Selasa, Agustus 24, 2010

Sebelum Tidurku

Oleh: Fariha Ilyas


Hari ini adalah hari kesekian ribu dalam hidup yang katanya hanya sebentar ini. Banyak sekali orang yang telah kutemui di dunia ini. Aku bahagia karena setiap pertemuan adalah anugerah, hidup adalah anugerah.


Beberapa bagian dari hidupku ini tak dapat dipungkiri lagi selalu berkaitan dengan hidup orang lain, yang kucintai, kubenci, atau bagi orang yang tak mendapat perasaan istimewa dariku, semuanya menghasilkan akibat yang membentuk bangunan hidupku.


Banyak sekali waktu yang kulewati hanya dengan beberapa orang saja, atau seorang saja. Tentu dengan mengabaikan waktu untuk bersama orang lain, membuang kesempatan-kesempatan lain, dan yang paling sering teripikir adalah kebersamaanku itu telah memisahkan orang lain. Segala tindakanku mempengaruhi hidup orang lain. Bagaimana dengan tidurku malam ini? apakah tidurku akan mempengaruhi hidup orang lain? Mungkin iya, mungkin juga tidak.


Saat mata ini hampir terpejam banyak sekali hal yang melompat-lompat, serupa percik kembang api yang berkilat. Hal-hal itu mencegah kedua kelopak mataku saling mengatup, menunda kesadaranku hilang. Memaksa pikiranku untuk menimbang-nimbang lagi segala hal yang telah kulakukan. Seperti muhasabah yang kulakukan tanpa niat, ingatan-ingatan tentang banyak hal terus saja menyeruak, membongkar siapa diriku sebenarnya, meletakkanku pada derajat tertentu dalam ukuran yang dibuat oleh penimbang paling akurat di alam ini.


Seiring waktu yang ikut larut dalam setiap arus ingatan malam, hatiku menciut karena esok dipenuhi segala hal yang tak pasti. Aku gamang apakah aku harus menjalani hidup ini sesuai sesuatu yang kuyakini? Atau aku harus selalu berubah seiring kesadaranku setiap waktu?. Rasanya aku setengah terapung dan setengah tenggelam setiap kali aku hendak tidur, sadarku tak penuh, keyakinanku roboh. Sedang alam bawah sadarku makin lama makin kuat menarikku ke batas dunianya yang sebenarnya sangat kukenal, namun tak pernah benar-benar kupahami.


Saat sadarku berkata bahwa esok akan segera tiba, dan mengabarkan kehidupan baru yang harus kulalui sekali lagi dan sekali lagi, aku memilih untuk memaksa memejamkan mataku, mengirim diri sendiri ke dunia tanpa diri. Akhirnya kututup kesadaranku dengan bergumam : Hidup mungkin masih akan berjalan beberapa ratus ribu hari lagi, namun saat itu bukan aku yang menjalaninya, melainkan orang-orang sesudahku.


(Surakarta, 6 Agustus 2010)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya