Minggu, Agustus 22, 2010

Gemerisik Dedaunan (4)



“Kalau kita memperhatikan hal-hal yang kecil di dalam diri kita, maka ada kemungkinan kita bakal melihat sesuatu yang jauh lebih besar di luar kita”
(Johann Wolfgang von Goethe)

Sinar matahari sore terhalang gumpalan awan yang berwarna kelabu. Membuat suasana sore ini tampak redup. Kurasakan angin bertiup lemah yang membuat daun-daun hanya sekali-sekali saja bergoyang. Tanah beku dalam diam. Tuhan, apakah yang ingin engkau katakan kepadaku sore ini?

Sebenarnya sore ini aku baru saja terbangun dari tidurku. Dan seperti saat-saat kuterbangun sebelumnya, suasana pikiranku saat itu seringkali membuatku heran melihat sekelilingku. Pepohonan, bebatuan, kumbang-kumbang, terasa hadir dalam suasana berbeda. Aku tak mempunyai cukup pengetahuan untuk menjelaskannya. Namun yang dapat kupahami adalah saat aku baru saja terbangun dari tidur aku berlatih lagi melihat kenyataaan di sekelilingku, terutama kenyataan dalam diriku sendiri. Belajar menerima segala sesuatu apa adanya, sebagaimana sesuatu itu menampakkan dirinya kepada pancainderaku, yang kemudian menelusup ke dalam hati dan pikiranku.

Aku menatap ke luar, kulayangkan pandangan pada batang pohon, dedaunan yang luruh dan langit yang dipenuhi gumpalan awan. Nampak murung, namun tak dapat disangkal bahwa semuanya tetap indah. Aku termenung.

Seringkali saat kesadaranku mulai terkumpul yang terasa adalah hantaman keras rasa kecewa atau perih yang sebenarnya tidak kurasakan saat pertama kali kubuka mataku. Aneh, kesadaranku membuatku sakit. Pelan-pelan aku berusaha menguasai diriku sebelum kesadaranku mengirimkan hal-hal yang menyakitkan yang berasal dari ingatanku. Aku takut, aku takut jika kubiarkan kesadaranku diisi oleh kebencian-kebencian masa lalu aku tak bisa lagi menghirup udara yang membawa sebuah kehidupan baru setiap saat, ya setiap saat.

Betapa banyak waktu yang kulewatkan bersama dendam, dendam pada kehidupanku sendiri. Dan betapa panjang ratapanku, ratapan atas segala hal yang tak mampu kucapai dalam hidupku ini. Namun entah kenapa, sepertinya Tuhan mengusap kepalaku dan membisikkan sesuatu kepadaku. Damai, hanya itulah yang kurasakan.

Damai, kadang datang dengan tiba-tiba saja di hati ini. Tanpa sebab yang pasti atau alasan-alasan yang dapat dijelaskan. Namun Damai kadangkala menjadi hal yang begitu sulit didapat, dan tak jarang harus ditebus dengan harga yang sangat mahal. Lagi-lagi aneh, kenapa menebus kedamaian dengan menghamburkan amarah, menabur luka dan menumpahkan darah? Aku tak mengerti.

Sore yang redup ini berbalut sedikit gelisah. Gelisah tentang harmoni di depan mataku yang membuatku malu. Harmoni yang diciptakan Tuhan untukku, untukmu, untuk umatnya. Aku malu saat menilai segala sesuatu berdasarkan perasaan dan kenangan masa laluku. Aku malu saat alam begitu tunduk pada perintahNya. Sedang aku selalu mempertahankan kehendakku, yang bertentangan dengan kehendakNya. Saat itulah aku telah merusak harmoni kehidupanku sendiri. Karena ketidaktahuanku pada pada diriku sendiri, pada Tuhan.

Sore yang redup ini ternyata memancarkan cahaya terang di pikiranku, tanpa kuduga sebelumnya. Apa yang dikatakan Goethe tidak salah, namun sore ini aku justru melihat diriku dari sesuatu di luar diriku.


Sore yang redup, lantai 3 gedung E FKIP, 8 Mei 2010.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya