Oleh: Fariha Ilyas
Balada Sepatu Lintas Waktu
”Momma always says there's an awful lot you could tell about a person by their shoes. Where they're going. Where they've been" (Forrest Gump)
Begitulah awal film forrest Gump, diawali dari sepasang sepatu, hanya sepatu. Namun dari sepatu itulah kisah hidup Forrest Gump yang sangat inspiratif dimulai, dan pada akhirnya nanti berakhir lagi pada sepasang sepatu.
Namun kali ini kisah tentang sepatu-sepatu itu takkan sepanjang dan serumit film Forrest Gump. Selanjutnya biarlah kupu-kupu kata-kata hinggap semaunya.
Seperti Forrest Gump Juga, banyak sepatu yang telah kupakai, namun yang dapat kuingat hanya beberapa saja.
Sepatu Hak Tinggi dan Jidat yang Benjol : Saat duduk di kelas 3 SD, aku mendapat pemberian sepatu dari kakek. Sepatu itu adalah sepasang sepatu kulit dengan hak tinggi, solnya istimewa karena terbuat dari kayu. Sepatu itu sangat kusukai karena memang pada waktu itu aku adalah fans berat penyanyi A. Rafiq. Tahukah engkau kawan, selain celana cut bray, A. Rafiq selalu memakai sepatu hak tinggi. Betul kan?
Sepatu dari kakek itu kupakai ke sekolah, hasilnya? Ribut!! Karena sepatu model itu tidak lazim dipakai anak seusiaku. Sekarang coba bayangkan kawan bagaimana anehnya anak SD dengan celana pendek, bersepatu hak tinggi, dengan kaos kaki panjang hampir setinggi lutut? Dapatkah kau bayangkan? Seperti itulah! Sepatu dari kakek itu juga sempat memakan korban, dan korbannya adalah jidat kakak perempuanku. Saat pertama kudapatkan sepatu itu aku girang tak alang kepalang, langsung saja kupakai sepatu itu, kemudian dengan maksud pamer kepada kakakku, kudekati kakakku yang pada saat itu sedang berbaring dan menonton televisi. Kuayun-ayunkan sepatu itu di dekat kepala kakakku dan…wuusshhh!! Sepatu itu terlepas dan melesat tepat di jidat kakakku! Sudah kuceritakan kawan bahwa sol sepatu itu terbuat dari kayu, jadi hasilnya bisa ditebak sendiri tanpa perlu kujelaskan lagi kepadamu!
Dallas Star dan Mbak Cholifah : Lagi-lagi ada nama wanita dalam kupu-kupu kata-kata, harap maklum, engkau tentu sudah mengerti bagiman tabiatku, kawan. Biasalah itu! Waktu kelas 1 SLTP, ada seorang kakak kelas yang mencuri perhatianku, Cholifah namanya. Wajahnya tirus dan hidungnya mancung, kalu berjalan selalu menunduk seperti sedang mencari uang receh yang jatuh. Entah kenapa aku bisa tertarik pada sepatunya, mungkin karena sepatu mbak Cholifah istimewa, atau daya ingatku yang istimewa? (hehe...mulai narsis!) tapi mudah saja, karena jalannya menunduk tentu aku pun ikut memandang ke bawah, ke arah pandangan mata mbak Cholifah, itulah yang menggiring mataku pada sepatunya! Sepatu itu adalah sepasang sepatu kets berwarna hitam dan berujung putih. Suatu hari pernah aku duduk di dekat Mbak Cholifah saat ia memakai sepatunya, saat itulah kutahu sepatu itu berlabel “Dallas Star”. Sampai sekarang jika aku pergi ke toko sepatu dan melihat sepatu sejenis dan bermerek “Dallas Star” aku pasti teringat mbak Cholifah, entah kenapa. Tapi setelah kuselidiki dalam labirin ingatanku, pada saat mbak Cholifah memakai sepatunya di dekatku itulah mbak Cholifah memanggil namaku untuk pertama kalinya “ Fariha Ilyas……” hhhhhmmmm……terbanglah jiwaku!!! Maka dari itulah selain selalu teringat mbak Cholifah setiap kali kutemui sepatu “Dallas Star” selalu terdengar sayup-sayup suara mbak Cholifah memanggilku “ Fariha Ilyas…..”. Hmmm…jiwaku terbang lagi….aku sudah gila!!
Pagi, Jendela, dan Lagi-Lagi Sepatu!! : Maaf bukan maksudku untuk curhat, tapi ini memang soal sepatu, kawan. Dulu, ada teman sekelas mbak Cholifah yang menawan, sebut saja Irna (karena namanya memang Irna! Bukan Julia Perez! Apalagi Bambang!) mbak Irna ini juga sempat menawan hatiku, oh, betapa lemahnya hatiku ini, sering menjadi tawanan, untung bukan tawanan perang!
Sekian lama aku tak pernah berani mendekati mbak Irna ini, karena orangnya irit kata-kata, berkharisma dan sangat tawadhu’. Aku tak bisa berbuat apa-apa untuk membebaskan hatiku yang tertawan. Namun suatu hari, entah kenapa, aku berangkat ke sekolah lebih pagi dari biasanya. Sesampainya di sekolah, aku langsung masuk ke ruang kelas, kebetulan masih sepi, hanya aku sendiri yang berada di kelas. Tak seberapa lama kemudian kulihat mbak Irna sedang duduk di depan kamar dengan setumpuk buku di sampingnya. Tahukah engkau apa yang mbak Irna lakukan? Nah inilah, ini memang masalah sepatu,kawan! Bukan melulu masalah cinta! Mbak Irna sedang memakai sepatunya. Semua kulihat dengan seksama dari balik jendela kelasku, rasanya bahagia sekali. Ternyata melihat wanita idaman memakai sepatunya itu jauh lebih membahagiakan daripada melihat wanita idaman itu sedang memakai cincin pernikahan dari pria lain! ( ya iya laaaa…aahhhh! Dasar tolol!).
Semenjak saat itulah tiba-tiba aku rajin berangkat lebih pagi ke sekolah, karena di sekolahku, setiap pagi ada mbak Irna yang sedang memakai sepatunya. Aku menjadi pemuja sepatu…eh pemuja rahasia untuk beberapa lama. Hehe!! Namun tak seperti soal sepatu mbak Cholifah dulu, aku tak tahu merek sepatunya, karena itu tidak penting! Karena aku bukan maling sepatu yang suka mengincar sepatu bermerek yang ditinggal pemiliknya sholat jum’at. Saat itu yang penting adalah siapa yang sedang memakai sepatu pastinya. Ah, sudahlah! Cukup!
Kepolosan, Kebodohan dan Bunga Sepatu : Entah karena apa tiba-tiba kupu-kupu kata-kata hinggap di sekumpulan bunga sepatu di depan rumah nenek. Bunga sepatu itu berwarna merah, pada saat itu temanku mengatakan bahwa bunga sepatu adalah bahan baku pembuatan semir sepatu. Bener gak ya? Tapi yang jelas waktu itu temanku bilang kalau “kalau sepatumu ingin mengilap, gosoklah dengan kembang sepatu!”. Kuikuti saja saran temanku itu dan hasilnya adalah: Nol! Bodoh!
Pramuka, Lari dan…..Sepatu Lagi! : Mungkin ini saat paling menyakitkan tentang hubunganku dengan sepatu, saat itu perkemahan tahunan diadakan di bukit yang berada tidak jauh dari daerah tempat tinggalku. Dan seperti biasa, perkemahan berjalan seru, seru karena peperangan dua kubu, G1 dan G3 masih terus berlangsung, terutama saat perebutan bendera. Lari, lari dan lari!! Tanpa berpikir yang penting lari!! Itulah akibat dari sebuah obsesi, otak kadang tidak terlalu dibutuhkan, kawan. Di akhir pertarungan bendera kami menangkan, namun ada yang tak beres dengan bagian belakang kakiku, tepat di atas tumit, oohh, ternyata lecet. Biasalah, namanya juga pramuka! Tapi lecet bukan sembarang lecet, lambat laun lecet itu bernanah, ternyata infeksi, kawan. Badanku demam, kesadaranku beberapa kali terganggu karena suhu tubuh yang sangat tinggi, lecet yang berbuntut panjang ternyata. Sampai saat ini tersangka belum ditetapkan, apakah kakiku lecet karena aku berlari atau karena SEPATU?
Air, Capek, Lem Castol dan Sepatu Tentunya! : Awal tahun 2004 aku mengikuti KMD (Kursus Mahir Dasar) di Kwarcab Kediri. Rangkaian kegiatan selam 9 hari yang melelahkan itu capeknya masih terasa sampai sekarang (jelas bohong!). Karena rekomendasi kakak kelas yang sudah mengikuti kursus setahun sebelumnya, aku meminjam sepatu pantofel yang kupikir cukup kuat untuk diajak “kerja keras” di tempat kursus nanti. Kursus dibagi 2 bagian, materi dan berkemah. Sepatu yang kupakai tentu harus bisa mengakomodasi 2 kebutuhan itu. Sepatu yang menutup sampai di atas mata kaki itu adalah sepatu andalan seorang teman, karena katanya sepatu itulah yang dulu dipakai temanku untuk kursus dan terbukti kuat. Akhirnya sepatu itu “kursus lagi” untuk yang kedua kali dengan kaki yang berbeda, kakiku tentu saja. Pada awalnya tak ada masalah, sampai tiba waktunya saat cross country, acara jalan-jalan keluar masuk desa itulah yang membuat sepatuku menemui petaka, seluruh peserta beberapa kali masuk sungai, dank arena memang perjalanan cukup jauh dengan medan yang bervariasi, sepatu itu pun menyerah, perekatnya sudah tak mampu lagi menyatukan kulit sepatu dengan solnya, sepatupun menganga lebar seperti buanya sedang menguap(atau berteriak?) aku dilanda stress karena kursus masih menyisakan beberapa hari lagi, dan aku hanya membawa satu sepatu saja. Ya sudahlah, pada suatu sore nan syahdu, saat istirahat tiba, aku menutup “mulut” sepatu itu dengan lem, kemudian sepatu itu kugencet dengan kaki meja agar benar-benar rekat. Untunglah sesudah hari itu tak ada lagi kegiatan-kegiatan yang membuat sepatuku “berteriak lagi”. Sepatu itu bertahan hingga kursus selesai.
Balas Budi, Takdir dan Rak Sepatu : Apakah benda-benda mati seperti sepatu itu memang benar-benar benda mati yang tak berjiwa? Atau sebenarnya benda-benda itu juga berjiwa? Kenpa kukatakan demikian? Karena kadangkala kita juga sering memperlakukan benda-benda mati itu layaknya benda-benda bernyawa seperti manusia, bahkan kadang-kadang justru diperlakukan lebih baik daripada memperlakukan manusia. Tidak percaya? Cobalah amati perilaku kolektor mobil antik, kolektor keris, kolektor buku kuno, dan kolektor benda-benda lain, tak jarng mereka lebih menyayangi koleksinya darpada anak-anak dan istri mereka (hah?). Hal itu sebenarnya adalah sola pemaknaan kita, bagaimana kita memaknai sesuatu dan juga menafsirkan sesuatu itu sebagai sebuah simbol, seberapa berartinya simbol itu buat kita, dan lain sebagainya. Namun yang jelas dalam kehidupan kita ini banyak sekali benda benda yang kita gunakan untuk mempermudah atau memperindah kehidupan kita.
Dan seperti kehidupan sewajarnya, apa yang disebut balas budi ternyata tidak hanya berlaku antar makhluk bernyawa, pada benda-benda tak bernyawa yang telah bejasa pada diri kita pun kita harus melakukan balas budi, itulah kenapa kita harus mencuci piring sesudah makan, bukan cuma masalah kotoran, namun juga semacam balas budi yang lebih umum kita kenal sebagai “perawatan”.
Mungkin sudah takdir, bahwa ternyata sepatu-sepatu itu dari dulu telah banyak mewarnai hidupku, dan ketika gerak kehidupan ini menuju satu titik kepastian yang diatur oleh kekuatan yang tak dapat kita bayangkan, maka sebuah keniscayaan tidak dapat kita tawar-tawar lagi.
Bukti konkritnya adalah beberapa waktu lalu saat ada pembagian tugas Desain Terapan, dari beberapa pilihan benda pakai, aku kebagian membuat rak sepatu. Sebelumnya aku malas membuat rak sepatu, karena itu kurang menarik bagiku, kalau boleh memilih aku lebih suka membuat rak buku. Namun setelah kupikir-pikir, inilah saatnya balas budi pada sepatu-sepatu itu. Wahai sepatu-sepatu yang tak berjiwa, bersabarlah, karena tidak lama lagi aku akan mermbuat rak sepatu untuk kalian!!!!
Pagi semakin terang, kupu-kupu kata-kata yang sudah mulai mirip kupu-kupu malam harus terbang lagi entah ke mana. Mungkain ia akan menyusuri lorong waktu yang penuh kristal.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya