Senin, Agustus 23, 2010

Kupu-Kupu Kata-Kata #6

Oleh: Fariha Ilyas




“Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang….seperti dunia dalam pasar malam. Seorang-seorang mereka datang….dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana” (Bukan Pasar Malam, Pramoedya Ananta Toer)

Kupu-kupuku tiba-tiba terbang, hinggap di suatu tempat dan waktu yang sebenarnya sudah pernah ia singgahi dulu….ia ingin berkisah tentang beberapa orang yang mungkin masih lekat pada ingatan orang, tetapi mungkin juga tidak.

Mbah Danun dan Kursi : Mbah Danun adalah suami dari adik kandung kakekku. Rumah mbah Danun berseberangan dengan rumahku. Praktis sejak kecil aku selalu melihat mbah Danun setiap hari. Entah kapan aku mulai memperhatikan mbah Danun. Beberapa Tahun terakhir mbah Danun harus berjalan dengan tongkat karena terkena serangan stroke. Mbah Danun sudah tiada. Kursi yang setiap hari ia duduki kini selalu kosong setiap kali kulemparkan pandangannku ke serambi rumahnya.

Mbah Kaji Sirmi dan Tutup Kepala Hijau : Entah sejak kapan aku mengenal namanya. Namun karena rumahnya dekat sekali dengan masjid maka aku telah melihatnya sejak kecil. Mbah Kaji Sirmi adalah salah seorang lansia yang rajin berjamaah di masjid. Yang sering kuingat adalah saat ia duduk di depan rumah dengan penutup kepala (kethu) berwarna hijau. Kini mbah Kaji Sirmi juga telah berpulang. Tak kulihat lagi tutup kepala hijau itu.

Mbah Sadiyah dan Idul Fitri : Sebenarnya rumaku tak jauh dari rumah mbah Sadiyah. Namun aku jarang bereinteraksi dengannya. Walaupun begitu ada sesuatu yang tak dapat kulupakan tentangnya. Setiap Idul Fitri tiba dan tradisi silaturrahmi menjadi tradisi, maka mbah Sadiyah menjadi sebuah keunikan. Setiap orang yang besilaturrahmi ke rumahnya akan mendapatkan do’a yang cukuip panjang saat bersalaman dengannya. Saking lamanya maka untuk bersalaman saja memakan waktu yang lama. Apa salahnya berdo’a lama? Tidak ada. Namun tak pelak kebiasaan mbah Sadiyah itu menjadi pelajaran untuk tahun-tahun berikutnya bagi orang-rang, hingga pada akhirnya saat Idul Fitri orang-orang hanya menunggu di luar dan mengirimkan “wakil” nya untuk bersalaman dengan mbah Sadiyah. Mbah Sadiyah juga telah tiada. Idul Fitri sekarang dan nanti kehilangan do’a panjangnya. Lebih tepatnya, kami kehilangan do’a panjangnya.

Mbah Ram, Al-Qur’an dan Kopiah Kuning : mbah Ram adalah Suami mbah Marimah, mbah Ram sering kulihat sedang membaca Al-Qur’an usang di depan rumahnya. Ia sering sekalimengenakan kopiah berwarna kuning mencolok. Al-qur’an usang, kopiah kuning itu tak nampak lagi dalam pandanganku.

Mbah Mus dan Kayu Bakar : Mbah Mus sudah sangat tua saat aku mengenalnya. Ia tinggal sendirian di rumahnya yang kecil. Masa lalu dan keturunannya aku kurang mengerti. Namun sepertinya anak-anaknya tidak ada yang perhatian kepadanya. Siang hari, sering-sering aku lihat mbah Mus berjalan tertatih dengan seikat kayu bakar yang digendongya. Setiap hari ia mencari kayu bakar. Di masa tuanya ia harus hidup sendiri dan melakukan semuanya sendirian. Suatu hari aku melihat luka di pipinya, entah luka karena apa. Namun luka itu cukup lama pulih. Mungkin karena faktor usia. Mbah Mus sudah lama meninggal. Rumah kecilnya juga sudah dibongkar. Namun nenek renta itu masih hidup dalam pikiranku.

Mbah Gumeg dan Mistik : Mbah Gumeg adalah penjual bunga. Dulu, setiap hari ia berjualan bunga di pasar. Menurut orang-orang kampung, mbah Gumeg itu mempunyai banyak sekali koleksi keris dan dekat dengan hal-hal berbau mistik. Cucu mbah Gumeg adalah teman sekelasku, jadi aku pernah beberapa kali masuk ke rumah mbah Gumeg. Entah karena terpengaruh cerita orang atau apa, yang jelas aku agak takut jika berada di dalam rumahnya. Tapi sekarang rumah itu sudah dipugar. Tka ada lagi rumah menakutkan itu. Termasuk penghuninya.

Mbah Rebo dan es Dawet yang Samar-samar : Kata orang, Mbah Rebo dulu adalah penjual dawet keliling. Aku rasanya masih sedikit mempunyai ingatan tentang itu, namun hanya samar-samar karena saat mbah Rebo berhenti berjualan, aku masih sangat kecil, belum masuk Taman-Kanak-kanak. Jadi kira-kira saat aku membeli dawet itu usiaku sekitar 4 Tahun. Beberapa tahun terakhir mbah Rebo sebenarnya sering datang ke rumahku untuk sekedar ngobrol dengan Ayahku. Sekarang ayahku masih sering ngobrol dengan orang-orang. Mbah Rebo sudah tidak bisa diajak ngobrol. Mbah rebo kini sedang menanti hari kebangkitan.

Mbah Gimin : Yang satu ini adalah kakekku sendiri, mengenangnya adalah membuka banyak hal dalam hidupku. Tapi yang jelas aku sangat merindukannya.

Dunia ini memang bukan pasar malam, setiap orang datang sendiri ke dunia ini dan pergi sendiri dari dunia ini. Betapa sepi hidup ini sebenarnya. Kebersamaan, rupanya hanyalah bagian yang sangat kecil dari keseluruhan hidup manusia di dunia. Namun bagaimana pun, setiap kebersamaan adalah anugerah, dan setiap orang yang kita temui merupakan cermin bagi diri dan kehidupan kita.

Kupu-kupuku terbang lagi, entah ke mana. Mungkin ia akan kembali menyusuri lorong waktu yang penuh kristal.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya