Senin, Desember 15, 2014

Kata yang Menunggu

Kisah ini baru saja dimulai. Ya, baru saja. Aku ingin memulainya saat tak lagi ada cerita masa lalu yang dapat kuingat. Orang selalu butuh cerita. Tak hanya butuh, tetapi orang memang hidup dalam sebuah cerita.
Hidup adalah cerita yang tak pernah jelas kapan dimulainya.  Di dalamya kita kadang-kadang berpikir, mencari cara, merancang akhir. Tak semua mesti dipikirkan, memang. Seperti saat kita bicara di sebuah kafe suatu sore. Kata-kata meluncur begitu saja seperti hembus angis di sawah atau lautan. Sesekali sempat juga kita dapati kata-kata itu menabrak, menabrak kekosongan konsep. Lalu kita diam sebentar. Bukan untuk berpikir, melainkan menunggu kata-kata keluar sendiri dalam bentuknya yang lain.
Jarum jam dinding kafe itu bergerak dalam kecepatan biasa saja, lazim. Tapi tidak dengan jarum jam di kepalaku. Entah, mesin sekuat apa yang membuatnya berputar begitu cepat hingga aku sendiri tak bisa menandai jam berapa ini.
Ada sebuah kata menunggu. Lupakan.
Ada yang lebih menarik sore ini dan kita mesti bergegas meninggalkan kafe. Ayo! Ayo cepatlah! Satu kisah lagi akan lahir!
Sebentang padang putih dengan pohon-pohon tanpa daun yang tumbang. Tak sedikitpun batangnya menyentuh tanah. Dahan dan rating-rantingnya menyangga batang pohon tua itu. Ganjil. Betapa kuat ranting-ranting kecil itu. Tak ada yang pernah tahu atau sekadar percaya kecuali kita yang menyaksikannya sore itu.
Ada sebuah kata lain yang menunggu. Abaikan.
Dari padang itu kutarik tanganmu dan kuajak kamu berlari ke sebuah mata air jauh di dalam hutan. Sesampainya di sana kita celup kedua kaki kita dan sejuk menjalar hingga ke ujung rambut.  Aku tertawa, juga kamu.  Tawa kita tak pernah terdengar oleh manusia-manusia lain yang jauh di sana. Di hutan ini hanya kita manusia pertama yang pernah masuk di dalamnya. Hutan ini penuh hantu, katanya.
Ada sepatah kata menunggu. Biarkan.
Sekarang giliranmu membebaskan suka. Aku menurut saja saat kamu melompat tinggi dengan menyeretku serta. Kita melayang, menatap hutan pekat yang memucat. Di sana ada sebatang pohon yang pucuknya menjadi puncak tertinggi di hutan itu. Sebuah tanda. Di bawahnya ada lubang yang dalam dan gelap. Tak seorang pun tahu pasti seberapa dalam, seberapa lebar dan seberapa dingin, seberapa pengab dan seberapa membahayakan. Mungkin tak akan pernah diketahui. Tak semua hal dapat terengkuh oleh hasrat kita mengetahui hal yang telah lama ada. Namun kegelapan lubang itu setidaknya membuat kita merindui cahaya yang terlalu biasa ini.
Sore menghabiskan tak banyak menit, tapi kita mesti kembali ke kafe tadi. Segelas minumanmu habis tandas. Kudapati kursiku berubah posisi. Ada jejak kata dan suara kutangkap. Sepertinya ada yang sempat menduduki tempatku menatapmu tadi dan mengajakmu bicara. Diam-diam aku curiga jangan-jangan ada orang lain yang senang menatapmu selain diriku. Jika benar demikian, aku harus segera berkeputusan; Baiknya aku pergi saja.
Seseorang itu tentu bukan orang biasa. Ia mampu menatapmu dan mengajakmu bicara saat kamu tak ada sedang aku yang sedari tadi bersamamu tak kuasa berkata. Aku hanya menggumamkan sesuatu yang belum dapat disebut kata karena tak pernah lengkap.
Keputusanku pergi kurasa sudah tepat. Sedari tadi ada kata yang menunggu. Bukan menunggu untuk diucapkan tetapi menunggu huruf-huruf yang akan membentuknya. Kamu tahu, aku belum memilikinya lengkap. Kamu juga tahu aku akan mencarinya entah di mana. Mungkin dalam cerita-cerita lainnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya