Selasa, Agustus 24, 2010

Catatan Simpang Jalan (1)

Oleh: Fariha Ilyas



Siang mendidihkan kepala, debu berterbangan meyesakkan nafas, kering, sekering hati seorang bocah yang-karena kepolosannya-bahkan tak menyadari bahwa hatinya telah kering kerontang. Ada sepucuk do’a dari ibu yang terselip di sakunya, lama sudah do’a itu ia simpan sebagai teman dalam setiap langkah kecilnya menyusuri kerasnya kota.


Saat lampu-lampu yang mengirim isyarat berubah warna, berubah pula pikiran bocah yang sehari-hari hanya berkaos kumal dan bersandal beda warna itu. Ada setitik harapan tentang masa depan yang takkan lagi terlalu keras menamparnya, dan menjanjikan sebuah kehidupan yang tak lagi menyingkirkannya dari kehidupan orang-orang.


Namun harapan itu juga cepat sekali berubah, secepat lampu-lampu itu berubah warna, harapan-harapan menjadi timbul tenggelam, tak pernah kokoh seperti gedung-gedung bertingkat yang kian menjamur, menjulang, membuat bocah-bocah sepertinya makin tak nampak. Jika hari ini berlaku baik kepadanya, tak sulit untuk lepas dari rasa lapar yang kadang sudah terlampau parah menyiksa perut mungilnya, membuat sekujur tubuhnya lemas, mencegahnya mengayun langkah gesit menyusuri kota, mengais sisa-sisa makanan yang disantapnya dengan setumpuk rasa terpaksa.


Rasa terpaksa? Mungkin orang yang mempunyai banyak pilihanlah yang harusnya merasa terpaksa jika melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya, namun harus tetap dilakukan. Karena toh sebenarnya ia punya pilihan-pilihan lain untuk melakukan hal yang lain pula. Namun bagi bocah semacam dia, pilihan itu hampir tak ada, rasa terpaksa itu harusnya tak ada, karena demikianlah jalan hidup yang harus ditempuh, apapun rasanya.


Bocah itu tak sendiri rupanya, karena potret bocah yang kering hatinya seperti dia bahkan telah menjadi sebuah kolase raksasa dalam bingkai kehidupan kota. Setiap kali orang menatap bingkai itu, mungkin hanya akan ada satu atau dua tarikan nafas panjang tanda iba, yang kemudian meluncur hilang, menguap bersama hembus nafas yang hanya sejenak tertahan. Itulah kadar kepedulian paling rendah. Sekedar iba.


Matahari mulai condong ke barat, lampu-lampu masih berganti-ganti warna. Bocah itu melangkah pulang, membawa sedikit kepingan logam di saku. Dengan setumpuk letih yang akan di tebusnya dengan berbaring semalaman di gubuk kecil pinggir kali yang bau. Tak ada ruang lega baginya, bahkan untuk tubuhnya yang mungil, apalagi untuk hatinya yang kadangkala lebih besar dari hati orang dewasa.


(Surakarta, 13 Agustus 2010)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya