Senin, Agustus 23, 2010

Menembus Kabut Pikiran

Oleh: Fariha Ilyas



Aku duduk lagi di batu cadas, dan kembali segalanya tampak dekat: tojolan bergerigi tempat aku duduk, pepohonan tinggi di lereng di bawah, dan rangkaian gunung lain di kaki langit. Dan ketika aku mengamati dahan-dahan pepohonan bergoyang lembut ditiup angin, aku mengalami bukan hanya pencerapan visual atas peristiwa itu, melainkan juga sensasi jasmaniah, seakan-akan dahan-dahan yang bergerak dalam putaran angin adalah rambut-rambut di tubuhku.

Aku mencerap segalanya sebagai bagian dari diriku. Ketika aku duduk di pegunungan, menatap pemandangan yang menyebar menjauh dariku ke segala arah, terasa seolah-olah apa yang kuketahui tentang tubuh jasmaniku kini hanyalah kepala dari tubuh yang lebih besar lagi, terdiri atas semua hal lain yang dapata kulihat. Aku mengalami seluruh alam semesta menatap keluar dirinya sendiri melalui mataku. Dan ketika aku diam dalam hiruk pikuk orang-orang, aku merasakan bahwa segala yang kualami adalah saat itu adalah meleburkan diri dalam sebuah gerak yang jauh lebih kompleks dari yang dapat kubayangkan.

Persepsi ini mendatangkan sekilas ingatan. Pikiranku melayang kembali ke belakang, melewati masa kecil dan kelahiranku. Hadir keinsyafan bahwa hidupku sesungguhnya, tidak berawal pada waktu ketika aku mulai menjadi janin di kandungan ibuku dan dilahirkan di planet ini. Hidupku dimulai jauh lebih dini dengan pembentukan sisa lain dari diriku, tubuhku yang sebenarnya adalah alam semesta itu sendiri.

Manusia adalah entitas yang menyatu dengan entitas lain yang lebih besar. Tapi tak sesederhana itu. Kita tidak dapat membayangkan penyatuan itu, karena manusia memiliki keterbatasan dalam memahami. Ini adalah gambaran mengenai manusia dalam kekuatan besar dan kekuatan besar itu dalam manusia. Semuanya telah sedang dan akan terus terjadi dan berproses dalam apa yang kita pahami sebagai kehidupan.

Hidup ini adalah pengalaman spiritual, kebetulan-kebetulan misterius yang yang kita temui kadangkala sangat sukar diungkap dengan logika. Pertemuanku dengan orang-orang dalam hidup ini rasanya seperti kebetulan saja. Peristiwa-peristiwa yang seolah seperti kebetulan memang sering terjadi, dan ketika itu terjadi kita merasa hal itu melampaui apa yang bisa kita harapkan untuk suatu kebetulan murni. Kebetulan-kebetulan itu terasa telah diatur sebelumnya. Kadangkala kebetulan-kebetulan itu terasa baru, namun kadangkala juga terasa seperti sebuah bentuk pengulangan.

Yang dapat kupahami adalah: bahwa segala hal yang kita temui sekarang juga telah ditemukan di waktu yang lain. Namun demikian, kesejatian hidup ini adalah pencarian, pencarian terus menerus akan makna kehidupan itu sendiri yang bersifat sangat personal. Jika kita berhenti untuk mencari, sama halnya kita telah membunuh diri kita sendiri. Melenyapkan kesejatian hidup. Maka, mari mencari. Apa yang kita cari? Rasanya kita perlu bertanya pada diri kita masing-masing.

Hhmmm pagi yang aneh setalah malam yang membiusku. Terimakasih untuk orang-orang yang selalu memberiku semangat, terutama orang-orang yang muncul di pikiranku saat aku terbangun dari tidurku pagi ini: Rininta Citra, Ayu, Pak Tjahjo, Pak Lili, Anggi, Anis Ariza, Rudi, Wijang, Anie, Ochie. Huuhh, barangkali semuanya baru akan dimulai, untuk suatu hari yang tidak dapat kita bayangkan saat ini.

Ayah, Ibu. Maaf, pagi ini dan pagi-pagi sebelumnya, jarang sekali kau muncul dalam pikiranku saat ku terbangun. Ku akui aku adalah anak yang tidak berbakti. Dan setiap hari aku menghianatimu. Tapi aku tetap memikirkanmu dalam sepiku. Dalam sepiku.

Jum'at, 30 April 2010.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya