Selasa, Agustus 24, 2010

Di Tanah Terjanji

Oleh: Fariha Ilyas



Saat jasadmu roboh, menjadi seonggok daging yang dingin dan kaku, aku ingin sekali menemui wujudmu yang sesungguhnya. Wujud yang selama ini terselubung tubuhmu yang tak asing. Ya, aku memang akrab sekali dengan tubuhmu, aku melihatmu, tertarik padamu, pada awalnya adalah karena tubuhmu, bukan pada jiwa yang bersemayam di dalamnya.

Saat jasadmu berkalang tanah, aku ingin pergi mencari jiwamu yang pergi entah ke mana. Akan ku jelajahi segala alam untuk menemukanmu. Aku ingin berbincang dengan wujudmu yang abadi, bercengkerama dengan diri sejatimu.

Namun aku tak dapat membayangkan bagaimana wujud abadi itu, diri sejati itu. Aku resah, apakah aku akan mengenali jiwamu? Apakah kau juga kan mengenali jiwaku? Jika memang demikian, maka saat seluruh manusia berkumpul di tanah terjanji nanti, bukan keramaian yang ada, namun sebuah kesepian yang perkasa. Identitas yang selalu kita kaitkan dengan wujud-wujud yang kasat mata menjadi lenyap. Segalanya lalu menjadi sangat sepi.

Apakah perkenalan hanya terjadi di dunia materi ini? apakah kehidupan di tanah terjanji hanyalah sebuah konsekuensi-konsekuensi? Mencekam, mengerikan, sekaligus membahagiakan dan melegakan?

Belum habis tanyaku, muncul pertanyaan lagi: apakah pada saat itu aku bisa berkata-kata seperti saat ini? Dengan apa? Apakah jiwa memiliki organ-organ seperti susunan badan kasarku ini? jika ia, akan kuteriakkan namamu, dan kusebut namaku sendiri. Tapi yang paling mengganggu pikiranku sebenarnya adalah : apa yang harus kukatakan pada Tuhan saat itu?

(Malam seribu tetes, 3 Juni 2010)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya