Oleh: Fariha Ilyas
Ruang kelas adalah penjara
Penjara paling indah
Aku ingin dijebloskan ke dalamnya
Untuk melihatmu dari jendela
Kupu-kupuku terbang di suatu pagi, pagi yang telah lama mengkristal. Pagi yang bertahan dari kikisan waktu.
Aku melihatnya pertamakali pada suatu pagi, ya, seingatku itu adalah selasa pagi. Di depan kelas dan saat itu ia sedang berjalan. Aku melihatnya pagi itu. Ia tidak begitu tinggi, berkulit sawo matang dan walaupun dia berjilbab, aku bisa melihat rambutnya yang panjang, sebatas pinggul. Entah siapa dia, aku tak mengenalnya.
Ia pasti siswi baru. Ia berbeda karena roknya, ya, saat kami semua berseragam putih-biru dongker, ia mengenakan seragam putih-biru laut. Tapi jujur saja akau tertarik padanya saat itu karena ia adalah gadis yang manis. Sangat manis.
Beberap waktu kemudian aku tahu namanya dari seorang teman. Lalu dengan segera saja mamal-malamku menjadi gelisah. Aku menjadi seseorang yang amat sering memikirkannya. Kapanpun, dimanapun. Aku sering melihatnya saat pelajaran berlangsung, saat itu ia sedang mengenakan sepatunya. Aku selalu seksama melihatnya dari jendela kelasku. Ia pun lama-kelamaan menyadari bahwa aku sering melihatnya.
Suatu siang, aku dan dia beradu pandang, lama sekali. Ia sedang , mengenakan sepatunya dan aku sedang berada di kelas. Yang memisahkan kami hanyalah lapangan sekolah yang tajk berumput, namun saat itu jarak rasanya sudah hilang, karena mataku langsung saja menghujam hatinya. Maaf, maksudku matanya yang menghujam hatiku.
Suatu ketika kudapatkan selembar kertas yang bertuliskan angka-angka, aku tak mengerti, namun dengan bantuan seorang teman akhirnya aku bisa mengerti apa yang ditulisnya lewat angka-angka itu. Aku menyimpannya, lama sekali. Selembar kertas itu sebetulnya adalah biodatanya, hanya itu.
Bunga-bunga bermekaran di hatiku hingga beberapa waktu. Sampai akhirnya kuterima sebuah sobekan kertas di mejaku. Darahku seakan membeku karena sobekan kerts itu bertuliskan kalimat yang begitu menyakitiku. Bunga-binga di hatiku berguguran. Dadaku sesak. Naamun kertas itu tetap kusimpan saja, berama selembar kertas yang kudapatkan dulu.
Selembar kertas dan sebuah sobekan kertas itu berasa dari dua gadis yang berbeda, dan hal itu membuatku galau saat itu. Apakah aku akan tetap bertahan dengan perasaanku pada pemilik selembar kertas? Atau aku percaya kepada penulis di sobekan kertas itu?
Lama sekali aku dalam kebimbangan, sampai akhirnya datanglah seorang teman yang berada diantara perasaanku dan pemilik selembar kertas itu. Belum usai kebimbanganku, kini ketakutan datang menyerangku.
Ah, sudahlah, begitu kataku pada diri ini. Waktu kubiarkan saja berjalan tanpa kesan. Kubiarkan saja pemilik selembar kertas itu menjalani semuanya, sesuai dengan keinginannya. Sampai pada suatu waktu aku diserang kerinduan yang tak terahankan kepada pemilik selembar kertas itu. Huh, lama sekali aku tak melihatnya, dan beberapa waktu lalu aku akhirnya punya kesempatan untuk datang ke kotamu. Hanya ke kotamu. Tapi tak mengapa, itu sudah cukup untukku. Juga untukmu.
Kupu-kupuku terbang lagi, entah ke mana. mungkin ia akan meyusuri lorong waktu yang penuh kristal..
(Sore biasa, 30 Mei 2010)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya