Selasa, Agustus 24, 2010

Bangku Kayu

Oleh: Fariha Ilyas





Sebuah bangku kayu. Hhmm, sebuah bangku kayu dan cahaya matahari sore yang membuat bangku itu nampak keemasan. Bukan tentang bangku itu atau matahari sore sebenarnya, atau hamparan ilalang yang bergoyang serentak, ini semua tentang mata seseorang yang menatap senja dan ilalang itu.

Kadangkala angin behembus lebih kencang, dan ilalang meliuk lebih rendah, daun-daun bergesekan mengikuti iramanya. Seakan angin menjadi konduktor dalam memainkan partitur dari komposer agung sore itu. Namun ini bukan tentang daun atau partitur purba itu, ini tentang rambut seseorang yang menjadi berirama, selaras harmoni yang telah dituliskan sang komposer agung.

Beberapa saat lewat dengan bermacam obrolan. Obrolan yang selalu menjadi hangat dan begitu cair. Sore itu selalu menjadi waktu yang terbaik untuk saling berbagi cerita. Namun sebenarnya ini bukan tentang obrolan atau sore yang indah, melainkan tentang senyuman seseorang, derai tawanya, dan tentang bagaimana ia bercerita.

Saat sore dengan cepat menjadi gelap dan warna merah di langit semakin matang. Ilalang mendadak diam karena angin berhenti bertiup. Partitur tak berjudul telah usai dimainkan hingga bar terakhirnya. Namun ini bukan tentang sore yang bergegas usai atau angin yang terhenti. Ini tentang bagaimana seseorang bediri menatap akhir cahaya tembaga yang tinggal sisa-sisa, tentang bagaimana seseorang menghela nafas panjang di saat melepas sesuatu yang begitu berkesan.

Sebenarnya semua bukan soal bangku, senja, angin, ilalang, atau senyuman. Namun tentang sebuah ingatan dan kata cinta yang tak sempat kukatakan saat itu.

(Sore biasa, 13 Juni 2010)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya