Selasa, Agustus 24, 2010

Bingung Tengah Malam

Oleh: Fariha Ilyas




Bengi-bengi ra iso turu, rokok entek, kopi tandas, pikiran ngambang, iseng-iseng mencet keyboard ae lah, hhmmm....


Realitas, sepertinya sederhana, kaum materialis menganggap bahwa realitas memiliki tertib sendiri yang tidak terhubung dengan aturan-aturan yang transenden sifatnya. Sebaliknya kaum idealis percaya bahwa ada sesuatu di belakang realitas dan melampaui realitas empiris.


Lalu apakah yang dipersoalkan dalam realitas itu sendiri? mungkin jawabannya adalah pemaknaan. Saat hukum-hukum bekerja, membentuk hidup kita, kita akan mudah sekali goyah jika ada sesuatu yang tidak dapat dipecahka secara logis, kaum penganut positivisme (yang atheis) pasti akan mengatakan bahwa semua itu hanya soal waktu, celah-celah kosong akan terisi jika sains telah sampai pada titik perkembangan yang mampu menjawab misteri semesta, demikian seterusnya, hingga menurut mereka tuhan mau tak mau harus pergi dari setiap celah pertanyaan manusia yang telah diisi jawaban oleh perkembangan sains.


Manusia butuh kepastian, pergulatan filosofis tentang realitas yang telah terjadi ribuan tahun bukanlah sebuah dongeng murahan manusia yang mendamba kesejatian. Manusia yang sadar akan kefanaannya adalah makhluk yang gandrung akan kesejatian.


Tulisan di atas hanya sebuah pengantar acak bahwa segala sesuatu sangat mungkin tidak seperti demikian adanya. Dengan tidak berpihak pada salah satu kiblat pemikiran dapat dikatakan bahwa manusia selalu dalam kondisi mengambang, antara kebenaran yang nampak, dengan kebenaran yang tidak nampak-yang kemunculannya diawali dengan keraguan manusia itu sendiri- yang selalu membuat manusia berusaha sekuat tenaga dengan segala potensinya untuk mencari sebuah kepastian. Kepastian adalah obat yang menyembuhkan manusia dari belenggu kefanaan yang mengikatnya saat muncul kesadaran bahwa dirinya berlumuran waktu.


Segala upaya yang dilakukan manusia rupanya tak sempurna untuk menjawab segala pertanyaan yang terus bermunculan seiring berkembangnya pikiran dan pengetahuan manusia. Misteri demi misteri datang seiring matinya pertanyaan usang yang telah terjawab. Manusia pun kembali goyah.


Pada akhirnya kerinduan pada yang lain tak terelakkan seiring matinya nalar. Kerinduan akan yang lain (the other) adalah bukti bahwa nalar telah sampai di ambang batas wilayah jelajahnya. Nalar puitis pun lahir, nalar yang bekerja bukan pada wilayah kesejatian, namun di wilayah keterasingan yang mampu membuat manusia keluar dari jerat pemikiran yang mampat. Nalar puitis tak pernah mati, karena ia bekerja di wilayah tak berjejak, antara yang relatif dan yang mutlak.


Kehadiran sang lain yang sering kita sebut sebagai ruang kehampaan, roh absolut, Tuhan, nampaknya memang tidak pantas untuk dijadikan sekedar obat kecemasan. Dengan nalar puitis, justru sang lain selalu berusaha ditarik ke alam terang.


0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya