Selasa, Agustus 24, 2010

Rindu Kembara

Oleh: Fariha Ilyas





Sinar matahari sore menerobos sela-sela awan di atas lereng gunung merapi, membuat beberapa sulur benang sinar yang menimpa segala benda dan menjadikannya keemasan. Kembara sudah duduk termangu sedari tadi, di ujung pematang sawah, sawah yang tak seberapa luas.

Banyak hal yang riuh di pikirannya sore ini. Hampir saja ia tak punya tempat untuk menceritakan semua. Kembara adalah pewaris rindu, sebuah rindu yang tak berbalas. Di sampingnya teronggok seikat alang-alang, yang rupanya telah lama sekali ia simpan, kering dan pucat warnanya. Di saku bajunya tersimpan beberapa butir permen asam, permen kesukaan Laras.

Setahun sudah kembara menghampiri ujung pematang itu sendirian tanpa Laras. Walau setiap hari Laras selalu mengirim kabar dan mengajaknya bercengkerama melalui telepon, namun tak ayal kerinduan tetap saja menggelayut di hati kembara, karena Laras adalah kakak yang terkasih, sekaligus sahabat untuknya.

Mungkin masih terlalu berat bagi Kembara untuk menerima bahwa diri yang kesepian akan sulit disembuhkan dalam waktu singkat. Hingga tak terasa setahun ini ia telah bergumul dengan sepinya, sendirian. Namun lambat laun Kembara mengerti bahwa ia tidak sendiri dalam kesepian, ia mulai sadar bahwa Laras tentu mengalami hal yang sama sepertinya. Sore ini Kembara datang tidak seperti biasanya, ia telah membuat janji dengan Laras yang berada jauh darinya untuk bersama-sama melepas senja. Rasanya hati mereka berdua menjadi dekat saja, saat sinar matahari membentuk tali-tali lurus di sela-sela awan, yang menjaring dua hati dari kakak beradik yang bagai mutiara itu, Laras dan Kembara.


(Surakarta, 6 Agustus 2010)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya