Oleh: Fariha Ilyas
Siap grak! Itulah teriakan yang kudengar kemarin, sambil lalu, dari sekelompok pramuka yang sedang melakukan cross country. Hhmm, pramuka adalah masa lalu, pramuka adalah tanggung jawab, pramuka adalah berlatih. Lalu apa artinya dengan sebuah cross country yang dilakukan sekelompok anak kampung ini?
Kupu-kupu kata-kata terbang, berputar-putar, lalu hinggp di sebuah bongkahan kristal.
Hari itu adalah hari biasa, sepulang sekolah, kami-anak kampung- biasanya akan menghabiskan waktu untuk bermain hingga sore. Permainan yang kami lakukan berganti-ganti sesuai dengn trend, hihi...namun yang dapat kuamati, tradisi cross country adalah yang tak kenal musim, berpetualang adalah hal aynag akan selalu muncul pada diri seseorang, kapan saja, tanpa bisa diatur. Demikian juga pada kami, anak-anak kampung.
Siang itu, kami yang terdiri dari, Widodo, Muslih, Anshori, Muhtadin, Nurdini, Sentot, dan aku sendiri, berencana melalkuakan sebuah petualanagan dalam rangka “petualangan itu sendiri” hehehe. Biasanya yang kami tuju adalah daerang Kedungpanji, yang terletak di seberang sungai. Jika kampung kami termasuk bagian dari wilayah Kabupten madiun, maka Kedungpanji adalah bagian dari wilayah kabupaten Magetan. Kedungpanji menjadi favorit untuk berpetualang karena alamnya yang sedikit berbeda dengan kampung kami. Kedungpanji masih memiliki daerah liar semacam hutan.
Siang itu kami berangkat juga dengan berjalan kaki, kami tidak membawa apa pun kecuali ketapel. Kebetulan saat itu adalah musim kemarau, jadi air sungai yang membelah 2 wilayah kabupaten berbeda itu surut, kami pun tidak perlu naik gethek untuk menyeberang, cukup berjalan mengiris aliran sungai yang tidak terlampau deras itu. Namun aku tetap saja tak bisa menyeberang sendiri, karena tubuhku paling kecil diantara teman-teman yang ikut dalam petualangan itu. Aku digendong oleh Anshori.
Kami pun dengan mudah menginjakkan kaki di Kedungpanji. Petualangan kami sebenarnya adalah “golek manuk” atau mencari burung. Kami berjalan biasa saja melewati rumpun bambu yang lebat dan pepohonan yang banyak tumbuh di daerah tepi sungai, kami bersikap waspada pada setiap langkah, karena burung-burung suka bersembunyi di pepohonan.
Pada suatu momen, Muhtadin atau yang biasa dipanggil Tadin membidik seekor burung yang dilihatnya, Wuuussss!!!! Baru dari ketapelnya meluncur deras menuju sasaran, bukannya berhasil malah karet ketapelnya yang putus! Hhuuhh, akhirnya Tadin memakai ketapelku untuk memburu burung. Kami terus berjalan, di sebuah tempat, dekat rumpun bambu, akhirnya Tadin berhasil membidik seekor burung kutilang. Akhirnya perburuan kami membuahkan hasil. Sentot yang membawa burung hasil buruan itu, ia berjalan di belakang bersamaku. Burung itu sekarat. Waktu kami melewati ladang tebu yang baru dipanen,ditebang. Kami berhenti, dengan sedikit kacau, burung itu kami sembelih dengn kulit tebu yang kami pungut di ladang tebu itu. Walau sedikit memaksa, namun burung kulitang itu akhirnya mati juga.
Perjalan terus berlanjut, namun ternyata hanya burung kutilang tadi lah yang bisa kami dapatkan hari itu. Sore menjelang, dan kami pun pulang dengan rute yang sama. Kami pulang dengan sebuah janji nanti malam sesudah maghrib.
Mahgrib telah kami lewati dengan bersama-sama berjamaah di masjid kampung. Sesudah mengaji, aku segera menghambur ke rumah Nurdini, karena di rumahnya lah kami saing berjanji untuk bertemu. Malam membuat semuanya tampak samar, Nurdini berdiri di depan rumahnya dengan memegang tempurung kelapa yang mengeluarkan asap. Ia menunjukkan kepadaku isi tempurung itu, arang yang menyala merah dan burung kutilang hasil berburu tadi sore. Ya, kami berjanji malam ini akan makan seekor burung kutilang ini. Walaupn malam itu tidak semua kawanku datang, tetapi aku tetap menyantap, sekaligus mengenag seekor burung kutilang panggang.
Kupu-kupuku terbang, entah ke mana, mungkin ia akan menyusuri lorong waktu yang penuh kristal...
(Sore biasa, 30 Mei 2010)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya