Minggu, Agustus 29, 2010

Eksistensialisme Jean-Paul Sartre

“Sungguh, berdasarkan pada fakta tunggal, bahwa saya sadar tentang sebab-sebab yang mengilhami tindakan saya, sebab-sebab ini sudah merupakan objek-objek transenden bagi kesadaran saya; mereka berada di luar. Sia-sia saja saya berupaya untuk menangkap mereka; saya terlepas dari mereka karena eksistensi saya. Saya dihukum untuk eksis selamanya untuk melampaui esensi saya, melampaui sebab-sebab dan motif-motif tindakan saya. Saya dihukum untuk menjadi bebas. Hal ini berarti tidak ada batas-batas bagi kebebasan saya, yang dapat ditemukan kecuali kebebasan itu sendiri atau, jika amda lebih suka, bahwa kita tidak bebas untuk berhenti menjadi bebas “ (Jean-Paul Sartre)



Mendengar nama Jean-Paul Sartre, ingatan kita langsung dibawa pada sosok filsuf asal prancis yang pemikirannya cukup radikal namun berbobot. Sartre lahir di paris tahun 1905. Belajar di sekolah nomor satu prancis, Ecole Normale Superieure. Bersentuhan secara intelektual dengan pemikir macam Hegel, Edmund Husserl, Henry Bergson, dan Martin Heidegger. Kesemuanya membuatnya menjadi pemikir nomor wahid yang karya-karyanya selalu menggoncang jagad pemikiran kontemporer. Eksistensialisma adalah nama filsafatnya.

Eksistensialisme adalah filsafat yang menyibukkan dirinya dengan persoalan seputar eksistensi, khususnya eksistensi manusia. Sebeleum Sartre, memang filsuf macam Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger, dan Soren Kierkegaard telah membahas persoalan eksistensi manusia. Namun oleh Sartre konsep itu dibuat lebih gamblang dan mudah dipahami.

Seperti halnya Kierkegaard, Sartre mengemukakan bahwa eksistensi selalu berupa yang individual, unik, bukan yang universal. Artinya, eksistensi tidak bias direduksi pada esensi, kodrat, hakikat yang universal sifatnya. Yang individual bukan eksemplar dari yang universal. Contoh, manusia x, y, z bukan sekedar eksemplar dari konsep universal manusia sebagai animal rationale, animal symbolicum, homo ludens dan lain sebagainya.

Eksistensi mendahului esensi. Begitu tesis eksistensialisme Sartre. Sartre membalik tradisi filsafat barat sejak Plato yang selalu menyatakan esensi mendahului eksistensi. Apakah yang dimaksud dengan eksistensi dan esensi? Eksistensi adalah adanya hal-ihwal, sedang esensi adalah apa-nya. Ketika kita bertanya apa pohon itu, sesungguhnya kita bertanya tentang esensi, sedang eksistensi adalah kenyataan bahwa pohon itu ada, seperti mobil, rumah, rumput, anjing ada.

Kembali pada tesis Sartre di atas. Sartre menegaskan bahwa kita tidak bisa menjelaskan esensi manusia seperti esensi benda-benda buatan tangan (manufaktur). Ketika kita melihat sebilah pisau dapur, kita langsung tahu bahwa ia dibuat oleh seseorang yang memiliki konsep di kepalanya tentang tujuan dan prosedur pembuatannya. Sebelum dibuat, sebilah pisau dapur telah memiliki tujuan tertentu dan merupakan produk dari sebuah proses pembuatan yang tertentu pula. Esensi pisau dapur oleh karenanya mendahului eksistensinya, karena konsep mendahului keberwujudan pisau tersebut.
Kita cenderung melihat manusia seperti pisau dapur tadi. Kita cenderung menjelaskannya sebagai produk dari perajin agung, yaitu Tuhan. Sebelum manusia ada, Tuhan telah memiliki konsep tentang manusia seperti halnya perajin pisau memiliki konsep tentang pisau buatannya. Setiap individu adalah realisasi konsepsi tertentu yang telah ada di pemahaman Tuhan sebelumnya. Tuhan dan kodrat adalah dua hal yan tak terpisahkan.

Sartre membalik ini semua. Dia mengambil jalur ateisme. Logikanya berbunyi “Jika Tuhan tidak ada, otomatis manusia, pun bebas dari beban kodratnya, karena tidak ada Tuhan yang memasangnya dan terus-menerus mengawasinya”. Manusia pertama-tama ada dan baru kemudian mewujudkan esensi/ kodratnya. Manusia adalah semata-mata apa yang dirajutnya sendiri. Manusia menurut Sartre lebih tinggi derajatnya dari entitas lainnya, karena ia tidak memiliki kodrat yang telah ditentukan sebelumnya. Manusia, singkatnya, adalah sosok yang bebas.

Manusia, seperti entitas lainnya, juga bereksistensi. Namun, eksistensinya berbeda karena dimuati kesadaran. Kesadaranlah yang menjadi dasar pemikiran eksistensialisme Sartre.

(Sumber : Percik Pemikiran Kontemporer)

1 komentar:

Jiwa Rusia mengatakan...

Tulisannya bagus, sayangnya warna hurufnya sulit dibaca :3

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya