Oleh: Fariha Ilyas
Harusnya tak kukatakan hal ini padamu, jika aku berpikir esok pasti datang lagi, lusa pasti datang lagi. Terus saja begitu, tanpa pernah usai. Namun terlalu sombong untukku untuk yakin bahwa kesempatan ini akan terus menjadi bagian dari perjalanan hidupku.
Aku sangat merindukanmu, walau baru saja kita berjumpa, hatiku kering sekali, seperti padang gersang yang tak bertepi. Aku kehilangan diriku sendiri di sini, di padang gersang hatiku. Dan kau adalah seseorang yang paling aku ingat dan kau adalah oarang yang membuatku merasa ada di antara timbunan sepi ini.
Entah apa yang akan terjadi kepada kita esok, lusa, atau setelahnya. Namun sebuah perpisahan yang niscaya sudah pasti menghadang. Kau tentu mengerti apa yang kurasakan, karena kau juga ada dalam rasa yang sama denganku. Gula-gula yang kita kecap kemarin, hari ini, sepertinya akan selalu meninggalkan rasa manis yang takkan hilang.
Aku masih ingat saat-saat kita dipertemukan dulu, sebuah hari yang telah membeku. Siang itu adalah titik di mana kehidupanku saat ini mulai dirajut oleh kehadiranmu. Takkan pernah kulupakan hari itu. Tak akan. Harusnya aku juga tak sesentimentil seperti malam ini, saat hidup sepi dan dunia masih sudi berdamai dengan orang-orang seperti kita. Namun jujur kukatakan kepadamu bahwa tulisan ini adalah semacam bisik ketakutanku akan perpisahan yang niscaya itu. Siapa yang tersisa dan menyisakan?
Apakah perlunya kukatakan semua ini kepada orang-orang, jika segala sisi hidup kita telah terbungkus oleh perasaan yang serupa, yang kata orang-orang adalah hal yang biasa. Aku justru merasa perlu menuliskan ini semua di catatanku ini hanya untukmu saja. Maaf jika segala yang kusampaikan terlalu emosional dan tergesa-gesa. Aku hanya tak ingin terlambat, seperti menulis sebuah berita duka dalam linangan air mata.
(25 Agustus 2010)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya