Oleh: Fariha Ilyas
Saat waktu tak peduli
Bahkan saat waktu membunuhmu
Percayalah
Bahwa semuanya takkan hilang
Hanya sedang bersembunyi
Kupu-kupuku terbang, berputar-putar seperti biasa, lalu menukik tajam, ke sebuah kampung. Kampung di mana aku dilahirkan dan menghabiskan masa kecilku. Persahabatan, itulah hal yang telah kumengerti sebelum aku mengenal hal-hal lain tentang hubungan antar manusia. Sahabat masa kecilku adalah seorang anak kecil yang tampan. Perkenalkan, namanya Wahib Muawwan alias Waho.
Waho dan Namanya Sendiri: secara etimologi, Wahib berasala dari kata “Wahaba” yang artinya memberi, wahib adalah sebagai pelaku, pemberi. Sedangkan muawwan berasal dari kata “Aawana” yang berarti menolong, disini muawwan adalah kata benda, pertolongan. Wahib Muawwan berarti Pemberi Pertolongan. Apalah arti sebuah nama? Begitu kata shakespeare, penulis roman cinta paling abadi dalam sejarah umat manusia, Romeo dan Juliet. Tapi nama pada hakikatnya adalah sebuah harapan, sebuah do’a. Untuk itulah sebelum memikirkan hal-hal lain dalam kehidupan kita, orang tua selalu mencari-cari nama yang baik untuk jabang bayi yang akan lahir ke dunia ini. Bukan hanya sebuah panggilan yang akan melekat seumur hidup, tetapi sebuah do’a. Harapan. Tapi entah kenapa nama agung “Wahib Muawwan bisa berubah menjadi “Waho”? aku lupa sejarahnya. Tapi jelas bukan aku yang merubah-rubah nama itu, kawan. Tapi tak perlu lah kau risaukan hal itu. Waho adalah orang yang seringkali menolongku, dalam hal apapun. Sesuai namanya: Pemberi Pertolongan. Hehe.
Waho dan Barter Sepeda: Sepeda kecil, inilah asal-muasal dimulainya persahabatanku dengan waho. Dulu, waktu SD kelas 1, aku sekolah sore, sekolah diniyah, semacam TPA. Suatu sore aku dihampiri seorang nenek, katanya nenek itu, beliau ingin meminjam sepedaku. Cucunya pengen naik sepedaku. Akhirnya sepeda itu kupinjamkan, sementara aku masuk kelas. Setelah selesai belajar, aku datang lagi ke rumah nenek itu untuk mengambil sepedaku. Besoknya, saat aku masuk sekolah lagi, aku dihampiri nenek itu, beliau berkata kalau cucunya ingin bertukar sepeda denganku. Setelah dijelaskan, akhirnya aku setuju. Aku akhirnya naik sepeda dari nenek itu, dan sepedaku akan dinaiki cucunya. Cucu nenek itu adalah bocah bernama “Waho” tadi. Hihi. Entah berapa minggu kami bertukar sepeda. Aku tak ingat. Yang jelas aku heran karena sepedaku sebenarnya tak lebih bagus daripada sepedanya. Sepedaku hanya sepeda biasa berwarna merah, sedang sepedanya adalah sebuah BMX warna hitam. Hmmm, sepedaku sekarang masih ada. Tapi BMX itu entah di mana rimbanya.
Waho, Pesantren dan Tekanan Batin: Selepas lulus Madrasah Ibtidaiyah. Waho melanjutkan ke sebuah pesantern di Jombang. Aku pernah mendengar cerita konyol dari ayahnya. Suatu hari, waho diantar ke terminal setelah liburan di rumah. Setelah itu ayahnya kembali ke rumah. Pada waktu itu ayahnya akan melakasanakan sholat di masjid. Wah!!! Waho ada di masjid! Pulang lagi dia! Itulah saat Waho kena penyakit yang namanya tekanan batin! Hihi. Akhirnya Waho pindah sekolah ke sekolahku. Kami pun bersama lagi merusak hukum alam. Hehe..lebay....
Waho, Aku dan Kepala Botak: Waktu itu ujian tulis tahun 2004 dimulai. Seperti biasa, pagi sebelum ujian kami semua berkumpul untuk mengikuti upacara pembukaan ujian. Aku sendiri panik karena terlambat. Saat aku datang, do’a penutup sedang dibacakan. Gawat!! Akhirnya aku sembunyi di balik pagar pesantren. Kacau!! Aku sedang memikirkan akibat yang akan kuterima karena kesalahanku ini. Tanpa sepengetahuanku, sebenarnya pada saat itu Waho juga sedang bersembunyi di tempat yang tidak terlalu jauh dari tempatku. Terlambat juga dia! Hahaha. Malam harinya, panitia ujian yang memang bermata sangat jeli memanggil kami. Dengan disaksikan seluruh penduduk negeri (lebay) ketampanan kami dilenyapkan bebarengan dengan dibabatnya rambut iondah yang menempel di kepala kami laksana mahkota berlian ini. Habislah sudah. Malam itu kami tak lebih dari 2 ekor tuyul yang menyedihkan.
Waho, Aku dan Roda Depan di Atas: Setelah lulus sekolah, aku mulai keasyikan bermain-main dengan benda yang tidak cukup aman untuk dijadikan mainan: Motor. Tingkah polahku di atas motor adalah akumulasi dari sifat congkak, agresif dan gila. Waho pun demikian. Hampir setiap hari kami berdua bermain-main dengan mengendarai motor dengan roda depan di atas (wheelie). Siang, sore, malam, Cuma hal itu saja yang kami lakukan di jalan-jalan sepi. Akhirnya kami bisa juga memamerkan kemampuan yang tidak membanggakan itu ke orang-orang. Hihihihi.
Waho, Aku dan Air Mata: Akhir Juli 2007, mendadak aku harus pergi ke bogor untuk mengajar dan rencananya selkalian melanjutkan kuliah. Waktu hari keberangkatan itu tiba, aku ke rumah Waho untuk berpamitan, waktu itu aku dan Waho sedang menjalani kehidupan dengan komunikasi yang buruk. Tapi sebagai sahabatnya, hatiku selalu mendorong untuk berpamitan. Kebetulan hari itu Waho tidak ada di rumah, aku lemas. Dengan berat hati akhirnya aku pergi ke kota. Secara kebetulan aku dipertemukan dengan Waho di sebuah tempat di kota. Kukatakan panya bahwa sebentar lagi aku harus ke Bogor. Dia kaget. Dia mengatakan padaku bahwa dalm beberapa hari dia juga akan ke Merauke. Kuliah di sana. Aku lebih kaget. Namun perpisahan tak terhindarkan. Siang itu matanya berkaca-kaca. Saat itu aku lebih kuat. Air mataku baru tumpah saat aku sudah berada di atas bis yang akan membawaku ke Bogor.
Waho dan 9 Maret: 9 Maret adalah hari kelahiran kawanku ini. Maret 2006 adalah saat paling gila yang pernah kualami, saat ulang tahun Waho ke-18 ini, hanya dalam waktu beberapa jam saja terciptalah masalah yang berbuntut panjang. Hooo??? Sik eling ra??? Hahahahaha!!!!!Diceritakne ra??? Gawaaaaaaatttttt!!!!! 9 Maret 2008, setelah berpisah, akhirnya kawanku ini pulang pas hari ulang tahunnya ke-20. Kebetulan saat itu aku sedang berada di rumah. Pagi itu kami bicara banyak hal di tepi sungai, di dekat jembatan yang roboh karena banjir di akhir tahun 2007. Setelah itu acara dilanjutkan dengan bercengkerama di warung kopi dengn 2 sahabatku yang lain, Arfi “Kancing” dan Yoyok “Boyo”.
Waho, Aku dan Senja: Huuhh....berapa kali senja kita lewatkan Ho?? Sambil.....roda depan di atas!!! Hihi...tapi senja kali ini yang paling indah. Saat awan-awan tipis membuat cahaya matahari menjadi bias. Aku ingin mengatakan kepadamu, jika kau pernah bingung mencari baju merah jambumu, baju itu ku simpan. Selalu kusimpan, Sejak dulu. Baju itu kusimpan di kos. Sebagai pengingat tentang kita. Ya, tentang kita. Terutama tentang kau.
Lorong waktu selalu saja
Membuatku tergoda
Masuk, atau sekedar melongok ke dalamnya
Kupu-kupuku terbang lagi, entah ke mana. Mungkin ia akan menyusuri lorong waktu yang penuh kristal.
(Malam Bising, 24 Mei 2010)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya