Senin, Agustus 23, 2010

KEBUDAYAAN LOKAL : SEBUAH IDENTITAS DALAM ERA HIPERGLOBALISASI

Oleh : Fariha Ilyas

ABSTRACT

Globalization has made this world looks smaller and seems like a unity. Time and space reduction has changed people’s mindsets, attitudes, and behaviors. Nevertheless, the ambiguities in this unity hit individual’s consciousness who is appealing the hidden identity. At that moment, the appreciation of local culture becomes so urgent; it is not only about finding identity but also an effort of appreciating the relevance in the global culture. In a relation with the education, the local culture should be able to be the spirit underlying every effort in shaping a better generation in the future.
Key words: Globalization, Culture, Space and Time, Education

PENDAHULUAN

Saat dunia berkembang dalam segala aspeknya, saat kebudayaan begitu mudah menjalar dan bercampur menembus batas wilayah, saat di mana segala bentuk ambiguitas mewarnai kehidupan sehari-hari, saat itulah identitas menjadi sesuatu yang paling di cari-cari. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi informasi menjadikan masyarakat begitu mudah dalam menyerap segala hal yang diinginkan, sehingga dapat dikatakan dalam era ini siapa saja dapat memilih berbagai hal dari kebudayaan luar untuk dijadikan gaya hidupnya. Yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa kondisi ini selain membawa dampak positif bagi kemajuan masyarakat juga membawa banyak dampak negatif khususnya dalam eksistensi kebudayaan lokal yang selama ini dianggap menjadi jati diri sebuah bangsa. Di satu pihak kebudayaan global dapat membawa kemajuan diberbagai bidang, dipihak lain telah mengancam eksistensi berbagai bentuk warisan kebudayaan lokal.

Disuatu titik tertentu masyarakat akan mengalami apa yang disebut dengan keterasingan (alienation). Keterasingan – perasaan tidak berdaya, terpencil – dalam pengertian ilmu sosial barangkali dimulai oleh Karl Marx yang menganggap bahwa sumber dari keterasingan itu terletak dalam cara berproduksi masyarakat. Pembagian kerja masyarakat telah melemparkan kaum proletariat ke tingkat keterasingan yang puncak, direnggutkan dari semua kualitas dan pemilikan (terutama pemilikan alat-alat produksi). Proses dehumanisasi semacam ini telah terjadi dalam masyarakat kapitalis dan telah menyusutkan sifat-sifat manusiawi kaum proletar menjadi alat pengada keuntungan semata-mata (Kuntowijoyo, 2006: 109).

Berbeda dengan Marx, Emile Durkheim yang menganggap bahwa lembaga-lembaga sosial sebagai hasil perkembangan wajar dari masyarakat dan arena itu harus diberi tempat yang kukuh mengajukan konsep tentang anomie. Menurut Durkheim, anomie akan terjadi bila pembagian kerja tidak menghasilkan solidaritas, yaitu jika hubungan antara organ-organ tidak menurut aturan. Dalam keadaan normal anomie tidak akan terjadi sebab sebagaimana sistem syaraf dalam tubuh manusia, organ-organ sosial juga berfungsi dalam sebuah ekuilibrium (Kuntowijoyo, 2009: 109).

Manusia modern telah membangun dunianya sebagai sebuah mesin yang menakjubkan dan kemudian mesin itu telah menguasainya. Dengan demikian manusia tidak lagi merasakan dirinya sebagai pembawa aktif dari kekuatan dan kekayaannya, tetapi sebagai benda yang dimiskinkan, tergantung pada kekuatan yang ada di luar dirinya, kepada siapa yang memproyeksikan substansi hayat dirinya. Demikianlah dalam dunia industri, pekerja telah kehilangan dirinya, menjadi atom ekonomi dan bekerja sesuai dengan perintah dari manajemen yang atomistik, begitu juga manajer industri, ia juga kehilangan dirinya sendiri karena seperti juga pekerja, semuanya menghadapi raksasa yang impersonal (Kuntowijoyo, 2009: 110).

Keterasingan dapat juga dihubungkan dengan kolonialisme. Mereka yang terjajah mengalami penindasan dari ras lain dan menganggap budaya ras penjajah lebih tinggi.
Dari uraian di atas, nampak bahwa banyak faktor yang menyebabkan sebuah masyarakat merasakan keterasingan. Namun yang paling dominan kita rasakan adalah keterasingan yang disebabkan oleh kolonialisme dimana dalam sejarah bangsa Indonesia penjajahan fisik telah kita alami sedemikian panjang. Dan hari ini pun setelah bentuk penjajahan fisik telah tiada kita menghadapi tantangan yang lebih besar, yaitu penjajahan ideologi dan kebudayaan. Setelah sekian lama terlena dalam bius kebudayaan asing, hari ini kita terhenyak saat kekayaan budaya kita diusik oleh bangsa lain. Kesadaran ini adalah sebuah titik balik dimana kita sebagai bangsa ternyata masih membutuhkan sebuah identitas dan berusaha mempertahankan identitas itu.

Fenomena yang terjadi hari ini merupakan contoh bahwa keterasingan menyebabkan adanya kesadaran balik. Disadari atau tidak kita merindukan kembali nilai-nilai yang asal. Saat inilah peran pendidikan menjadi penting karena merupakan alat yang paling utama dalam menanamkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini tenggelam dalam kurungan budaya asing. Saat inilah sebuah titik balik untuk kembali menghidupkan roh kebudayaan lokal demi menyongsong kehidupan di masa yang akan datang.

Merupakan sebuah kewajiban yang tak terelakkan lagi bagi kita sebagai sebuah bangsa untuk mewariskan nilai-nilai luhur kebudayaan local ini kepada generasi mendatang karena mewariskan kebudayaan yang rusak adalah dosa yang tak terampuni.


IDENTITAS

Giddens dalam Chris Barker (2000: 171) berpendapat bahwa identitas diri dapat disebut sebagai proyek. Identitas diri ini terbangun oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri, sehingga membangun suatu persasaan terus menerus tentang adanya kontinuitas biografis. Cerita identitas berusaha menjawab sejumlah pertanyaan kritis: ‘Apa yang harus dilakukan? Bagaimana bertindak? Dan ingin jadi siapa?’ individu berusaha mengkontruksi suatu narasi identitas koheren di mana ‘diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa lalu sampai masa depan yang dapat diperkirakan’. Jadi ‘Identitas diri bukanlah sifat distingtif, atau bahkan kumpulan sifat-sifat, yang dimiliki oleh individu. Ini adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh seseorang dalam konteks biografinya.

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam kita tentang identitas. Karena dia mengatakan bahwa identitas diri adalah apa yang kita pikirkan tentang diri kita sebagai pribadi. Tentu, dia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah kumpulan sifat-sifat yang kita miliki; ini bukanlah sesuatu yang kita miliki, ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk. Agaknya, identitas adalah cara berpikir tentang diri kita. Namun yang kita pikir tentang diri kita berubah dari satu situasi ke situasi yang lain menurut ruang dan waktunya. Itulah mengapa Giddens menyebut identitas adalah proyek. Yang dia maksud adalah bahwa identitas merupakan sesuatu yang kita ciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses, suatu gerak maju ketimbang sesuatu yang datang kemudian. Proyek identitas membangun apa yang kita pikir tentang diri kita saat ini dari sudut situasi masa lalu dan masa kini kita, bersama dengan apa yang kita inginkan. Identitas harapan kita ke depan.


BUDAYA INDONESIA

Selama ini para pengkaji kebudayaan Indonesia tampak selalu menghasilkan pandangan-pandangan yang bervariasi tentang apa kebudayaan Indonesia itu. Hal tersebut sudah terjadi sejak polemik kebudayaan tahun 1930-an. Achdiat K. Mihardja menyatakan polemik tersebut merupakan sejarah kebudayaan Indonesia, karena untuk pertama kalinya nilai-nilai dan ukuran-ukuran kebudayaan Indonesia dikupas dan diperiksa dengan agak mendalam dan teratur, justru pada saat bangsa ini sedang membentuk kebudayaan baru yang harus lebih sesuai dengan masyarakat modern sekarang ini (M. Yunus Melalatoa, 1997:6).

Pengertian “kebudayaan nasional” dan “kebudayaan asing” pun perlu dijelaskan lebih dahulu. Penjelasan tentang Undang-undang Dasar Negara Indonesia 1945 menjelaskan tentang apa yang disebut kebudayaan bangsa. Secara lengkap penjelasan pasal 32 UUD 1945 itu adalah:
“Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli sebagai puncak-puncak kebudayaan di setiap daerah di seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembang atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.”
Sebuah dokumen pemerintah yang lebih baru, yaitu “ Naskah Akademik Bahan Rancangan Undang- undang tentang Kebudayaan Nasional ” yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1985, memberikan rumusan-rumusan seperti tersebut di bawah ini.
“....inti kebudayaan itu terdiri dari gagasan-gagasan dan nilai-nilai budaya yang merupakan hasil abstraksi pengalaman para pendukung yang selanjutnya menguasai sikap dan tingkah laku para pendukungnya” (hal. 1);
“…..kebudayaan nasional berfungsi sebagai mekanisme pengendali yang bersifat nasional dan yang melintas suku bangsa maupun daerah” (hal. 3);
“kekuatan kebudayaan nasional sebagai pengikat persatuan dan kesatuan bangsa antara lain disebabkan oleh kenyataan bahwa kekuatan kebudayaan nasional itu:
a. Dapat memberi makna dan arah kehidupan serta cita-cita bangsa;
b. Merupakan kerangka acuan bagi sikap dan tingkah laku sosial dalam pergaulan antara sesame warga Negara; dan
c. Merupakan jati diri (identitas) bangsa yang menumbuhkan rasa bangga dan mengikat segenap pendukungnya” (hal. 3-4);
“kebudayaan asing adalah kebudayaan yang tumbuh dan berkembangan di luar wilayah Indonesia yang melalui hubungan langsung maupun tidak langsung masuk ke dalam kehidupan sosial budaya penduduk di Indonesia” (hal. 14-15);
”segenap warga negara juga berkewajiban melestarikan dan mengembangkan kebudayaan suku bangsa, kebudayaan daerahnya dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional melalui proses pendidikan dalam arti luas, baik di lingkungan keluarga, kelompok bermain, lingkungan kerja, maupun di kalangan masyarakat luas” (hal. 22);

Bagian inti dari kebudayaan adalah nilai-nilai dan konsep-konsep dasar yang memberikan arah kepada berbagai tindakan, baik yang dapat, layak, atau harus dilakukan oleh warga masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut, maupun yang layak dihindari atau dicegahnya. Bagian inti kebudayaan inilah yang perlu diinternalisasikan kepada anak didik sepanjang proses belajarnya. Seorang anak didik memang dibentuk untuk menjadi seseorang yang terampil, berpengetahuan, dan berkemampuan kerja, namun ia juga perlu dijadikan seseorang yang berpribadi utuh, yang hidup hati nuraninya, dan yang mempunyai kepekaan akan hal-hal yang indah dalam kehidupan ini.

Kebudayaan memberikan sukma pada pembangunan. Pada jalur utama pembangunan itu kita kembangkan nilai-nilai budaya nasional yang bersifat serba menyongsong masa depan, nilai keilmiahan, nilai keterbukaan dan demokrasi, nilai persaingan dan sportif untuk mencapai prestasi, nilai yang mementingkan perencanaan dan evaluasi dalam setiap pekerjaan, dan nilai-nilai lain yang searah dengan itu. Nilai-nilai ini menjadi beroleh citra Indonesia karena dipadu dengan nilai-nilai lain yang sebenarnya ditarik dari nilai-nilai budaya lama yang terdapat dalam berbagai budaya etnik lokal Indonesia. Ke dalam golongan nilai-nilai yang disebut terakhir ini termasuk nilai gotong royong, toleransi, menghormati orang tua, serta menghargai warisan budaya. Nilai kreatif yang mendapat aksentuasi dalam kebudayaan modern di seluruh dunia, sebenarnya terdapat juga dalam berbagai budaya etnik lokal kita, namun dalam modus yang seolah-olah diredam.

Apa yang terdapat dalam kebudayaan etnik lokal itu pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pembentukan jati diri bangsa secara nasional. Warisan budaya itulah yang membuat suatu bangsa merasa mempunyai akar. Di samping itu kesadaran sejarah, yaitu kesadaran akan perjalanan masa lalunya sebagai suatu rangkaian perjuangan ataupun eksplorasi untuk mengatasi masalah-masalah sezaman, pun merupakan suatu topangan untuk menegakkan harga diri bangsa.

Sebagai catatan khusus, dalam hubungan ini dapat diperhatikan amanat yang diberikan oleh GBHN 1993, yang intinya adalah :
1) Perlunya upaya penggalian, pemahaman, serta penghayatan nilai-nilai budaya yang telah lama berakar dalam kebudayaan di Indonesia;
2) Perlunya menemukan rumusan nilai-nilai baru yang menandai kebudayaan nasional, yang sesuai dengan tuntunan pemajuan perkembangan sosial, ekonomi, dan teknologi yang mutakhir.
Dalam kaitan ini perlu diingat bahwa dari zaman ke zaman bangsa Indonesia mengalami berkali-kali proses akulturasi pada waktu berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan besar dari luar Indonesia. Kebudayaan-kebudayaan besar tersebut secara berturut-turut adalah India beserta agama Hindu dan Buddhanya, kebudayaan yang menyertai ajaran Islam, dan kebudayaan Eropa beserta konsep modernisasinya. Pada dua tahap akulturasi besar yang telah terjadi di masa lalu, terbukti bangsa Indonesia manpu menyaring dan menyesuaikan unsur-unsur asing itu ke dalam tata kehidupannya sedemikian rupa sehingga sehingga terasa pas, cocok, dan tidak seperti dipaksakan. Pada waktu ini dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia masih berada dalam proses akulturasi dengan kebudayaan-kebudayaan barat yang telah lebih dahulu mendunia. Hanya kini terdapat suatu situasi yang jauh berbeda dengan masa-masa awal kolonialisasi. Kini informasi dari luar membanjir dan menerpa kesadaran kita bangsa Indonesia sari hari kehari dan dengan demikian meresatkan pula nilai-nilai yang dikandungnya.

Nilai-nilai tertentu yang mulai tumbuh dari kebudayaan barat itu, khususnya yang menyertai perkembangan masyarakat industrial kini telah meluas dikenal dan diambil alih oleh sebagian besar bangsa-bangsa di dunia. Gejala ini merupakan semacam keharusan zaman, yang ditandai oleh globalisasi dalam hal tata ekonomi dan tata informasi.

Masalah yang dihadapi sebagai bangsa yang tetap menganggap relevan untuk memiliki jati diri ini adalah bagaimana kita secara terpadu dapat senantiasa mengadakan pilihan-pilihan yang tepat atas tawaran-tawaran nilai dari luar Negara Indonesia itu, yang disampaikan melalui media informasi yang dari waktu ke waktu dan semakin luas jangkauannya.


BUDAYA GLOBAL

Budaya global (Global Culture) adalah sebuah konsep yang menjelaskan tentang mendunianya berbagai aspek kebudayaan yang didalam ruang global tersebut terjadi proses penyatuan, kesalingberkaitan dan kesalingketerhubungan. Oleh sebab itu budaya global sering diidentikkan dengan proses penyeragaman budaya atau imperialisme budaya. Meskipun demikian, konsep budaya global berbeda dengan gagasan kebudayaan dalam pemikiran Waller Stein tentang sistem dunia (world system), yang didalamnya kebudayaan dilihat sebagai sesuatu yang selalu mengacu pada gagasan, nilai, kepercayaan, dan simbol-simbol yang relatif eksplisit dan dianut secara umum, berdasarkan konsensus tertentu yang mengikat. Didalam sistem dunia tersebut – yang dibentuk lebih dominan oleh motif dan kepentingan ekonomi – kebudayaan tidak dianggap determinan di dalam bentuk masyarakat dunia (Yasraf A. Piliang, 2004: 285).

Budaya global, pada kenyataannya bukanlah konsep genealogis yang menjelaskan sebuah fenomena kebudayaan yang lahir atau mengakar pada sebuah teritorial tertentu, sebagaimana misalnya ketika kita membicarakan budaya Jawa. Budaya global, sebagai sebuah konsep, jauh lebih abstrak dan lebih kompleks. Dalam kerangka inilah Roland Robertson (dalam Yasraf A. Piliang, 2004: 285) melihat budaya global sebagai fenomena kebudayaan yang terbentuk oleh berbagai komponen citra dan definisi-definisi yang saling bertarung dan berkonflik. Oleh sebab itulah, budaya global sering dilihat sebagai sebuah fenomena “kepentingan historis dunia yang berbahaya’’ khususnya bagi eksistensi dan keberlangsungan budaya-budaya lokal yang bersifat otentik dan asli.

Featherstone (dalam Yasraf A. Piliang, 2004: 286) melihat budaya global tidak hanya dalam konteks penciptaan homogenisasi budaya, yaitu penyeragaman budaya dunia berdasarkan satu model dan strategi kebudayaan, akan tetapi juga dalam konteks familiarisasi terhadap keanekaragaman kultural yang lebih luas dan kaya. Hanya saja, familiarisasi budaya ini, pada kenyataannya tidak pernah terwujud, disebabkan para pemain utama di dalam ekonomi global, seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia, tidak mampu – atau tidak mau – memahami komplesitas relasi-relasi kultural tersebut. Ia memaksakan model budaya ekonomi yang seragam di berbagai tempat yang berbeda dan di dalam waktu yang berbeda. Kedua lembaga ini tampak berfungsi sebagai tangan-tangan Barat, yaitu sebagai pelindung nilai-nilai universal atas nama dunia yang dibentuk dalam citra dirinya sendiri (self image).

Homogenisasi budaya semacam ini dianggap oleh berbagai pihak telah menimbulkan berbagai tantangan dan ancaman bagi berkelanjutan budaya-budaya lokal di masa depan. Meskipun demikian, konsep budaya lokal itu sendiri tampaknya masih terlalu umum untuk menjelaskan berbagai kecenderungan lokal, yang dilandasi oleh keanekaragaman ideologi, seperti suku, ras, agama, daerah. Featherstone merumuskan budaya lokal sebagai “sebuah kebudayaan dari ruang yang relatif kecil yang didalamnya individu-individu yang hidup di sana melakukan hubungan sehari-hari secara face to face…penekanan adalah pada sifat kebudayaan sehari-hari yang a taken for granted, kebiasaan (habits) dan repetitif…. Stok pengetahuan bersama ….yang berlaku terus sepanjang masa dan dapat mencakup ritual, simbol, dan upacara-upacara yang menghubungkan orang-orang dengan tempat (place) dan common sense tentang masa lalu.”Budaya lokal, dengan demikian, dibentuk oleh struktur sosial yang mapan dan bentuk-bentuk hubungan sosial yang hangat, intim, personal, yang merekat berbagai komponen sosial secara kuat, yang mencakup budaya-budaya yang berlandaskan ideologi kesukaran, kedaerahan, atau keagamaan.

Pertemuan budaya global dan budaya lokal menjadi sebuah persoalan ketika struktur dan berbagai bentuk kehidupan sosial di dalamnya mengalami ketidakcocoakan, ketidaksetaraan, atau ketidakharmonisan satu sama lainnya - ketika pertemuan tersebut mengandung ancaman di dalamnya. Sebagaimana yang dikatakan Mike Featherstone, budaya global menjadi sebuah persoalan,ketika budaya-budaya lokal terintegrasi “ke dalam struktur-struktur yang lebih bersifat impersonal yang di dalamnya pengaturan pasar atau administrasi dijaga oleh elit-elit nasional atau para professional dan ahli lintas budaya yang mempunyai kapasitas untuk mengesampingkan proses pengambilan keputusan lokal dan menentukan nasib lokalitas”.

Dapat dilihat di sini, bahwa kemunculan semangat kembali ke budaya lokal (localism), merupakan sebuah reaksi terhadap globalisasi budaya, yaitu reaksi terhadap terjadinya homogenisasi atau penyeragaman budaya secara besar-besaran di dalam berbagai bentuk, media dan produknya, yang menyebabkan menyempitnya ruang lokal dan merosotnya pamor budaya-budaya lokal, serta kekhawatiran akan kelenyapan budaya tersebut, sehingga mendorong munculnya berbagai bentuk perjuangan budaya, khususnya perjuangan representasi budaya (cultural representation). Dalam hal ini, respek terhadap akar-akar budaya lokal digunakan sebagai senjata untuk menentang kekuatan impersonal, predator, dan anonim globalisasi.

Meskipun demikian, tidak semua gerakan kembali ke kebudayaan lokal merupakan reaksi terhadap globalisasi. Berbagai gerakan kesukuan, kedaerahan, dan keagamaan yang berkembang di Indonesia akhir-akhir ini – bersama berbagai konflik yang ditimbulkannya – misalnya, bukanlah dipicu oleh sentimen antiglobalisasi atau semangat melepaskan diri dari cengkeraman imperialisme budaya Barat. Gerakan-gerakan tribalisme tersebut lebih merupakan reaksi terhadap imperialisme dalam skala yang jauh lebih kecil, yaitu sebuah sistem otoriter yang diwariskan oleh rezim Orde Baru. Meskipun motifnya bukan antiglobalisasi, akan tetapi berbagai pengaruh global(-isasi) tetap saja akan mempengaruhi berbagai gerakan budaya lokal tersebut, khususnya terhadap keberhasilan/ kegagalannya, positif/ negatifnya dan berkelanjutan/kematiannya dimasa depan.


MASALAH RUANG DAN WAKTU

Melihat gejala-gejala globalisasi tentunya kita tidak dapat melepaskan diri dari kajian dan kesadaran akan ruang dan waktu. Karena pada dasarnya segala hal di dunia ini pastilah terikat oleh ruang dan waktu. Globalisasi mempunyai subtansi pelipatan ruang dan waktu, sehingga karut-marut yang terjadi dalam era global sebenarnya adalah kurangnya kesadaran akan ruang waktu yang tereduksi karena efek globalisasi.

Menurut Jakob Sumardjo, (2002: 83-85) : Manusia dan alam semesta sama-sama mengada dalam ruang dan waktu. Sejak seorang manusia dilahirkan, sampai kematiannya, dia berada dalam ruang dan waktu dunia itu. Tetapi apakah yang disebut “ruang” dan “waktu” itu? Pertanyaan filosofis semacam ini memerlukan jawaban filosofis juga. Sejak zaman Yunani dan zaman Upanishad di India, sampai sekarang pun, para filsuf telah mencoba memberikan jawabannya. Namun, seperti yang terjadi dalam dunia filsafat, tak pernah ada jawaban yang memuaskan, dan karenanya tetap akan muncul jawaban-jawaban berikutnya. Bidang filsafat yang menangani masalah ini adalah filsafat Kosmologi.

Karena primbon berhubungan dengan pandangan dunia Timur, maka ada baiknya menengok pemahaman waktu di dunia Timur, terutama India, sambil membandingkannya dengan pandangan Barat.

“Jadi waktu itu apa? Kalau tidak ada orang yang bertanya demikian kepada saya, saya tahu apa itu waktu. Kalau saya harus mencoba menjelaskannya, saya tidak tahu”, kata filsuf Abad Pertengahan, Agustinus. Memang, waktu untuk dialami, dan kita semua mengalami waktu, seperti “sekarang “, “tadi”, “nanti”, sebelum”, “sesudah”, “kemudian”, “serentak”. Tetapi apa yang dinamai “filsafat kosmologi”.

Anton Bakker menggolong-golongkan pemikiran tentang waktu dalam 4 golongan. Golongan Subjektivisme menyatakan, bahwa waktu itu sesuatu yang tidak rill, hanya merupakan bentuk subjektif-individual yang berasal dari pikiran. Ruag dan waktu adalah konstruksi-konstruksi pikiran yang bersifat relatif, terbatas dan ilusif. Pandangan ini terdapat di Barat maupun Timur. Dari Barat dimulai oleh Paramenides dan Zeno di zaman Yunani, sampai Descartes, John Locke, David Hume, Kant, Hegel dan Carnap di abad XX. Sedangkan di dunia Timur diwakili oleh kaum Budhis. “Masa lalu, masa depan, ruang fisik, dan individu-individu tak lebih dari deretan nama-nama, bentuk pemikiran, kata-kata dari kebiasaan umum, sekadar realitas dangkal” ungkap kaum Budhis.

Golongan kedua adalah kaum Realisme Ekstrem, yang menyatakan bahwa waktu itu realitas absolute otonom yang universal, tidak memiliki kesatuan intrinsik, tetapi hanya menunjukkan urutan-urutan murni. Pandangan yang bersifat spiritual ini berkembang di kalangan filsuf India purba, seperti kaum Jaina. Nyaya dan Vaiseshika sekitar tahun 500 Sebelum Masehi. Mereka menyatakan bahwa waktu adalah suatu substansi nonmaterial yang rill. Substansi unitaris yang tak terbatas, abadi, noneksisten dan tak terbagikan. Waktu itu hanya satu yang menampung dan meresapi segala yang ada. Di samping itu ada waktu empiris yang memungkinkan adanya perubahan-perubahan. Waktu empiris oleh konveksi manusia diletakkan atas waktu rill itu.

Pandangan demikian juga dianut oleh manusia Indonesia purba, dari mana primbon muncul. Di Barat juga terdapat pendapat seperti ini pada Newton, Whitehead, Clarke dan Alexander.
Golongan ketiga adalah kaum Realis Lunak, yang berpendapat bahwa waktu merupakan aspek perubahan rill, tetapi dihasilkan oleh subjek, dan terabstraksi dari kreativitas pengkosmos. Penganutnya antara lain adalah Aristoteles, Agustinus, Thomas Aquinas, Einstein.

Golongan terakhir ialah kaum Subjektivisme Lunak, yang banyak dianut oleh kaum Eksistensial. “Waktu itu memang rill, tetapi berciri melulu kualitatif, tidak bereksistensi dan tidak terukur, sebab kesadaran manusia memang tidak bereksistensi”, kata Henri Bergson.

Dan bagaimana dengan “ruang”? Ada 4 golongan pemikiran juga. Kaum Subjektif menyatakan bahwa ruang itu konsep subjektif saja, tanpa realitas. Hanya bentuk subjektif dalam persepsi,” kata Kant. Kaum Positivis pun berpendapat bahwa ruang dan waktu tidak mempunyai arti. Sebab keduanya bukan realitas empiris yang dapat dibuktikan dengan metode empiris-ilmiah.

Golongan kedua adalah kaum Realistis-Ekstrem, realitas tersendiri. Penganutnya kebanyakan para filsuf Timur dan filsuf pra-Sokrates di Barat. “Ruang itu tak terbatas, abadi, tak terobservasi, dan menjadi syarat kemungkinan ekstensi, tetapi tidak sam dengan ekstensi. Ruang terbagi dua, yakni ruang yang memuat dunia, dan ruang yang kosong di seberang sana.

Golongan ketiga ialah mereka yang melihat ruang sebagai konsep dengan dasar rill. “Ruang adalah rill sejauh terdapatkan keluasan berdimensi dengan panjang, lebar, dan tingginya. Ruang absolut tidak ada, harus ditolak, yaitu realitas yang berbeda dengan substansi kosmis. Ruang merupakan konsep logis saja, tetapi dengan satu landasan dalam kenyataan”, kata Aristoteles. Einstein termasuk golongan ini. Golongan terakhir adalah kaum Eksistensialis. Ruang selalu dihidupi dalam praktis.


TITIK BALIK : DARI GLOBALISASI KE LOKALITAS

Bila kecenderungan pengaruh budaya kapitalisme terus berlanjut: budaya konsumerisme,budaya citra, dan budaya tontonan, atau bila pandangan dunia (world view) yang dibangun oleh kapitalisme pada individu-individu di dalam masyarakat tidak diubah, maka sesungguhnya proses produksi kapitalisme global sama artinya dengan proses penghancuran budaya lokal.

Merubah pandangan dunia merupakan perubahan mendasar, dalam rangka menghidupkan kembali atau revitalisasi budaya local. Merubah pandangan dunia menurut Hazel Henderson di dalam Paradigms in Progress: Life Beyond Economics adalah dengan merubah paradigma kehidupan social itu sendiri. Masyarakat tidak dapat lagi menggantungkan masa depan mereka pada paradigma kapitalisme global, yang memuja indikator-indikator pertumbuhan (GNP/GDP) sebagai satu-satunya indikator kemajuan. Dalam upaya revitalisasi sistem-sistem lokal, harus dikembangkan indicator-indikator kemajuan yang digali dari sistem-sistem lokal, yang lebih sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal.

Merubah pandangan dunia, menurut Allen Tough di dalam Developing Knowledge in Future Studies – di samping perubahan paradigma – adalah juga merubah cara berpikir masyarakat (lokal) itu sendiri. Dalam hal ini, perlu dipahami berbagai aspek mengenai masyarakat secara mendalam: memahami keyakinan umum (common belief) yang hidup di dalam masyarakat, yang mengancam masa depan; memahami nilai-nilai individu dan tujuan individu; memahami mengapa orang-orang bertindak-tindak tertentu, dan bagaimana cara mengubahnya; memahami, apa saja yang dapat mendorong perubahan social dengan tepat dan cepat, dan apa yang menghambatnya; memahami peran apa yang dimainkan oleh ide-ide besar (powerful ideas), citraan-citraan (images), pandangan hidup dan keyakinan budaya (cultural belief) dalam perubahan, memahami cara mempengaruhi orang agar ia peduli terhadap budaya di masa depan; memahami lembaga atau intitusi apa yang dapat menghasilkan tingkah laku individual atau kelompok yang peduli terhadap peradaban manusia dalam jangka panjang.

Perubahan pandangan dunia dan cara berpikir tesebut sangat penting, oleh karena jalan apa pun menuju masa depan yang berhasil, akan ditentukan oleh perubahan mendasar pada perspektif, nilai dan tindak-tanduk individual. Merubah pandangan dunia berarti merubah bagaimana masyarakat local merubah persepsi mereka tentang makna (meaning) dan tujuan hidup yang selama ini sangat dibentuk oleh system kapitalisme. Untuk itu diperlukan pembelajaran (learning), khususnya, pembelajaran mengenai bagaimana kita menjalani hidup tidak sebagai sesuatu yang a taken for granted, sebagai sesuatu yang diterima begitu saja, akan tetapi melihatnya dengan sikap kriti (critical thinking): apa yang berubah dalam hidup kita? Siapa yang mengkonstruksi perubahan tersebut? Apa scenario perubahannya? Nilai-nilai apa yang kita peroleh dari perubahan? Nilai-nilai (tradisi, local) apa yang hilang? Ke arah mana perubahan tersebut? Sesuaikah perubahan nilai tersebut dengan ideology dan nilai-nilai tradisi budaya kita?

Akan tetapi, untuk dapat menumbuhkan kesadaran tersebut diperlukan pembelajaran social (social learning), yaitu pembelajaran yang melibatkan masyarakat secara keseluruhan, yang diwujudkan lewat memori sosial, diskursus, norma-norma sosial, hokum, pola-pola institusi, memori intitusi, persepsi bersama, dan sebagainya. Dan, salah satu proses pembelajaran social yang sangat penting adalah memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang perlunya mengadakan perubahan (change): bagaimana merubah pandangan hidup, gaya hidup, keyakinan budaya yang telah menjadi common belief ke arah pandangan di masa depan yang lebih baik. Khususnya, bagaimana pandangan dunia kapitalisme global yang berdasarkan pada prinsip kekuasaan, eksploitatif, dominasi, eksploitasi, kompetisi, diferensi dan hasrat tak terbatas, dirubah (atau dimodifikasi?) ke arah pandangan dunia yang lebih manusiawi, yang dilandasi oleh prinsip-prinsip lokalitas: kesederhanaan, kebersamaan, kemitraan, pengertian mutual.


KEBUDAYAAN LOKAL DAN ISI PENDIDIKAN

Isi atau substansi pendidikan dapatlah dikatakan selalu terkait dengan kebutuhan masyarakat. Masyarakat yang sejahteraan memerlukan warga yang cerdas-cendekia, yang terampil-mahir, yang bermoral tinggi, dan yang berkewarganegaraan dalam berbagai bidang kegiatan khusus. Untuk mendapatkan warga yang mempunyai kualitas-kualitas itulah maka diperlukan pendidikan. Kebutuhan akan pendidikan itu pun dapat dipilah atas dasar berbagai sasaran yang dituju. Ada kebutuhan untuk pertama, memenuhi peluang lapangan yang tersedia atau yang dibutuhkan. Disamping itu ada pula ada kebutuhan. kedua, yaitu untuk memenuhi pelestarian proses pendidikan itu sendiri, baik formal maupun non-formal, yaitu dengan menyediakan tenaga-tenaga pengembangan dan pembinaan di dalam sistem pendidikan itu sendiri. Di samping itu lagi, terdapat pula kebutuhan masyarakat yang ketiga, yaitu akan warga yang dapat menciptakan pekerjaan-pekerjaan baru, serta warga yang mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan yag dibutuhkan di dalam masyarakat walaupun tidak sebagai pekerjaan yang bergaji.

Alokasi dan penggolongan paket-paket pendidikan ini diacukan kepada kebutuhan-kebutuhan tersebut. Bagian yang terbesar memang perlu diselaraskan dengan kebutuhan-kebutuhan ’pasar’, khususnya dalam kaitannya dengan berbagai jenis industri. Pengkaitan program-program pendidikan dengan ’pasar’ ini akan mempunyai pengaruh nyata ke dalam perkembangan ekonomi dalam suatu masyarakat, lebih khusus lagi dalam suatu negara. Namun karena proses pendidikan pada dasarnya adalah sebuah proses pembudayaan, maka penanaman nilai-nilai budaya tidaklah pernah boleh dikesampingkan. Ia harus selalu menyertai proses pengalihan pengetahuan dan keterampilan, serta pembentukan wawasan.

Isi pendidikan, kecuali untuk masing-masing program diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan akan kemampuan-kemampuan khusus, pada waktu yang sama, secara umum harus pula memenuhi tuntutan untuk membentuk sikap hidup, moral, dan etika dari seluruh warga masyarakat sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dipedomani dalam masyarakat tersebut. Wawasan kebangsaan pun perlu ditumbuhkan bagi seluruh bangsa, dengan mengupayakan kesadaran budaya (bangsa dan sukubangsa) dan kesadaran sejarah.


KEBUDAYAN LOKAL DAN PROSES PENDIDIKAN

Untuk menjamin tercapainya tujuan-tujuan pendidikan, baik yang umum maupun yang dikaitkan dengan berbagai program studi, seringkali penetapan isi pendidikan saja tidak memadai. Diperlukan pula perancangan yang cermat mengenai metode-metode yang tepat serta sistem pendidikan yang dianggap paling menguntungkan.

Jika suatu tujuan budaya sudah dipancangkan, misalnya untuk menanamkan penghargaan tinggi kepada kreativitas, kepada kejujuran, ketangguhan dan kentutasan, maka proses pendidikan mesti memberikan ruang cukup untuk mnegolah dan melatih kualitas-kualitas tersebut. Kualitas-kualitas kualitatif ini tak dapat diolah dalam kehampaan, melainkan harus secara simultan bersama pemberian pelajaran yang bersifat menambah pengetahuan. Di sinilah para pelaksana pendidikan ditantang untuk menggunakan daya ciptanya serta kepekaannya untuk memanfaatkan kondisi-kondisi lokal yang dihadapinya di lapangan. Tuntutan untuk membina jatidiri bangsa dan sekaligus tanggap terhadap perkembangan-perkembangan pada skala dunia menjadikan dunia pendidikan pada waktu ini justru berada pada titik pertumbuhan yang menggairahkan.(Edi Sedyawati 2007: 27-28).

Apabila dapat dipegang pengertian bahwa masyarakat adalah suatu kesatuan sosial yang ditandai oleh kebudayaan yang khas baginya, maka dapatlah dikatakan bahwa fungsi pendidikan dalam sebuah masyarakat adalah untuk menjamin keutuhan budaya dari masyarakat yang bersangkutan sedemikian rupa, sehingga kelangsungan eksistensi masyarakat tersebut terjaga. Selanjutnya, indikasi dari keutuhan budaya adalah tidak adanya kekacauan nilai-nilai di dalamnya. Pendidikan dapat dikatakan berfungsi dengan baik di dalam masyarakat apabila ia dapat, melalui metode dan substansinya, menanamkan sejumlah nilai yang terintegrasi. Sebaliknya, pendidikan dapat dikatakan tak berfungsi dengan baik apabila ia berisi ajaran-ajaran yang saling bertentangan satu sama lain. Nilai-nilai budaya selanjutnya terjabar kedalam sikap hidup serta pandangan etika dan moral.

Itulah fungsi utama dari pendidikan, yang memang bersifat abstrak, tetapi bukannya tidak dapat dikenali dari seperangkat indikator yang nyata, apabila diusahakan betul-betul untuk menguranginya. Bagian yang lebih konkrit daripadanya adalah yang bersifat pengajaran, yaitu yang berupa upaya-upaya untuk mengalihkan pengetahuan dari guru kepada murid. Ukuran keberhasilan dari aspek pengajaran ini lebih jelas daripada penanaman nilai tersebut di atas. Pada umumnya orang menganggap bahwa hasil pengajaran inilah yang betul-betul dibutuhkan untuk kelak dipakai dalam dunia kerja. Mungkin anggapan ini ada benarnya, namun tidaklah sepenuhnya karena terbukti pula bahwa persyaratan untuk memasuki jenis-jenis pekerjaan tertentu dipancangkan melalui test-test psikologi tertentu yang tujuannya untuk menilai sikap-sikap tertentu dari pelamar kerja. Manfaat penanaman nilai-nilai budaya yang dianggap positif memang lebih besar sebagai pembentuk pribadi (pada skala individu) dan sebagai pembentuk jati diri bangsa (pada skala kebangsaan) dari pada sebagai bekal mencari pekerjaan (khususnya yang bersifat teknis semata).

Dengan uraian yang terakhir ini, jelaslah bahwa pendidikan yang berfungsi mencerdaskan bangsa itu harus menghasilkan manusia-manusia yang berdaya guna dalam dunia kerja, serta sekaligus kreatif dan berbudaya. Berbudaya dalam hal ini berarti memiliki nilai-nilai budaya nasional yang trans-etnik dan bersifat menyongsong masa depan, serta mampu pula menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam warisan budaya. Dengan jati diri yang kuat bangsa kita mudah-mudahan tidak akan jatuh ke dalam kedudukan sebagai pengekor belaka dari bangsa lain. Posisi yang mandiri di antara bangsa-bangsa lain inilah yang pada gilirannya dapat menghasilkan persamaan dalam pergaulan antara bangsa.



DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahmat Fathoni.. 2005. Antropologi Sosial Budaya Suatu Pengantar. Rineka Cipta: Jakarta
Chris Barker. 2006. Cultural Studies. Kreasi Wacana: Yogyakarta.
C. P. Snow. 2004 . Dua Budaya: dan Sebuah Pandangan Kedua. Jalasutra: Bandung.
Darmaningtyas. 2004. Pendidikan yang Memiskinkan. Galang Press: Yogyakarta
Edy Sedyawati. 2007. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah: Jakarta.
Edi Sedyawati. 2007. Keindonesiaan dalam Budaya. Wedatama Widya Sastra: Jakarta
Irwan Abdullah. 2007. Kontruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Jakob Sumardjo. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia. Qalam: Yogyakarta
Junus Melalatoa (ed) . 1997. Sistem Budaya Indonesia. Pamator: Jakarta.
Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. P.T Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan: Jakarta.
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta.
Tibor R. Machan. 2006. Kebebasan dan Kebudayaan. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
Yasraf Amir Piliang.2004. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Jalasutra: Bandung.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya