Oleh: Fariha Ilyas
Malam terus bergulir, seiring gerak jarum jam yang telah melewati angka dua belas. Sepi. Di luar sana angin sepertinya enggan berhembus, seluruh alam malam itu seperti sedang beku oleh beberapa bait syair yang dibacakan malaikat entah dari lapisan langit keberapa.
Daun-daun cemara kaku seperti besi yang sebenarnya. Kuncup-kuncup bunga yang siap mekar rupanya juga tak ingin buru-buru memamerkan keindahannnya kepada rerumputan yang sejak tadi berdiri bukan layaknya rumput, melainkan paku-paku yang tajam.
Saat itulah sebuah jendela terbuka, sebuah jendela dari rumah yang dikelilingi pagar kayu bercat putih. Dari dalam menyembullah kepala gadis berambut panjang yang berwajah muram. Matanya sembab karena menyerah saat beberapa tetesan bening memaksa keluar dari pelupuknya, membawa banyak sekali tetesan lain yang hampir tak tertahankan beberapa malam ini. Gadis itu adalah pusat segala sunyi malam ini, titik tengah segala kesedihan yang memaksa setiap ekor jangkrik menahan suaranya, beberapa malam ini.
Sepanjang malam gadis itu hanya diam, memandang semua hamparan pilu yang tercermin di setiap jengkal pandangan matanya. Segalanya nampak pilu karena hati gadis itu kelu karena rindu yang sekian lama tenggelam dalam kekalutan.
Dan di langit sana, malaikat terus saja membacakan bait-bait syair agung yang menembus kegelapan, mencairkan hati setiap orang yang mampu mendengar dan meresapi syair malam. Namun gadis itu tak pernah mampu mendengarkan bait-bait syair yang sebenarnya adalah sebuah sejarah yang dilantunkan, sejarah yang telah memberi banyak sekali pelajaran bagi manusia-manusia yang tinggal dalam sebuah bingkai besar bernama ruang-waktu.
Enyahlah segala cinta. Teriak gadis itu, sebuah teriakan yang tak terdengar, karena hanya sebuah teriakan hati yang sekarat. Hati yang sekian lama dibebat paksa di tonggak aturan yang tak peduli. Segumpal hati itu kini pelan-pelan menjadi sepotong daging biasa, tanpa sifat-sifat istimewa. Semua berubah menjadi begitu tragis, seperti yang diinginkan dunianya, dunia yang tak peduli.
Saat malaikat hampir selesai membacakan syairnya di langit, sayup-sayup terdengar syair yang serupa, mengalun lirih, seirama gerak alam yang pelan-pelan mulai terasa. Diawali dengan kuncup bunga yang mengembang, lalu daun-daun cemara yang mulai bergoyang.
Dari jendela itulah berhamburan syair-syair tandingan, syair-syair yang menyamarkan syair-syair langit. Malaikat pun diam, menyimak dengan seksama setiap kata yang terucap dari seorang gadis yang tak berdaya. Syair itu dibawa angin yang mulai lembut bertiup, jauh sekali, menusuk jantung malam.
Sejak saat itu, tak terdengar lagi syair-syair malaikat. Karena syair-syair gadis itulah yang kini menjadi pengisi malam. Syair-syair itu memenuhi setiap kekosongan yang ditinggalkan oleh manusia-manusia. Bahkan syair itu memenuhi kosongnya bentang langit. Menggema di sebuah ruang luasnya yang tak terbayangkan.
Jarum jam terus bergerak, semakin dekat dengan angka-angka yang sudah sedemikian akrab. Lalu sebuah kepastian datng lagi, kepastian yang menggelisahkan hati gadis itu, dan hati setiap orang yang menyadari arti gerak jarum jam.
Alam semakin menggeliat, gadis itu surut ke peraduan, tersungkur dalam kepastian yang mengherankan, terjerembab dalam lingkaran tanpa batas. Jarum jam sepertinya tunduk kepada takdir, tanpa sedikitpun ragu akan sifat waktu yang ambigu. Hanya gadis itu yang menyadari, bahwa kepastian yang akan menjemputnya adalah : sesuatu yang tak pasti.
Membalut luka dengan air mata
Terseok membaca jejak-jejak pengembara
Apa dayaku? Jika udara menyesakkan rongga dadaku
Dan ruang-ruang menghimpitku
(Untuk Pemilik Boneka Minke, 7 Juni 2010)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya