Oleh: Fariha Ilyas
"Sapaku, sapamu, adalah belati. Dengan apa sapa harus kuganti?"
(Tjahjo Prabowo)
Lebih dari 2 tahun saya “terperangkap” di sebuah gedung, gedung 3 lantai yang tidak terlalu besar. Setiap hari aku bertemu dengan ratusan orang, di kelas-kelas, tangga, kantin. Namun demikian sangat sedikit orang yang saya kenal. Sebatas teman kuliah dan beberapa orang yang saya temui karena kepentinganku, atau kepentingan orang itu.
Tulisan ini berawal dari sebuah catatan kecil, suatu hari di awal tahun 2008. Saat itu saya merasakan ketakacuhan saya pada lingkungan sekitar saya. Bagaimana bisa, saya, yang setiap hari makan di kantin berhadapan dengan seseorang yang itu-itu saja, tapi saya tak mengenalnya. Saya telah menghianati titah tuhan untuk saling mengenal dengan sesama. Ternyata saya hanya peduli dengan duniaku, dunia yang berisi kepentingan-kepentinganku. Orang-orang yang ada dalam hidup saya hanya sebatas orang yang berkaitan dengan kepentingan saya. Betapa egoisnya saya ini.
Hari ini, entah kenapa aku kaget sendiri saat menyadari bahwa ternyata saya cukup banyak mengenal seseorang. Dari mana saya tahu? Dari facebook. Hhmm kenal? Tidak hanya kenal ternyata, tetapi saya sudah berteman. Lalu iseng-iseng saya buka facebook teman-teman, wah, saya merasa menjadi orang paling egois, indifferent, kuper, dan semacamnya. Temanku ternyata berteman dengan banyak orang, sangat banyak. Saya salut. Tapi rasa salut itu berganti menjadi rasa curiga, saya curiga pada simulasi, ya, simulasi. Dalam jejaring sosial ini (facebook) mudah saja mencari teman, siapa pun dia, di mana pun dia. Lebih dari itu, apa pun maksud kita dalam mengawali interaksi, orang lain yang kita maksud hanya akan menerima sebuah pesan “Anda memiliki permintaan pertemanan” hhmmm manis sekali seperti madu. Dunia ini indah sekali dalam facebook, seolah-olah facebook adalah sebuah solusi dalam menjalankan titah tuhan untuk bersosialisasi.
Dalam sekejap saya mempunyai ruang untuk bergaul, berinteraksi dengan banyak orang, yang telah saya kenal sebelumnya, maupun yang belum saya kenal sebelumnya. Dan setiap kali saya buka facebook, selalu tertulis “apa yang anda pikirkan?” seringkali saya tergelitik untuk memuntahkan pikiran saya saat itu. Karena semua hal tersebut, sekarang mudah sekali mengetahui apa yang orang pikirkan. Tiba-tiba kita menjadi makhluk yang sangat peduli terhadap masalah orang lain yang sebenarnya masalah remeh temeh.
Sekarang saya telah masuk ke dalam suatu komunitas cyber yang tanpa struktur yang jelas. Sebuah masyarakat plural tanpa identitas. Memasuki wilayah relasi sosial yang tanpa teritorial. Saya menjadi bagian dari komunitas cyber. Di sini, di komunitas ini saya membaca dan mengamati berbagai tabiat orang dan tabiat saya sendiri tentunya. Bagaimana seseorang melontarkan berbagai pandangan, mengungkapkan perasaan dan sebagainya. Kadangkala ada seseorang yang menjadi sangat berbeda, dalam keseharian ia adalah seorang pendiam, namun dalam dunia virtual tidak demikian. Mungkin dunia virtual memberikan kenyamanan tersendiri bagi beberapa orang. Saya tidak tahu pasti.
Tapi siapa sebenarnya saya, kau dan mereka? Apakah itu adalah realitas juga? Pertanyaan tentang realitas ini saja sudah setua umur manusia, dalam kehidupan nyata saja pertanyaan itu belum terjawab dengan pasti, kita sudah mempunyai duplikat diri kita. Ya, representasi diri. Namun representasi ini kadangkala berbeda dengan diri yang asli, di sinilah timbul semacam kekacauan identitas yang akan mempengaruhi persepsi, pikiran, personalitas dan gaya hidup seseorang.
Selanjutnya adalah soal interaksi antar individu. Dalam cyberspace, interaksi sosial tidak membutuhkan ruang dan teritorial yang nyata, yang ada hanyalah halusinasi teritorial. Di dalam halusinasi teritorial tersebut, bisa jadi orang merasa lebih dekat secara sosial dengan seseorang yang jauh secara teritorial, ketimbang seseorang yang dekat secara teritorial namun jauh secara sosial. Contohnya dalah saat kita duduk dengan laptop di pangkuan kita, kita asyik berinteraksi dengan seorang kawan yang jauh, dengan sikap tak acuh saja terhadap seseorang di samping kita yang juga sedang asyik berinterkasi dengan oarng lain dalam dunia cyber.
Hal ini menunjukkan bahwa kita telah terserap dalam sebuah dunia semu, sebuah realitas artifiasial yang kita anggap sebagai realitas itu sendiri. Itulah yang oleh Jean Baudrillard disebut dengan Hyperreality. Hyperreality atau hiperrealitas akan menggiring kita kepada apa yang disebut kematian sosial, karena dalam dunia cyber tidak terdapat kontrol sosial (oleh negara, intitusi agama, atau masyarakat itu sendiri). Kondisi ini berpotensi menyebabkan terjadinya kekacauan(chaos) dalam interaksi sosial.
Sekarang saya mulai bertanya-tanya, menimbang-nimbang, siapa sebenarnya saya, maksud dan tujuan interaksi saya, siapa teman-teman saya sebenarnya, yang telah benar-benar menyentuh hidup saya. Itulah yang real. Tidak semua hal dalam dunia cyber negatif. Banyak hal positif di dalamnya. Tulisan ini hanya sebuah kritik pada diri saya sendiri. Untuk menyentil kembali kesadaran saya tentang realitas.
Tiba-tiba saya terlempar lagi ke gedung E. Di tengah banyak orang. Dan tetap saja saya merasa asing. Saya ingin menyapa mereka, tetapi hatiku bimbang, dan mereka pun tidak menyapa saya. Mungkin benar apa yang dikatakan Pak Tjahjo di atas: “Sapaku, sapamu, adalah belati. Dengan apa sapa harus kuganti?”
Kegelisahan usang...
(Malam yang miskin inspirasi, 11 Mei 2010)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya