Selasa, Agustus 24, 2010

Seikat Alang-alang

Oleh: Fariha Ilyas





Laras dan Kembara adalah pembaca alam, itu kata mereka sendiri. Mereka lebih suka berada di hamparan alam yang luas dan liar daripada berdiam diri di kamar yang mereka anggap membosankan. Tawa mereka sering terdengar manakala ada kupu-kupu yang terbang beriringan, atau kumbang yang sedang menukik turun ke tujuan. Tawa kebebasan, itu kata mereka. Demikianlah pikiran anak-anak.


Hari-hari Laras dan kembara adalah hari-hari penuh bunga, bunga itu mereka tumbuhkan di taman hati mereka yang lebih luas dari padang alang-alang tempat mereka selalu menuju saat senggang, dengan sepeda kumbang berkeranjang. Bunga-bunga di hati mereka berdua begitu segar merekah, karena bunga-bunga itu bukan seperti bunga-bunga di alam yang terjerat masa. Bunga mereka berdua adalah bunga keabadian, yang benih-benihnya telah ada sebelum mereka melihat bunga-bunga yang ada di dunia mereka saat ini.


Laras dan Kembara adalah penunggu senja, itu kata mereka sendiri. Mereka berdua menjadi diam saat lukisan langit berubah warna. Mereka tak pernah mau beranjak dari tempat mereka duduk di samping sepeda kumbang berkeranjang.


Saat hari hanya menyisakan semburat cahaya kemerahan yang halus serupa benang, Laras dan kembara bergegas pulang, tak lupa mereka membawa seikat alang-alang untuk sang bunda, karena sang bunda tak terlalu tertarik pada bunga.



0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya