Senin, Agustus 23, 2010

Entahlah

Oleh: Fariha Ilyas



Filsafat secara singkat adalah sebuah disiplin yang mengajarkan kita untuk mencapai kebenaran dengan menggunakan akal pikiran. Sedang agama mengajarkan kita mencapai kenbenaran dengan wahyu.

Sebagai sebuah disiplin yang spekulatif, tentu filsafat juga berlobang di sana-sini, dan aku sadar bahwa setiap dari kita tentu berhak memaknai semuanya sesuai persepsinya. Dalam batas bahwa segala yang kita kemukakan itu bisa dipertanggungjawabkan.

Mungkin bagi beberapa orang yang kulakukan ini hanya membuang buang waktu, karena toh dengan keimanan, kita dituntun untuk meyakini dengan seyakin-yakinnya segala ajaran agama yang kita anut. Namun buatku itu kurang karena secara pribadi kalau aku mau jujur, apa yang aku lakukan selama ini hanya sebatas tunduk dan patuh pada pelajaran moral yang kudapatkan sejak kecil. Belum sampai pada tahap benar-benar menerima secara “Sadar”.

Agama kita tentu selalu mendorong umatnya untuk berfikir. Karena akal adalah kelebihan kita sebagai manusia. Akal ini diciptakan oleh Allah untuk mengolah pengetahuan dan pengalaman-pengalaman inderawi yang akan menjadi apa yang kita sebut sebagai ilmu. Pertanyaan muncul lagi, cukupkah akal pikiran kita melakukan itu semua? Aku mulai ragu karena sangat sulit membuat konsep-konsep tanpa ada imaji-imaji yang berasal dari pengalaman, dari sini memang dapat dimengerti bahwa memang Rasionalisme dan Empirisme adalah 2 hal yang selalu bertentangan dalam Epistemologi, entah sampai kapan, tapi kurasa sampai Dunia ini selesai. Hehe. Sampai di titik ini sebenarnya 2 hal tersebut memang harusnya saling mengisi seperti yang terkonsep dalam filsafat Immanuel Kant.

Untuk mengetahui asal-muasal segala sesuatu memang kurasa akal kita tidak mampu. Karena akal tak berarti apa-apa tanpa pengalaman, dan pengalaman tak bermakna tanpa akal. Kedua-duanya juga terbatas oleh ruang-waktu yang terus berubah. Disinilah mungkin tonggak-tonggak filsafat eksistensialisme didirikan agar manusia benar-benar menyadari apa, siapa, dan di mana dirinya sekarang “ada” dan berada.

Sejarah telah banyak mengajarkan kita bagiamana manusia selalu berpikir dan bergerak mencari identitasnya. Dan perlu ditekankan bahwa identitas adalah sesuatu yang dinamis, selalu bergerak, dan identitas itu tidak bisa kita dapatkan begitu saja. Apa yang menjadi titik kajian sebenarnya adalah “Siapa sih manusia itu?” “Kenapa kita ada di sini?” dalam agama kita tentu mudah mencari jawabannya.

Silang-sengkarut kehidupan di dunia ini menurut pendapatku hanya soal kehendak. Tuhan berkehendak menciptakan alam semesta, juga berkehendak menjalankan hukum-hukum alam semesta ini sesuai dengan kodrat-Nya. Namun pada prakteknya manusia pun juga punya kemauan atau kehendak, di titik-titik inilah pertimbangan-pertimbangan, pemikiran-pemikiran beradu dengan firman-firman, peperangan kehendak Tuhan-dengan kehendak manusia. Manusia yang merasa “sadar” tentu sulit menerima kebenaran iman. Dan sekali lagi persoalan waktu yang sangat ambigu membuat manusia sulit melihat kehidupan ini secara utuh.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya