Oleh: Fariha Ilyas
Hujan turun lagi
Terus, berkali-kali
Membekukan hati
Menghamparkan sepi
Hujan, entah berapa kali hujan telah turuh ke bumi. Mungkin tak dapat terhitung lagi. Beberapa hujan membuatku rindu pada seseorang, beberapa lagi membuatku mengumpat, dan selebihnya membuat perasaanku tak merasakan apa-apa.
Namun saat hujan turun seperti tak ingin reda, seolah-olah ia ingin mengatakan sesuatu padaku. Tapi hujan memang tak ingin berterus terang, ia menggodaku dulu dengan dingin yang dibawanya, juga dengan gemericik tiap tetes airnya yang lambat-laun terpantul di lorong-lorong hatiku yang kosong. Riuh.
Jendela kamar, pagi dan hujan yang tak kunjung reda sejak semalam seolah-olah telah merencanakan sesuatu untukku, rencana yang sungguh rahasia, rencana yang telah disusun jauh sebelum aku mampu memikirkan kehidupanku saat ini.
Sepi saat hujan mungkin adalah hal yang sering terasa, karena pada saat itu orang-orang lebih nyaman berada di dalam rumah untuk bercengkrama atau sembunyi di balik selimut mereka. Namun hujan kali ini seakan memaksaku keluar, keluar dari kungkungan pikiranku selama ini. Karena ia memaksaku, akhirnya aku menghambur ke luar. Hujan menyambutku, mengguyurku dengan riang, percik-percik air hujan yang jatuh ke tanah menari-nari di sekitar kedua kakiku. Seperti pesta.
Kutengadahkan wajahku ke langit, ke mendung kelabu yang menjadi asal tetesan-tetesan dingin ini. Namun mataku terpejam, menghindari butir-butir air yang melesat ke arahku. Kulontarkan pertanyaan kepada setiap tetes hujan yang masih turun, juga kepada seluruh airnya yang telah menggenang. Apa yang hendak kau bawa untukku? Siapakah yang akan kau pertemukan denganku?
Lagi-lagi hujan menggodaku, tiba-tiba derai airnya membuat irama yang lebih kuat daripada sebelumnya. Ia membungkusku dalam dingin yang justru sangat kurindukan selama ini. Rasanya hujan pun telah lama merindukanku. Ia begitu senang menggodaku.
Beberapa saat aku kehilangan diriku sendiri, entah ke mana sukmaku pergi. Hingga akhirnya kesadaranku kembali, saat itulah muncul sekilas ingatan tentang gadis berpayung yang kutemui dulu, aku heran. Sangat heran. Aku heran bagaimana waktu berlaku padaku, bagaimana waktu membuatku kehilangan banyak hal, juga bagaimana waktu mengembalikan hal-hal yang telah lama kulupakan, terkubur dalam timbunan ingatanku, tumpang-tindih dalam kotak-kotak usang yang terkunci rapat di kepalaku.
Jauh sebelum, hari ini. Kusadari bahwa aku telah melupakan gadis itu, gadis berpayung itu. Gadis yang cantik dan lucu. Rambutnya lurus sebahu dan kaki-kakinya yang kecil terus saja menapaki jalan yang biasa dilaluinya setiap hari. Dia tak mengacuhkanku saat itu. Aku memang mengamatinya dari tempat yang tak nampak olehnya. Jadi ia bukan tak mengacuhkanku, ia tak pernah melihatku. Tapi aku yakin bahwa ia telah jatuh cinta padaku sebelum ia mengenal, atau bahkan melihatku. Cinta memang kadang datang tak terduga, seperti gadis kecil itu yang tak menyadari bahwa ia telah jatuh cinta kepadaku, aku pun selama ini tak menyadari bahwa aku telah mencintainya. Cintaku kepadanya adalah cinta yang sepi, cinta yang sebenarnya selalu berteriak-teriak, jauh, jauh sekali di dasar hatiku tanpa pernah terdengar.
Namun seperti sihir yang tak mampu kutangkal lagi, hujan kali ini dengan sedikit memaksa, telah membuka kunci kotak usang di kepalaku, yang membuat kenanganku pada gadis berpayung itu berhamburan ke luar. Kenangan itu bercumbu dengan rintik hujan yang telah dikenalnya akrab. Dan meraka berdansa. Ini memang sebuah pesta.
Ditengah tarian hujan, seperti yang telah dijanjikan dulu saat ruhku belum ditiupkan ke jasadku. Hari ini, disaksikan langit dan bumi yang telah lama menanti saat-saat jani itu dipenuhi, tiba-tiba saja terdengar suara yang lirih terdengar di antara derai hujan. Aku tak mengenali suara itu, namun tak dapat kusangkal bahwa suara itu menggema di hatiku. Sekali lagi suara itu terdengar, ia memanggil namaku, lembut sekali. Dan seperti mimpi, saat kubalikkan tubuh ke arah suara itu di hadapanku telah berdiri sosok wanita yang sangat anggun, keanggunan yang telah lama kukenal dan diam-diam kurindukan. Aku tercekat.
Dialah gadis berpayung yang dulu pernah kuikuti langkahnya. Hujan kali ini benar-benar menggodaku. Aku ingin berteriak pada hujan, tanpa sadar aku menangis. Kupeluk gadis itu dan payungnya pun terjatuh. Ia pun basah kuyup sepertiku. Lama sekali kupeluk tubuhnya yang selembut beludru. Saat itu aku bertanya pada hujan, dari mana ia tahu bahwa gadis ini pernah kutemui pada suatu waktu yang jauh? Dalam riuh pesta kali ini hujan menjawab lirih ”dari matahari”. Dan aku pun mengerti.
Waktu seakan berhenti di titik puncak kecepatannya. Hujan mulai reda, tetes demi tetes mengantarkannya pada penghabisan. Tapi hujan yang lebih deras baru saja turun, dari kedua kelopak mataku.Tangis yang pesta.
Rindu, terbayar sudah
Oleh pertemuan kecil
Di kala waktu datang menyergap
Melebihi cahaya kilat
(Sore saat hujan menggoda, 15 Mei 2010)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya