Jumat, Desember 31, 2010

Tentang Wanita Itu

Seraut wajah anak perempuan kadang masih muncul menggangguku, itulah kau, Ibu. Itu kau dalam inginku. Sedari dulu aku ingin melihatmu, menemuimu di masa kanak-kanakmu. Aku ingin menyaksikan masa kecil seorang wanita yang kelak akan bertaruh nyawa melahirkanku, merawatku hingga tumbuh dewasa. Itu saja.


Hari ini adalah hari yang biasa, dan seperti biasa kujalani semuanya, juga dengan biasa. Hari ini hujan, dan selepas hujan kali ini aku berkeinginan untuk kembali menghabiskan malam dengan menggoreskan warna-warna yang kusukai di atas kertas-kertas putihku.


Waktu berjalan wajar, saat ini sulit sekali kutemukan fokus, bayang-bayangmu yang sedang terbaring lemah di rumah sakit terus saja menghantuiku. Ibu, sebenarnya lama sekali ingin kuceritakan semua ini kepadamu, namun aku tak punya kekuatan demi melihatmu yang nampak lelah dengan pergulatan hidupmu untukku, untuk adik-adikku. Kusimpan saja semuanya dalam hati.


Sekarang tak ada lagi alasan untuk menyembunyikan semua ini darimu, ini antara aku dan kau Ibu. Kau kuingat sebagai seorang perempuan yang berhati putih, kau tak pernah memikirkan hal-hal aneh dan tidak penting. Hidupmu lurus. Kau hanya tahu bagaimana berbuat baik pada sesama, kau tak tahu cara menyakiti orang lain, tak pernah, tak pernah kulihat itu sepanjang waktu bersamamu, hingga kini, bahkan kau lebih memilih disakiti daripada menyakiti. Tak heran saat kau harus terbaring tak berdaya, banyak sekali orang yang menjengukmu, aku baru mengerti sepenuhnya tentang siapa kau sebenarnya.


Dulu, sebelum aku dekat denganmu, aku tak pernah tersentuh terlalu dalam saat aku melihatmu, bagiku kau adalah seorang wanita yang melahirkanku, yang merawatku, itu saja. Kejadian-kejadian yang kualami dulu sedikit demi sedikit membuka pikiranku. Waktu aku terbaring di rumah sakit 9 tahun lalu karena kecelakaan, kakak berbisik kepadaku dengan mata berkaca-kaca “kamu adalah anak kesayangan Ibu, tapi kenapa kamu seperti ini?”, waktu itu hatiku terasa mencair....diam-diam aku menangis. Aku juga telah mendengar cerita tentang peristiwa kelahiranku dulu, waktu itu Ibu mengalami pendarahan hebat hingga hilang kesadaran, dulu tak pernah terpikir olehku bahwa pertaruhan nyawa itu benar-benar kau alami. Kau bertahan, dan ternyata saat itulah kuterima anugerah terbesar dalam kehidupanku.


Setelah itu hari-hari terasa berbeda dari sebelumnya, aku lebih sering berada di dekatmu, memasak, mencuci piring, hampir setiap hari aku bersamamu di dapur kita. Tak bisa kutuliskan betapa banyak hal yang kita bicarakan di dapur kita, tapi aku selalu mengingatnya, selalu.


21 Juli 2006, sore itu aku mengalami kecelakaan lagi hingga tulang fibulaku patah. Aku tak berani pulang ke rumah waktu itu, aku selalu takut dengan amarah ayah. Tapi apa yang kubayangkan tak terjadi, waktu itu ayah tak memarahiku, dan kau sepenuh hati merawatku, membantuku ke kamar mandi atau sekedar berpindah tempat di dalam rumah.


28 Juli 2006, siang itu aku harus menjalani operasi tulang, tak banyak yang dapat kuingat selain pagi yang biasa di hari jum’at. Tapi ada hal yang takkan mungkin kulupakan, sekitar jam empat sore aku keluar dari ruang operasi, masih dalam pengaruh obat bius kulihat kau berdiri di samping ayah, menatapku yang masih dalam keadaan setengah sadar. Entah kenapa, momen itu selalu memaksa air mataku keluar jika aku mengingatnya. Saat itu aku tak mampu berkata-kata, jika ada hal yang terucap dari mulutku waktu itu, itu adalah sebuah kalimat “terimakasih Ayah, Ibu”. Lalu sesudah itu banyak sekali episode-episode yang masih saja berhamburan keluar dari memoriku.


Ibu, semua hal yang telah kau lakukan, dan masih kau lakukan hingga kini, menjadikanku gamang menceritakan diriku sekarang, imanku sekarang, sikapku sekarang. Sulit rasanya bagiku untuk diam, diam dalam kegelisahanku ini. Aku ingin selalu berbagi cerita kepadamu, tak ada yang ingin kulewatkan dalam hidupku tanpa sepengetahuanmu, namun aku tak yakin jika harus kukatakan semuanya kepadamu, karena kau adalah seorang wanita yang begitu polos, kau mungkin akan sulit mengerti hal-hal gila yang berkecamuk di pikiranku beberapa tahun ini. Kau akan sulit menerimanya, kupikir itu akan membuatmu sangat tertekan. Kau takkan kuat menerimanya.


Hari-hari yang baru saja lewat terasa banyak merubah semuanya, kemarin, saat hari Ibu, saat beberapa temanku banyak mengucapkan sekedar kata cinta pada Ibunya, atau bahkan menulis tentang Ibunya, aku biasa saja seperti tahun-tahun lalu, karena memang bukan kebiasaanku untuk mengucapkan itu kepadamu. Dalam hati aku hanya mencoba kembali mengingatmu sejauh yang mampu kuingat, melemparkan diriku ke dalam nostalgia masa lalu yang sulit sekali dicari bandingnya. Beruntungnya aku memiliki Ibu sepertimu, seorang wanita kebanyakan yang sederhana.


Pikiranku menjadi kacau saat hari kamis kemarin kudengar berita bahwa kau harus menjalani perawatan di rumah sakit, otakku terasa sulit sekali berpikir normal. Sulit sekali kukumpulkan konsentrasiku yang cerai-berai entah ke mana. Beberapa waktu ini aku memang agak lama tidak pulang ke rumah, terakhir kali aku pulang kau memang sudah nampak payah dengan sakitmu, kau minta aku memijit kedua kakimu saat itu. Waktu itu sebenarnya aku merasa iba melihatmu, kau adalah perempuan dewasa yang sangat kukenal, dan di hadapanku kau nampak lemah sekali waktu itu.


Kini kau masih terbaring lemah, aku sempat berada di dekatmu, walau tak seberapa lama. Ibu, tahukah kau bahwa aku tak tahan melihat orang sakit? Aku tak pernah punya kekuatan berdekatan dengan orang-orang yang kucintai saat rasa sakit sedang merongrong tubuh-tubuh mereka. Apa yang kurasakan sama dengan yang pernah kurasakan saat kakek terbaring tak berdaya digerogoti rasa sakitnya, hatiku pilu, entah kenapa hingga sedalam itu.


Aku juga pernah sakit, Ibu, walau mungkin tak separah kau saat ini. Namun kadangkala rasa sakitku sudah melampaui kemampuanku menahannya, saat itu air mataku selalu keluar, tanpa bisa kutahan-tahan lagi, rasa sakit itu hampir membuatku frustasi. Saat itu kucoba lenyapkan pikiranku, kubuang kesadaranku, kulepaskan hasratku dan entah ke mana sukmaku melayang, aku tak mengerti. Saat itulah kurasakan bahwa ada sebuah kekuatan yang melampaui pikiran, yang tak terpahami, tak terdefinisikan, kepada kekuatan itulah aku kembali. Meninggalkan segala apa yang kusadari, kupikirkan, kuinginkan. Itulah tuhanku.


Malam ini ingin kubisikkan kepadamu hal-hal yang tentunya telah kau mengerti “bahwa Tuhan sangat menyayangi Ibu”, lenyaplah, lenyaplah semua dalam ketiadaan. Hilangkah semua jerat hati yang membuatku terikat kepadamu. Karena aku, kau, dan dia adalah satu. Tuhan, kehendakmu tak dapat kami atur, berbuatlah sesukamu karena malam ini semuanya kuserahkan kepadamu. Kau adalah segala, segala yang tak dapat kumengerti.


Malam ini ingin kumainkan biola darimu, Ibu...

Untuk mengusir resahku...

Aku tak tahu apakah yang kulakukan ini menyembuhkan...

Atau justru mengoyak hatiku...



(Untuk Ibuku yang sedang berpelukan dengan rasa sakit, 27 Desember 2010)



Biola dari Ibu, 22 Mei 2007


2 komentar:

Unknown mengatakan...

kalo judul wanita mbok yao dikasih gambar wanita-wanita yang menarik hati,

Unknown mengatakan...

Itu tulisan tentang Ibu saya yang belim lama meninggal, saya tulis waktu beliau sakit keras...

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya