untuk hal ini rasanya kau lebih mengerti daripada aku. Karena kau sendiri sampai saat ini sedang dalam sebuah penantian panjangmu. Atau jangan-jangan sejak saat kau pergi, sebenarnya itulah akhir penantianmu, dan sekarang justru kau sedang merasa prihatin kepadaku, kepada kami, yang hidup dalam banyak kebimbangan ini. Ternyata kita semua sedang menanti.


Banyak hal yang dinantikan manusia seperti kita, Han. Kau dulu juga sering bercerita kepadaku bahwa kau sangat merindukan dia, dia yang selalu mengusik malam-malammu, dia yang selalu membuatmu sulit untuk bersikap wajar, atau sekedar menarik nafas dengan biasa dan membiarkan jantungmu tetap berdetak normal. Rasanya waktu itu kita sama-sama menjadi seorang penanti yang setia. Yang tetap berdiri tegak, menanti hal-hal yang kita yakini akan benar-benar tiba untuk kita, hanya untuk kita.


Han, aku ingat, di sela-sela penantian itu pernah kau katakan kepadaku bahwa ada hal yang benar-benar akan tiba, hal yang sangat pribadi. Namun kau tak pernah mengatakan kepadaku apa sebenarnya yang kau maksud dengan semua itu. Sampai pada akhirnya aku sendiri mengerti bahwa yang kau maksud adalah yang memeluk dan melepaskanmu dari semua penantian semu ini.


Dalam remang cahaya malam aku bisikkan pertanyaan untukmu melalui angin yang berhembus pelan “Han, kapan penantianku ini usai?”. Tanya yang telah mendapatkan banyak jawaban sebenarnya, namun aku selalu bimbang tentang kapan jawaban itu akan bersanding dengan pertanyaanku dalam satu waktu. Mungkin kau tak pernah merasakan gelisah terlalu lama, Han, karena bagimu sekarang segalanya sudah nampak jelas, tak da lagi penghalang bagimu untuk melihat semuanya. Kau telah keluar dari belenggu pertanyaan. Sedangkan aku tidak, aku dan orang-orang di sini hidup dalm pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu setiap hari beranak-pinak memenuhi pikiran kami.


Malam ini, surat ini mungkin takkan mendapat balasan darimu. Namun penantian akan kutegakkan lagi, demi datangnya hal yang benar-benar akan tiba itu. Hal yang akan mengakhiri segala penantian, dan menuntaskan segala pertanyaan yang selama ini belum terjawab. Kerana aku hanya penanti, sepertimu dulu.


(Surakarta, 1 November 2010)


0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya