Senin, Agustus 23, 2010

Human Middle’s Name

Oleh: Fariha Ilyas



Hampir semua narasi besar repot bin sibuk menjawab pertanyaan “siapakah manusia?”. Sepanjang sejarah, hingga hari ini, pertanyaan tersebut berusaha dijawab untuk merumuskan apa dan siapa manusia sesungguhnya. Apakah kita juga pernah melontarkan pertanyaan yang sebenarnya “mengerikan” ini kepada diri kita?

Dalam keadaan yang tidak mengenakkan karena sakit, kadang pikiran saya sangat kacau (kalau sehat, wah..lebih kacau!) Ya, ya, ya. Mungkin saya memang ditakdirkan untuk menjadi manusia. Manusia, homo sapiens sapiens (kata sapiens digunakan dua kali untuk embedakan kita dari homo sapiens naenderthalis) halah, entahlah, tidak penting. Yang bikin heran tu saat manusia diutak-atik seperti benda-benda oleh para pemikir-pemikir. Anda, saya, juga pemikir. Kita semua adalah pemikir. Tapi entah apa yang anda pikirkan. Saya sendiri sering memikirkan hal-hal yang tidak penting. Suatu ketika saya sangat bingung saat saya ini ternyata tidak tahu siapa diri saya, bingung. Hidup yang telah berlangsung lama terasa baru saja dimulai, dan lucunya, saya merasa dihukum untuk menjalani hidup ini. Tingkah saya makin hari makin tak jelas saja. Semakin saya cari diri saya, semakin tidak ketemu, karena mungkin(mungkin lo) lebih mudah nyari kenalan 20 wanita cantik dalam sehari daripada mengenali diri sendiri. Soal kenal-mengenal diri, saya suka dengan kutipan ini:

“Kadang-kadang kita tersandung pada batu, sakit dan mengaduh. Kadang-kadang dengan mendadak saja darah kita meluap mendengar perkataan orang. Atau dengan tiada sadar tiba-tiba kita ingin menonton bioskop, ingin bergandeng dengan kekasih. Kita tak mengerti mengapa jadi begitu. Dan hal-hal kecil itu menunujukkan manusia tak kenal dirinya sendiri” (Pramoedya Ananta Toer, Pertjikan Revolusi, hlm 12-13)

Hhhmmm, setiap hari, setiap saat, kita selalu dalam proses pengenalan terhadap diri. Segala perilaku kita, sikap kita, kepada siapa pun, dalam keadaan apa pun, kapan pun, adalah bagian dari diri kita, yang kadang-kadang membuat kita sendiri heran. Heran pada diri sendiri.

Saya sendiri adalah pribadi yang peragu, selalu bingung, sering terjatuh pada kesalahan yang sama. Dan saya begitu kaget saat saya dituntut untuk menemukan diri saya yang sesungguhnya. Saya pusing. Pada suatu titik saya teringat kata-kata Blaise Pascal :

“Banyak manusia memperoleh kepribadiannya hanya dengan jalan bahwa mereka jatuh lagi ke dalam kesalahn yang sama”

Hmm..kadangkala saya yakin bahwa inilah diri saya : saya adalah orang yang tidak jelas! Hehe. Jelas sudah siapa saya, saya adalah oarang yang tidak jelas!!! Duh senangya menemukan diri sendiri, walaupun dalam keadaan yang memprihatinkan....haha....saya masih bisa tertawa geli dalam keadaan yang “mengerikan” ini.

Lalu apa yang harus saya lakukan? Berpikir? Atau sama sekali tidak berpikir? Bisakah kita tidak berpikir tentang apapun? Haduh-haduh...lagi-lagi pertanyaan terus muncul, berganti-ganti. Sebenarnya saya ingiun hidup tenang, nyantai, walaupun pad dasarnya saya sudah terlalu nyantai. Sangat nyantai. Saya ingin mencoba resep dari seorang "pembunuh tuhan" :

“Tenang berbaring dan sedikit berpikir adalah obat yang paling murah untuk segala penyakit jiwa dan dengan kehendak baik jam demi jam pemakaiannya akan semakin nyaman” (Nietzsche)

Nah-nah..suatu ketika rasa pusing ini disentak oleh “Sajak Seonggok Jagung” karya W.S Rendra yang mengoyak kesadaran itu:

Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan.

Memandang jagung itu,
sang pemuda melihat ladang;
ia melihat petani;
ia melihat panen;
dan suatu hari subuh,
para wanita dengan gendongan
pergi ke pasar ………..
Dan ia juga melihat
suatu pagi hari
di dekat sumur
gadis-gadis bercanda
sambil menumbuk jagung
menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
tungku-tungku menyala.
Di dalam udara murni
tercium kuwe jagung

Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda.
Ia siap menggarap jagung
Ia melihat kemungkinan
otak dan tangan
siap bekerja

Tetapi ini :
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.

Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta .
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.
Ia melihat saingannya naik sepeda motor.
Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada akal,
tidak akan menolongnya.

Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan,
yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.

Aku bertanya :
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya ?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya ?
Apakah gunanya seseorang
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“ Di sini aku merasa asing dan sepi !”

Ya, ya, ya..apa pun kegelisahan itu, harusnya memang tidak membuat saya larut dalam kegelisahan saja. Sajak seonggok jagung mengingatkan saya kepada pemikiran Iqbal tentang manusia. Iqbal mengatakan bahwa manusia yang ideal harus menyerap sifat-sifat Tuhan untuk dijadikan kekuatan kreatif, untuk mengubah dunia menjadi dunia yang lebih baik untuk dihuni. Tidak bersifat pasif terhadap realitas. Seonggok jagung tanpa sebuah ide kreatif, hanya akan tinggal sebagai seonggok jagung saja. Tidak lebih.

Hmm, banyak sekali masalah ya pada diri saya, tapi tak apalah, bukankah masalah adalah all human middle's name? bagaimana menurut anda?

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya