Jumat, Agustus 27, 2010

Kisah Tanpa Akhir

Oleh: Fariha Ilyas

Ini adalah sebuah kisah tanpa akhir, kisah janggal di dunia yang sering tak masuk akal. Hari berganti-ganti, namun zaman selalu menghadirkan banyak sekali kisah tentang rindu yang itu-itu saja, atau tragedi yang mudah sekali dicari referensinya di roman-roman usang. Sudahlah, ini bukan kisah cinta masa lalu, ini adalah kisah cinta masa kini tentang aku dan cinta.

Aku adalah wanita kebanyakan, tak ada yang berbeda denganku kecuali hal-hal kecil yang biasa. Lama sekali rasanya hidup ini, walau batang usiaku belum seberapa tinggi. Aku seperti merasa menjalankan skenario hidup orang lain, orang lain yang tak sezaman denganku. Kenapa aku merasa demikian? Aku tak tahu pasti. Namun saat kubaca beberapa cerita lampau di buku-bukuku, aku seperti ada di dalamnya, atau sepertinya cerita itu sedang berlangsung bukan di zaman yang telah lewat, namun di zamanku.

Tahukah kau bahwa setiap malam mataku sembab oleh air mata rindu, rindu yang tersesat. Aku tak tahu bagaimana rindu itu harus kuperlakukan, aku takut mengucapkannya, namun juga takut membuangnya begitu saja. Aku seperti terkurung dalam sebuah dunia yang melarangku untuk rindu kepada seseorang yang sangat kucintai sekaligus sebuah dunia kebebasan tanpa etika cinta. Mungkin aku seperti Puteri Budur yang hatinya kelu karena rindu kepada Qamaruzzaman. Tapi aku bukan Budur, aku adalah aku, wanita biasa, bukan wanita dalam cerita yang begitu kuat menghadapi segala badai kesulitan hingga cerita usai dengan bahagia. Bahkan sekarang pun aku tak tahu apakah aku sanggup hidup seperti ini hingga kisahku usai. Aku tak tahu.Aku tak tahu.

Hanya bait-bait ini yang selalu kubaca saat malam semakin renta:

Malamku panjang, sementara para pengekangku itu tidur
Dan hatiku yang gelisah terasa pedih akibat luka perpisahan
Aku bertanya, sementara malamku diperpanjang dengan sengaja
“Kapankah cahaya siang akan datang lagi?”

Apakah demikian yang terjadi pada setiap wanita sepertiku?
Datangnya cinta yang bertubi-tubi melukaiku
Seperti ratusan mata lembing yang menghujam
Aku lebih suka menjadi tiada, daripada nyawaku diselamatkan


Kisah ini tanpa akhir, tanpa akhir, karena dimulai dalam waktu yang melingkar. Saat kusadari semua itu, aku memilih diam.

(Untuk wanita yang kehilangan cinta dalam tumpukan cinta. Malam rembulan, 28 Juni 2010)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya