Oleh: Fariha Ilyas
Ketika aku melihat ke dalam cermin aku menjerit dan hatiku terguncang: sebab yang kulihat bukan diriku sendiri, aku melihat ejekan dan seringai iblis (Nietzsche dalam Thus Spoke Zarathustra)
Dunia silih berganti menampakkan wajahnya yang menakutkan. Sejarah dunia adalah sejarah yang dipenuhi oleh tontonan-tontonan kekerasan, kebrutalan, ketakutan, dan horor: perang, penjajahan, perbudakan, imperialisme, genocide, homicide. Darihomicide pertama Qabil atau Habil, genocide orang-orang Yahudi di kamar-kamar gas oleh Hitler, sampai pada perang-perang masa kini dan terorisme internasional. Hari ini, proses dehumanisasi seperti itu sepertinya tengah berlangsung dalam skala besar-besaran.
Berbagai bentuk kekerasan dan peristiwa horor yang mewarnai dunia global dewasa ini tidak dapat dipisahkan dari peran citra besar di dalamnya. Bahwa, ada kekuatan-kekuatan tak tampak dan aktor-aktor tak dikenal yang beroperasi dibalik berbagai bentuk kekerasan dalam skala global, demi mempertahankan citra besar (kejayaan, kedigdayaan, superioritas). Citra besar itu adalah kekuatan-kekuatan horor yang dilengkapi dengan mesin-mesin horor, dan yang telah menggelar berbagai peristiwa horor yang menciptakan citra dunia sebagai sebuah dunia horor dan paranoia. Kekuatan-kekuatan horor mampu menyebar kekerasan, kebrutalan, penjarahan, ketakutan, keputusasaan, teror, intimidasi, ancaman, histeria, kepanikan, dan kegilaan.
Hari ini, kita menyaksikan lagi peristiwa-peristiwa yang menggerakkan banyak orang, di jalan-jalan, televisi dan berbagai media lainnya. Semuanya berpendapat, mengklaim kebenaran, dan menyebut nama Tuhan.
Jika ada sosok yang dianggap perlu untuk diberi kesempatan beristirahat dalam kedamaian, ketenangan, maka sosok itu tak lain adalah Tuhan. Tuhan, entah sejak berapa ribu tahun lampau telah diseret ke sana ke mari untuk membenarkan kebencian, peperangan, perpecahan, pembunuhan. Penghujatan, pemfitnahan, dosa, berbagai pengadilan dan hal-hal nirhumanitas dalam kehidupan manusia. Bahkan, Tuhan tidak hanya banyak diseret-seret dalam peristiwa skala besar seperti pengeboman, peperangan antar bangsa, agama, namun juga dalam peristiwa keseharian seperti relasi perkawinan, pertemanan, politik kampus, atau lebih sederhana lagi seperti memberi ucapan selamat hari raya antara satu umat dengan umat lain.
Betapa melelahkan diseret selama ribuan tahun untuk berbagai persoalan yang semestinya bukan Dia yang bertanggungjawab. Lebih penting lagi, betapa rendahnya makhluk yang menyeret Tuhan ke sana ke mari untuk menutupi ketakberanian bertanggungjawab atas hidupnya sendiri.
Apa yang sedang terjadi sesungguhnya adalah sebuah politik memperjuangkan teritorial, sebuah politik memperjuangkan daerah kekuasaan, sebuah geopolitik. Segala hal yang terjadi sebenarnya adalah masalah manusia dengan hasratnya. Dan seringkali hal itu dikemas dalam sebuah benteng apologi, benteng yang dibangun dengan sebuah nama : nama Tuhan.
Apakah Tuhan benar-benar menciptakan musuh bagi kita?
Saat namaNya diteriakkan bersahut-sahutan, kenapa tidak ada damai di hati ini?
Apakah aku tak mengenalNya? Atau aku salah mengenalNya?
Yang dipekikkan ternyata tidak merujuk kepadaNya, tetapi kepada iblis dalam dada
(Malam biasa, 3 Juni 2010)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya