Senin, Agustus 23, 2010

PENDIDIKAN SENI SEBAGAI PENGEMBANG MULTI INTELEGENSI PESERTA DIDIK

Oleh: Fariha Ilyas

PENDAHULUAN

Pada salah satu puncak perenungannya, Plato mengemukakan tesisnya: "Art should be the basic of education". Seni seharusnya menjadi dasar pendidikan, ujarnya. Gema dan relevansi pernyataan ini masih sterasa sampai saat ini, khususnya dalam pelaksanaan pendidikan seni di sekolah umum. Dalam perspektif pendidikan, seni dipandang sebagai salah satu alat atau media untuk memberikan keseimbangan antara intelektualitas dengan sensibilitas, rasionalitas dengan irrasionalitas, dan akal pikiran dengan kepekaan emosi, agar manusia 'memanusia'. Bahkan, dalam batas-batas tertentu, menjadi sarana untuk mempertajam moral dan watak.

Dalam konteks ini, seni tidak ditempatkan dalam “perspektif kesenian". Artinya, seni tidak dipandang demi kesenian itu sendiri, yang walaupun dalam pelestarian atau pengembangannya eksplisit maupun implisit terjadi juga suatu proses pendidikan. Seni dalam konteks pembicaraan ini, secara konseptual dan empirikal, ditempatkan sebagai sarana dalam pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Walaupun pembahasan di antara kedua perspektif tersebut tidak selalu dapat dipisahkan dengan tegas, tetapi karena konsekuensi paradigmatisnya yang berimplikasi pada penentuan sudut, cara, dan bagaimana mengkaji permasalahannya, maka tulisan ini lebih difokuskan pada pembicaraan seni dalam "perspektif pendidikan".

Pernyataan seni sebagai sarana pendidikan mengacu pada pengertian seni dipandang sebagai materi, alat atau media, dan metode, yang digunakan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Dalam pengertian inilah pendidikan seni (mencakup seni rupa, seni tari, seni musik, dan seni drama) dilaksanakan atau ditetapkan sebagai mata ajaran di sekolah - sekolah umum.

Betolak dari pemikiran ini tulisan dimaksudkan untuk mengkaji permasalahan pendidikan seni pada khususnya, dan pendidikan pada umumnya, dan kaitan di antara keduanya. Kajian, secara singkat, akan diarahkan pada masalah-masalah konseptual dalam pendidikan seni, dan fenomena-fenomena empirikal yang telah dan sedang kita hadapi saat ini.


GAGASAN

Hakikat Pendidikan

Pendidikan menurut Carter V. Good (Dalam Djumransyah, 2006: 24) adalah Proses perlembangan kecakapan seseorang dalam bentuk sikap dan perilaku yang berlaku dalam masyarakatnya. Sedangkan menurut Godfrey Thompson bahawa pendidikan merupakan pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap di dalam kebiasaan tingkah lakunya, pikirannya dan sikapnya.

John Stuart Mill (Dalam Abubakar,1982: 8) menyatakan bahwa Pendidikan itu meliputi segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang untuk dirinya atau yang dikerjakan orang lain untuk dia, dengan tujuan mendekatkan dia kepada tingkat kesempurnaan.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah segala upaya manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir, karsa, rasa, cipta dan budi nurani), dan jasmani (Pancaindera serta keterampilan-keterampilan).

Dengan merujuk kembali kepada makna dan hakikat pendidikan diharapakan kita akan mencoba menimbang-nimbang kembali apa yang telah kita alami dan lakukan dalam proses pendidikan selama ini. Dengan demikian kita dapat meluruskan kembali pola pikir dan konsep-konsep pendidikan agar sesuai dengan tujuan dasarnya namun tetap dinamis mengikuti kebutuhan masyarakat.


Seni dan Pendidikan Seni

Pendidikan ditinjau dari tujuannya adalah mengembangkan potensi jasmani, akal dan rohani manusia. Ketiga potensi bawaan manusia ini harus diasah dan dikembangkan secara seimbang dan proporsional. Jika salah satu diantaranya tidak tersentuh atau dikembangkan dengan baik maka tujuan pendidikan yang bertujuan membetuk manusia seutuhnya akan sulit terwujud. Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka pembicaraan tentang pendidikan seni sebagai sebuah usaha dalam mengasah potensi-potensi dasar manusia telah melewati masa yang cukup panjang.

Pembicaraan seni sebagai sarana pendidikan, dengan mencoba memperluas interpretasi terhadap tesis Plato (seperti yang dikemukakan di atas), setidak-tidaknya mengacu ke dua arah; yang pertama sebagai materi, alat dan media, serta metode yang terangkum dalam mata ajaran yang disebut pendidikan seni. Yang kedua, sebagai metode dalam rangka “menyenikan” pendidikan yang rasionalistik yang melekat sangat kuat pada mata ajaran lain.

Yang pertama meletakkan pendidikan seni sebagai mata ajaran dalam kurikulum pendidikan umum, yang mempunyai fungsi sama dengan mata ajaran lainnya. Secara sistemik pendidikan seni merupakan bagian integral dari sistem pendidikan umum, yang fungsional untuk menjaga keseimbangan sistem dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan seni, sebagai pendidikan estetik, dalam hal ini memberi imbangan terhadap pendidikan yang bersifat logis-rasional, dan pendidikan etis-moral.

Yang kedua, seni menawarkan cara-cara yang bebas dalam pelaksanaan pendidikan (mata ajaran lain) dari wacana kekuasaan kepastian. Seni menawarkan bahwa senantiasa ada cara memandang yang multiperspektif, tidak ada disiplin yang secara keseluruhan lengkap, serta tidak ada sesuatu yang mempunyai "kata akhir". Seni mengajarkan hal ini dengan baik, seperti sebagaimana ia menawarkan
dimensi-dimensi makna yang baru, bentuk-bentuk baru dari logika yang selama ini dinina-bobokan oleh pendidikan modern. Seni menantang apa yang disebut "prinsip umum penalaran".

Seni memberikan suatu epistemologi pilihan lain, suatu cara mengetahui yang mentransenden bentuk-bentuk pengetahuan yang deklaratif. Dengan seni, sebagai metode, seseorang didorong untuk melihat dan mendengar, menerobos lapisan permukaan apa yang terlihat dan terdengar. Dengan seni kita disadarkan dari penampilan satu-dimensi kehidupan, yang tanpa terasa dipaksakan, oleh pemikiran yang menjadi mainstream saat ini.

Seni dapat memerangi problematika yang dihadapi dengan menciptakan konsep-konsep baru, sudut-sudut baru untuk memandang dunia dan berbagai segi kehidupan manusia. Dalam cara ini seni, melalui penafsir-penafsirnya, melahirkan makna-makna baru. Melahirkan dimensi baru dalam memandang berbagai peristiwa.

Seni, sebagai metode, dilaksanakan untuk mempertanyakan kebiasaan-kebiasaan. Guru, tentu saja, tidak semata-mata mempertanyakan kebiasaan-kebiasaan berpikir yang sudah melekat pada diri siswa-siswanya. melainkan menciptakan situasi agar pengalaman siswa-siswanya dapat digunakan untuk merombak kebiasaan pemikiran-pemikiran yang beku. Perhatian yang lebih artistik, perlu diberikan untuk memberi imbangan pada para pelaksana pendidikan (yang bertumpu pada pandangan mainstream pendidikan) yang cenderung untuk memfungsikan peranan model pengajaran yang ketat dan kaku. Guru dan siswa secara bersama-sama seyogianya mencari cara yang lebih menyenangkan untuk membangun kembali pranata-pranata pengajaran.

Keyakinan bahwa seni dapat dipakai sebagai metode bertumpu pada kenyataan bahwa seni mampu meningkatkan bentuk pengajaran yang mempersyaratkan interpretasi, suatu bentuk pemikiran yang mencari pengalaman baru yang memberi peluang pada interpretasi. Interpretasi semacam ini akan membantu mengungkap kekuatan yang menindas "ruang kebebasan, yang dalam beberapa saat mungkin hadir".


Seni dan Multi Intelegensi

Pada dasarnya setiap orang memiliki potensi kecerdasan, seperti kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ), dan kecerdasan adveritas atau berketahanan hidup (AQ). Kecerdasan emosional adalah kemampuan individu untuk mengenali emosi diri sendiri dan emosi orang lain, serta mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dalam hubungannya dengan orang lain. Kecerdasan spiritual merupakan kecakapan untuk melaksanakan kegiatan yang didasari oleh perilaku ketaqwan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan norma yang berlaku di masyarakat, termasuk kepatuhan kepada peraturan sekolah. Namun demikian suatu kecerdasan yang matang barangkali hanya bisa diwujudkan dengan cara mengimbangkan (equilibrium) kekuatan-kekuatan jiwa manusia pada kemampuan mengoptimalkan fungsi otak belahan kiri dan otak belahan kanan.

Menurut para pakar psikologi otak belahan kiri merupakan sumber kecerdasan intelektual (IQ) sebagai wilayah persemaian dan pengembangan potensi akal-penalaran yang bersifat analitis¬logik dan detail, sedangkan otak belahan kanan adalah sumber kecerdasan emosional (EQ) sebagai wilayah persemaian dan pengembangan segala potensi yang berkaitan dengan rasa-perasaan (emosi-kreatif) yang bersifat menyeluruh. Otak kiri bertanggung jawab terhadap kemampuan verbal dan matematik, seperti berbicara, membaca, menulis, dan berhitung. Proses berpikir otak kiri bersifat logis, sistematis, dan analitis sehingga termasuk short term memory (memori jangka pendek). Akal sebagai bagian penting dari jiwa manusia berfungsi untuk menemukan kebenaran dan kesalahan. Dengan akal manusia mampu mengarahkan seluruh aktivitas jasmani dan kejiwaannya guna menggapai kehidupan yang relatif lebih sejahtera. Sebaliknya, otak kanan berurusan dengan emosi, irama, musik, imajinasi, warna, gambar, dan diagram. Cara berpikir otak kanan bersifat kreatif, tidak teratur, dan menyeluruh sehingga tergolong long term memory (memori jangka panjang). Emosi merupakan kekuatan penggerak kehidupan yang paling konkret dalam diri manusia karena terbentuk dari segenap keinginan dan selera yang erat hubungannya dengan fungsi¬-fungsi jasmaniah, seperti melakukan apa yang baik dan buruk, mengikuti apa yang etis dan norak, serta yang indah dan jelek. Kekuatan emosi terasa tampak ketika mampu menjalankan berbagai alternatif gagasan yang telah diputuskan oleh akal. Sebagai bukti bahwa daya ingat otak kanan lebih panjang dari otak kiri yaitu ketika kita bertemu dengan teman lama.
Barangkali kita masih ingat wajahnya tetapi lupa namanya. Fenomena ini terjadi karena gambar wajah diproses oleh otak kanan dengan memori jangka panjang, sedangkan nama (kata-kata) diproses oleh otak kiri yang jangka memorinya pendek.

Uraian multikecerdasan di atas, mengindikasikan bahwa pendidikan seni dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan berbagai potensi pada otak kanan, dan sekaligus berfungsi untuk mengimbangkan kerja otak kiri. Dalam pembelajaran pendidikan seni, meskipun wilayah rasa ¬emosi relatif dominan tetapi tidak berarti menafikan wilayah intelektual, jelas tidak dapat digantikan oleh mata pelajaran yang lain sehingga sangat penting dan mendasar bagi dunia pendidikan umumnya. Kedudukan rasa-emosi bukan saja penting dalam kehidupan, melainkan juga menjadi sumber daya yang ampuh yang dimiliki manusia. Menurut Daniel Goleman (dalam M. jazuli, 2008: 119), bahwa potensi kecerdasan emosi dapat menentukan 80% kesuksesan seseorang, sedangkan 20% lainnya ditentukan oleh kecerdasan akal. Oleh karena itu, sungguh ironis bila ada orang beranggapan bahwa IQ menjadi penentu segala aktivitas, bahkan dipandang sebagai cara yang jitu untuk menyelesaikan berbagai masalah kehidupan yang dihadapi manusia. Pada hal justru dengan menafikan atau memendam potensi EQ sering menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan manusia, seperti sering terjadi kerusuhan, kenakalan remaja, pornografi dan pornoaksi, sikap agresif dan anarkhis, dan bentuk tingkah laku menyimpang lainnya.

Peran pendidikan seni dalam upaya meningkatkan multikecerdasan di antaranya: (1) membantu siswa mempunyai sensitivitas, intuitif, kreativitas, dan kritis terhadap lingkungannya; (2) dengan cara belajar yang menyenangkan lewat kegiatan apresiasi dan kreasi dapat meningkatkan motivasi belajar dan mendapatkan kesempatan luas untuk memecahkan permasalahan; (3) Siswa dapat mengekspresikan gagasan melalui goresan, gerakan, pemeranan dan permainan lainnya sebagai manifestasi aktualisasi diri maupun wahana berkornunikasi dengan lingkungan sekitarnya; (4) kepekaan inderawi yang selalu dilatihkan melalui kegiatan berapresiasi, berkreasi, bereksplorasi, bereksperimen dengan diri sendiri maupun dengan lingkungannya akan merangsang kemunculan multikecerdasan siswa secara optimal.


Seni dalam Pengembangan Potensi Anak

Pendidikan seni merupakan usaha sadar untuk mewariskan atau menularkan kemampuan berkesenian sebagai perwujudan transformasi kebudayaan dari generasi ke generasi yang dilakukan oleh para seniman atau pelaku seni kepada siapa pun yang terpanggil untuk menjadi bakal calon seniman (M. Jazuli, 2008: 14)

Anak adalah pribadi yang unik memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda dengan orang dewasa, dan salah satu kebutuhan anak yang khas adalah kebutuhan mengekspresikan diri atau menyatakan diri. Pendidikan seni dapat memberikan kontribusi kepada perkembangan pribadi anak (siswa). Kontribusi yang dimaksud berkaitan dengan pemberian ruang berekspresi, pengembangan potensi kreatif dan imajinatif, peningkatan kepekaan rasa, menumbuhkan rasa percaya diri, dan pengembangan wawasan budaya.

Pertama, ruang bagi ekspresi diri, artinya seni menjadi wahana untuk mengungkapkan keinginan, perasaan, pikiran melalui berbagai bentuk aktivitas seni sehingga menimbulkan kesenangan dan kepuasaan. Berekspresi seni rupa melalui elemen visual berupa garis, warna, bidang, tekstur, volume, dan ruang. Berekspresi seni musik melalui nada, irama, melodi, dan harmoni. Berekspresi seni tari melalui elemen gerak, ruang (bentuk dan volume), waktu (irama), energi (dinamika). Berekspresi teater melalui pemeranan/pelakonan, bahasa, dan dialog. Secara implisit ekspresi diri mengandung makna komunikasi karena siapa pun mengeskpresikan sesuatu mempunyai tujuan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Sejumlah penelitian telah meyakinkan bahwa 90 persen komunikasi emosi disampaikan tanpa kata-kata, keterampilan ini dapat sangat meningkatkan kemampuan anak memahami perasaan orang lain sehingga mampu bertindak cepat (Shapiro dalam M. Jazuli, 2008). Ekspresi diri juga bermakna aktualisasi diri karena apa yang diungkapkan melibatkan sosok subjek yang menampilkan/mengungkapkan kepada orang lain. Berekspresi juga dapat dimaknai bermain karena bermain adalah pekerjaan anak yang bisa memberikan kebebasan, kesenangan, dan tantangan sebagaimana ketika mereka bermain. Melalui permainan anak¬anak akan memperoleh kesempatan belajar dan mempraktikkan cara-cara baru dalam berpikir, merasakan, dan bertindak. Dengan demikian berekspresi berarti pembelajaran emosi yang selalu melibatkan daya kreasi - sering muncul secara spontan ketika Si anak mengungkapkan sesuatu, berkomunikasi, dan bermain.

Kedua, pengembangan potensi kreatif. Potensi kreatif ditandai oleh kemampuan berpikir kritis, rasa ingin tahu menonjol, percaya diri, sering melontarkan gagasan baru orisinil, berani mengambil resiko dan tampil beda, terbuka terhadap pengalaman baru, menghargai diri sendiri dan orang lain (M. Jazuli, 2008: 104). Dengan demikian anak kreatif selalu memunculkan gagasan baru, orisinil, cemerlang, dan unik. Dalam jagat seni sangat mampu memberikan peluang yang amat luas bagi berkembangnya segala, potensi kreatif anak secara bebas (nyaman) dan menyenangkan karena tidak ada indoktrinasi, tidak mengenal benar dan salah, tetapi selalu dalam situasi harmoni. Keadaan semacam ini memungkinkan anak memiliki keberanian untuk mengungkapkan ide dan meningkatkan rasa empati, menyadari kemampuan sendiri, serta siap menerima tanggapan lingkungan terhadap apa yang diungkapkan. Dengan adanya keberanian tersebut pendidik cukup sebagai fasilitator yang berperan memberikan arahan dan pelayanan secara proporsional dan konstruktif. Misalnya: menciptakan suasana yang mampu memotivasi kepada siswa untuk berani mencetuskan idenya, menyediakan sarana yang mendorong eksplorasi dan eksperimen, bersikap komunikatif, serta cerdas dalam menciptakan lingkungan sekolah yang bebas sekaligus tertib. Eisner dan Ecker menginformasikan pendapat tokoh pendidikan seni di Amerika Margaret Mathias, Bella Boas, Florence Cane, dan Victor D'Amico bahwa pendidikan seni potensial untuk mencetak manusia kreatif. Hasil penelitian Mohanty dan Hejmadi tahun 1992 menginformasikan bahwa setelah 20 hari anak belajar menari dan bermusik kemudian diberi tes berpikir kreatif, ternyata hasil skornya lebih tinggi dari anak yang tidak belajar menari dan bermusik. Hal ini menunjukkan bahwa menari dan bermusik dapat meningkatkan daya kreatif. Berdasarkan hasil penelitian tersebut kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia sebagai gerakan pendidikan seni yang mempromosikan kekreatifan (M. Jazuli, 2008: 105).

Ketiga, meningkatkan kepekaan perasaan, khususnya rasa keindahan alam maupun buatan manusia. Orang yang peka perasaannya ditandai oleh kesadaran dan responsif terhadap gejala yang terjadi di sekitarnya. Hal ini tercermin pada kemampuannya untuk menerima, mengamati, dan menghayati berbagai rangsang dari luar. Dengan kata lain, orang yang peka rasa memiliki daya penghayatan tinggi terhadap lingkungannya sehingga relatif mudah menyerap variasi keindahan yang muncul ke permukaan, seperti tergetar bila mendengar suara gemericik air, deburan ombak, alunan seruling, gesekan biola, gerakan tarian, goresan lukisan, ekspresi wajah pengemis dan orang tuli, dan sebagainya. Orang yang peka perasaannya cenderung berpikir dan bertindak positif dan konstruktif terhadap lingkungannya sehingga kemudian mendorong para pendidik untuk mencetak siswa yang peka perasaan melalui pembelajaran apresiasi seni di sekolah umum. Untuk menciptakan kepekaan perasaan siswa dalam proses pembelajaran apresiasi seni ditempuh dengan berbagai cara. Misalnya mengenalkan tokoh seniman besar dan karya-karyanya beserta kisah perjalanan hidupnya melalui foto reproduksi, mendengarkan dan menyimak musik secara cermat, mencermati gerakan flora dan fauna serta gerakan tari, mengunjungi galeri, gedung pertunjukan, museum, mengoleksi gambar, foto, kaset, DVD, dan sebagainya. Semua itu dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kepekaan perasaan terhadap keindahan. Kepekaan perasaan sering menjadi modal awal dan utama bagi proses penciptaaan karya seni.

Keempat, menumbuhkan rasa percaya diri dan tanggung jawab. Orang yang memiliki rasa percaya diri berarti dia mampu menyesuaikan diri dan mampu berkomunikasi pada berbagai situasi, memiliki kemampuan bersosialisasi, serta memiliki kecerdasan yang cukup. Implikasi dari rasa percaya diri adalah munculnya sikap mandiri, yang di dalamnya memuat rasa tanggung jawab. Hasil penelitian Atip Nurharini menginformasikan bahwa pembelajaran tari mampu mengembangkan rasa kepercayan diri anak ( M. Jazuli, 2008 : 106). Rasa percaya diri anak dimaksud adalah suatu keyakinan atas segala aspek kelebihan yang dimiliki anak, dan dengan keyakinan itu membuat diri anak mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan dan keinginan didalam hidupnya. Cara yang dilakukan guru dalam pembelajaran tari untuk mengembangkan rasa percaya anak meliputi: (1) pemberian bimbingan sebagai dasar pengembangan rasa percaya anak melalui perlakuan, seperti memberikan sentuhan, memotivasi anak, pengkondisian relaksasi, menumbuhkan rasa bangga, melatih berekspresi, berkreativitas, bersosialisasi, melatih bertanggung jawab, dan memberikan stimulan pada anak; (2) materi tari disesuaikan dengan karakter anak seperti tari bergembira dan mengandung permainan, serta tari garapan baru yang mampu menghibur maupun mengundang simpati anak ; (3) metode yang digunakan adalah peniruan, bermain, bercerita dan demonstrasi; (4) evaluasi dilakukan dengan cara pengamatan tentang kemampuan prestasi anak dan perubahan perilaku anak. Setelah anak diberi pembelajaran tari karakteristik rasa kepercayan diri anak terlihat dari munculnya perasaaan bangga, memiliki sifat pemberani, mampu mengendalikan emosi, mampu mengasah kehalusan budi, mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab dan mandiri, mudah berinteraksi, memiliki prestasi lebih baik, berkembang imajinasinya, dan kreatif.

Kelima, mengembangkan wawasan budaya. Pendidikan seni adalah pendidikan berbasis budaya, artinya belajar seni sekaligus belajar budaya dari mana seni tersebut berasal. Belajar dengan seni atau melalui seni yang beragam sama halnya dengan belajar banyak tentang budaya - bermakna pengayaan wawasan budaya. Wawasan budaya bisa berkembang bila orang memiliki kesadaran budaya yaitu semacam sikap peduli bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat di mana dia hidup. Sikap 'peduli' ini lebih penting daripada sikap 'memiliki' karena kepedulian mengandung nilai perhatian yang tinggi dan kesadaran penuh untuk selalu memelihara meskipun sesuatu yang dipedulikan bukan miliknya, sebaliknya memiliki bisa bermakna belum mau memelihara, merawat, jadi tidak peduli. Dengan kepedulian terhadap budaya masyarakat akan melahirkan rasa cinta, bangga, dan kebutuhan untuk melestarikan budaya. Oleh karena itu wajar bila pendidikan seni dianggap sangat efektif untuk menumbuhkan kesadaran budaya. Contohnya adalah seni mimesis dari Yunani, yang sampai sekarang masih menjadi salah satu model pembelajaran melukis, dengan tujuan untuk menanamkan rasa memiliki pada diri anak seni terhadap budaya sendiri; di Cina anak sejak sekolah dasar sudah diajarkan bagaimana menggunakan kuas, cara duduk yang tepat, mencampur tinta untuk melukis kaligrafi gaya Cina; di Jepang seni rupa ala Jepang menjadi bagian dari kurikulum pendidikan di sekolah umum; di Indoensia sejak zaman kerajaan, anak-anak raja di Jawa diwajibkan menguasai beberapa bentuk dan jenis seni, seperti harus bisa bermain gamelan, menari, menulis sastra, membuat syair (tembang), dan sebagainya. Bahkan dalam sejarah seni budaya istana Jawa sudah banyak berkolaborasi dengan budaya dari daerah lain maupun mancanegara. Contonya adalah ornamen atau hiasan yang terpampang pada bangunan istana Jawa tampak telah bercampur dengan budaya Cina, budaya Hindu, budaya Barat (Eropa). Semua contoh tersebut pada dasarnya bertujuan untuk menanamkan kecintaan dan kekaguman pada diri anak-anak terhadap budayanya sendiri, tanpa menjadikan superioritas. Oleh karena itu kesadaran budaya perlu ditanamkan sejak dini, sejak anak-anak melalui pendidikan seni. Sebagimana pernah diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara bersama sekolah Taman Siswanya, yang didirikan untuk kepentingan anak bangsa Indonesia. Salah satu pidato beliau mengenai hubungan pendidikan dan kultur yang disampaikan di RRI Yogyakarta 14 Januari 1940 ( Dalam M. Jazuli, 2008 : 108) seperti berikut ini:
"... dengan pendidikan menghaluskan perasaan, anak-anak kita hendaknya mendapatkan kecerdasan yang luas dan sempurna dari rohnya, jiwanya, budinya, hingga mereka hendaknyalah mendapatkan tingkatan yang luhur sebagai manusia (mempertinggi value human)."

Keenam, meningkatkan kesehatan. Suatu kekayaan yang tak ternilai harganya bagi setiap orang adalah kesehatan. Oleh karenanya semua orang selalu ingin sehat jasmani dan rokhani. Sungguhpun aktivitas seni banyak bergulat pada wilayah rohani (olahrasa dan olahhati) tetapi bukan berarti mengesampingkan olahraga pada wilayah jasmani. Ada kecenderungan bahwa sumber kesehatan manusia terletak pada jiwa, rohani. Artinya bila orang jiwanya sehat maka jasmaninya cenderung juga sehat, terkecuali orang gila. Bila jasmani seseorang sakit maka jiwanya belum tentu sakit, mungkin agak sedikit terganggu. Oleh karena itu, orang yang berkesenian sangat berpeluang untuk selalu sehat, dalam arti sehat jiwanya, apalagi bila berkesenian tari maka akan sehat jaemani dan rohaninya.
Seni tari dengan mediumnya gerak, ruang, waktu, tenaga tampak jelas memerlukan olah rasa (estetika), olah hati (etika), olah cipta (logika), dan olahraga (kinestetika). Dibandingkan dengan cabang seni lainnya seni tari lebih berperan penting dalam mengembangkan ketahanan, kelenturan, keseimbangan, dan kebugaran jasmani (tubuh) bagi kesehatan setiap orang secara menyeluruh. Meskipun demikian kebugaran dalam seni tari tidak menjadi rumusan tujuan, yang lebih utama adalah kesehatan. Kebugaran menjadi persyaratan instrumen bagi penari dimaksudkan agar gerakan tarinya tampak lebih luwes, ringan, dan enak dipandang. Keaktifan fisik (kinestetik) pada seni rupa tampak pada sapuan kuas, membentuk tanah liat, mencetak bidang, sedangkan pada seni musik aktivitas fisik tampak pada memukul drum, menggesek biota, meniup terompet, tetapi tidaklah seintensif dan dominan sebagaimana seni tari.



SIMPULAN

Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sistern pendidikan yang sedang berjalan, yang harus menyediakan sumber-sumber yang diperlukan untuk pembangunan, kurang atau bahkan mungkin tidak berjalan seperti yang dikehendaki.

Hasil pendidikan juga menunjukkan kurang kuatnya dorongan tumbuhnya potensi masyarakat dan kekuatan populer yang kreatif. Di segi yang lain tampak semakin kuatnya rekayasa (non-masyarakat) atas perilaku manusia (masyarakat). Gejala-gejala ini secara tidak langsung menunjukkan kelapukan sistem pendidikan yang ada, yang bertumpu pada paradigma mainstream, yang setidak¬-tidaknya sudah dijalankan di negara kita hampir tiga dasawarsa ini.

Sudah saatnya pendidikan nasional dalam pelaksanaannya diarahkan untuk memproduksi diri sendiri yang berdasar atas human agency. Para pelaku pendidikan bukan bertindak sebagai penerima tetapi juga pakem. Sehingga dengan demikian, akan tampak dinamika pendidikan. Para pelaku pendidikan masuk ke dalam permainan sebagai pemain, pengamat, penganalisis dan penggembira sekaligus. Di sinilah saya kira seni menjadi fungsional dalam pendidikan. Kita tidak semata-mata mengilmiahkan pendidikan tetapi sangat perlu juga menyenikan pendidikan.

Perlu adanya campur tangan yang tepat dalam produksi dan reproduksi sistem pendidikan, sehingga dengan demikian kurikulum dengan berbagai implementasi dan implikasinya sesuai dengan harapan, baik secara konseptual maupun praktikal. Campur tangan dari para pendidik seni, pakar pendidikan seni, dalam produksi dan reproduksi kurikulum pendidikan bukan hanya sekedar sebagai penggembira atau penyetuju semata-mata.

Di lapangan perlu adanya kajian yang terus menerus mengenai pelaksanaan pendidikan (seni) dengan cara pandang yang multiperspektif, yang memungkinkan munculnya makna-makna, konsep-konsep, dan terobosan¬terobosan baru, yang menjadikan pendidikan (seni) relevan dengan kebutuhan.



DAFTAR PUSTAKA

Edy Sedyawati. 2007. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah. Rajawali Pers: Jakarta.
Hendayat Soetopo. 2005. Pendidikan dan Pembelajaran. UMM Press: Malang.
M. Djumransyah. 2006. Filsafat Pendidikan. Bayu Media Publishing: Malang.
MK. Jazuli. 2008. Paradigma Kontekstual Pendidikan Seni. UnesaUniversity Press: Surabaya.
Tjetjep Rohendi Rohidi. 2000. Kesenian Dalam Pendekatan Kebudayaan. STSI press: Bandung.
Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl. 2002. Accelerated Learning. Nuansa: Bandung.

1 komentar:

sablon cup mengatakan...

mantap artikelnya. thank's..

www.kiostiket.com

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya