Oleh: Fariha Ilyas
Han, sudah waktunya kita kembali ke tempat biasa. Tak usahlah kau membuat drama di sana, jika kau memang ingin pulang. Datanglah segera, sebelum senja yang manis hilang, dan hanya sisi gelapnya yang tersisa untukmu.
Apalagi yang kau tunggu jika kau telah lama mengerti bahwa apa yang kita cari-cari ada di tempat kita dilahirkan, dekat sekali dengan keseharian kita dulu. Kebahagiaan. Tak ada yang tersisa dari setiap tetes keringat yang mengucur dari tubuhku dan tubuhmu kini. Yang ada adalah perasaan kalah.
Kita pernah bermimpi bersama, Han, tentang hidup yang menghidupkan. Kuharap kau akan bertemu banyak hal di sana. Mengetahui segala perubahan yang melingkupi hidup kita, berharap kau ada dalam setiap peristiwa yang merubah dunia, aku ingin kau menjalani hidup yang membanggakan, seperti mimpi kita.
Hingga saat ini tak pernah kudengar kabar beritamu, tak pernah kuketahui lagi kau dan mimpi-mimpi itu. Aku pun belum sempat menggapai mimpiku yang kutebus dengan waktu dan keringatku. Sekarang aku ingin berhenti sejenak. Aku ingin pulang. Apakah kau dengar rintihku, Han?
Tak ada lagi yang lebih kuharapkan selain pertemuan itu, walau kita berdua sama-sama kalah, setidaknya aku masih yakin kau mempunyai kekuatan untuk memulai semuanya dari awal.
Kutunggu kau di ladang, datanglah tanpa pikiran, biarkan saja senja menelan kita, setidaknya kita masih saling mengerti, tentang apa yang sebenarnya kita sembunyikan, tentang apa yang sebenarnya kita cari-cari tanpa pernah kita dapatkan.
Datanglah, Han, sebelum kawanan burung pulang ke sarang. Kita, Han, hanya kita. Tak akan ada orang yang peduli, tentang kekalahan ini. Dan kita pun tak akan peduli dengan semua ini, kita buang saja apa yang kita sebut sebagai cita-cita itu. Kita lemparkan saja diri kita ke dalam kebahagiaan yang sering kita tunda-tunda sendiri kedatangannya.
(Surakarta, 16 Desember 2010
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya