Senin, Agustus 23, 2010

Antara Rindu, Kehilangan, dan Penyesalan

Oleh : Fariha Ilyas

Rasa kehilangan memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Manusia seringkali merasakan kehilangan jika ada sesuatu yang tidak lagi ada dalam hidupnya, entah itu seseorang atau benda yang dimiliki. Dan dari rasa kehilangan itulah tulisan ini dibuat.

Kakek

Entah sejak kapan aku mengenal kakek, sama sekali tak dapat kuingat. Tapi yang jelas aku telah berinteraksi dengan kakekku sejak aku masih sangat kecil. Yang dapat kuingat adalah bahwa kakek merupakan seorang perokok berat, beliau menghisap rokoknya hampir setiap saat. Dulu, rokok yang paling sering dihisapnya adalah Retjo Pentung yang berbungkus merah. Aku masih ingat pada suatu kali ketika aku sholat jum’at di samping kakekku rokok dan korek apinya diletakkan di lantai masjid. Rokok yang kedua adalah NB, entah berapa lama kakekku menikmatinya. Kadang-kadang kakek membuat rokok sendiri dari klobot jagung. Aku masih ingat suatu kali ada sekarung penuh klobot jagung di rumah kakek

Selain perokok berat, kakekku juga seorang penggemar olah raga tinju. Setiap kali ada pertandingan tinju yang disiarkan di televisi, kakek hamper tidak pernah absen. Yang menarik adalah kebiasaan kakek menulis angka-angka di lantai ketika pertandingan tinju berlangsung. Angka-angka itu tak dapat kumaknai, aku tak mengerti hingga sekarang.

Jika rambutku mulai tampak panjang dan tidak rapi, maka kakeklah yang seringkali memotong rambutku. Saat kakak menjalankan tugasnya merapikan rambutku seringkali aku tertidur, karena kakek sangat berhati-hati dalam memotong rambut sehingga memakan waktu yang cukup lama.

Kadangkala teringat olehku mobil-mobilan yang dibuat kakek untukku. Mobil-mobilan itu berwarna abu-abu. Terbuat dari kayu,juga beroda kayu. Mobil-mobilan itu cukup untuk menampung tubuhku yang kecil. Jika sudah berada di dalam, kakek menariknya sehingga aku sangat senang karena merasa seperti naik mobil sungguhan.

Kakekku mempunyai 2 sepeda antik. Aku masih ingat saat kakek mengajakku melihat sepeda itu untuk yang pertama kalinya di rumah salah seorang teman kakek. Suatu saat kakek mengajakku ke sawah saat senja tiba. Tak pernah kusangka sore itu akan mebatu dalam ingatanku. Menjadi fragmen yang terus saja membayang hingga aku dewasa. Suatu saat saat aku sudah cukup besar untk mengendarai sepeda antik kakek, kakek memberikan satu sepedanya untukku. Sepeda itu masih ada hingga sekarang.

Kakek juga memiliki beberapa buah topi kulit. Yang dapat kuingat adalah topi abu-abu, krem dan coklat. Kakek akhirnya memberikan topi warna krem padaku. Jika memakainya, tampangku jadi mirip koboi dari Texas.

Selain sepeda dan topi, kakekku mempunyai beberapa ekor kambing yang digembalakannya hampir tiap hari. Kadangkala aku ikut menggembalakan kambing-kambing itu di dekat persawahan. Suatu kali aku tertidur saat menggembalakan kambing bersama kakek di dekat lapangan sepak bola di kampungku.
Untuk mencari rumput, kakek menggunakan sabitnya yang selalu terasah. Kakek sangat menyukai sabit yang dimilikinya, karena dipesan ke seorang pembuat sabit dan di sabit itu tertulis nama kakek.

Salah satu kebiasaan kakek adalah berjalan di sore hari. Dengan baju batik, kain sarung, kopiah dan sandal Lily-nya, kakek biasanya berjalan di jalan depan rumahku. Hapir setiap sore.

Kakek tidak punya dompet. Uangnya dibungkus dengan rapi di kantong plastic yang agak tebal dan jika berada di rumah, kantong plastik ini sudah barang tentu diletakkan di tempat yang sangat tersembunyi.

Beberapa bagian waktu dapat kuingat sebagai tonggak-tonggak dan sebagian yang lain tak dapat kurasakan . Pada suatu hari kakek jatuh sakit dan harus menjalani operasi di bagian perut. Dan semenjak operasi itu kesehatan kakek tidak juga membaik. Luka bekas operasi itu tidak dapat pulih dengan sempurna. Setelah beberapa lama bergelut denga rasa sakit, Kakek meninggalkanku untuk selama-lamanya. Rasa sesal menusuk-nusuk hatiku karena selam kakek tergolek lemah, aku sangat jarang menjenguknya, aku asyik dengan hal-hal yang kusukai. Aku tak menghiraukan rasa sakit kakek. Aku tidak berlaku seperti kakek yang menyayangiku.

Saat kupahat batu nisannya dengan tanganku, rasanya rinduku pada kakek begitu besar, rindu yang sudah aku tahu takkan pernah terobati. Kakek, bagaimanapun, adalah orang yang pernah menggoreskan banyak sekali kenangan dalam hidupku. Tapi kakek adalah manusia seperti manusia-manusia lainnya, yang memiliki takdir. Dan saat kakek pergi, selesailah sudah cerita diantara kami. Sekarang entah bagaimana nasib kakek, bagaimana keadaannya, aku tak tahu. Kakek sudak tidak ada. Tidak ada lagi dalam hidupku ini. Dan ketiadaan itulah yang membuatku merasa kehilangan.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya