Senin, Desember 15, 2014

Surat Malam: Jiwa yang mencari Jiwa

I


Sekar, malam-malam lalu sempat gemuruh, langit memerah. Sebongkah gunung muntah. Aku mendapati diriku di kamar bersama setumpuk buku yang hampir lekat selalu, meski kadang tak perlu. Ingatan-ingatan membawaku pulang ke rumah, di pangkuan ibu. Dua hari lalu tepat tiga tahun ia pergi ke sang maha tahu. Aku merindukannya sekarang.

Sekar, pernah suatu malam aku tengadah ke langit. Aku bicara kepada yang maha luas itu. Bukankah dulu kita pernah berdo’a di tepian samudera biru? Kita selalu butuh hal-hal yang mirip dengan apa yang ada di dalam keyakinan kita. Do’a-do’a kita terus terucap berpadu dengan gemuruh ombak yang tiada berjeda. Kau tentu masih ingat apa yang kita pinta dalam do’a kita dulu: kita mengharap tak pernah dihinggapi rindu sepanjang hidup kita. Di perjalanan pulang kita sempat menyimpulkan hal itu mungkin terwujud jika kita bersama selalu, atau jika tidak, kita saling terjangkit lupa satu sama lain.

Entah kenapa do’a kita tak terkabul. Kita terpisah dan tak jua saling lupa. Aku menyimpan delapan helai mahkota bunga mawar putih yang sekarang telah menjadi kering dan rapuh. Kerapuhan kadang adalah tempat terbaik untuk sesuatu yang kokoh, yang tak terhancurkan, yang tak terkalahkan oleh waktu. Dalam gurat-gurat mahkota mawar itulah kusimpan segala peristiwa yang tak ingin kulupakan. Semacam pahatan imajiner tentang masa lalu di atas batu maha keras yang bernama pikiran. Pikiranku sendiri. Karena pahatan itulah aku merindukanmu sekarang.


II


Sekar, apa yang terjadi di akhir sebuah perjalanan seringkali memberi kesan tersendiri. Semacam aksentuasi dalam suatu peristiwa. Pelukan yang kau berikan malam itu selalu datang sebagai bayang-bayang dan mimpi yang menyentuh tak hanya pikiranku, tetapi seluruh pancainderaku. Hampir sebagai suatu kenyataan yang konkret. Aku nyaris kehilangan kewarasan.

Aku mencari-cari. Aku selalu mencari pelukan itu, aku ingin menemukannya lagi. Aku berharap akan menemukannya dalam sisa hidupku yang tak kuketahui ini. Aku ingin melekatkan diri pada imajiku tentang kamu, tentang pelukanmu, dan tentang sebuah waktu yang beku saat dua tubuh menyatu. Kurasa tak ada lagi yang lebih indah dari itu.

Malam-malam adalah saat yang paling menakutkanku. Aku selalu mengurung diri dalam gelap. Aku melakukannya semata karena kupikir dengan begitu bayang-bayangmu tak lagi dapat kulihat. Namun ingatan manusia adalah cahaya yang selalu sanggup membuat bayang-bayang menjadi begitu jelas. Aku tak pernah berhasil membuat bayangmu sirna. 


III


Sekar, aku masih ingat apa yang sempat kita sadari dulu sesaat sebelum kita terpisah: Bahwa kita telah memenangkan segalanya. Kita telah menemukan apa yang kita cari-cari dalam hidup kita, sesuatu yang didamba setiap manusia: sebutir cinta. Kita justru mendapatkan segenggam. Untuk itulah kita merasa cukup kuat untuk menaburkannya lagi ke semesta raya. Kita selalu yakin cinta sesungguhnya tak perlu kita pertahankan sebagai sebuah ego yang membuat kita merasa “harus” begini dan begitu. Kita selalu khawatir. Ego yang selalu membuat kita merasa harus terhubung, baik dalam pertemuan-pertemuan maupun dalam buaian rindu. Yang pertama tak lagi menjeratku. Yang kedua masih saja membelengguku.

Malam ini, meski aku tak yakin mampu menghindari bayangmu, kumatikan lampu kamarku.

***


I


Bara, setelah beberapa waktu tak lagi ada rangkaian huruf B, A, R, A di kepalaku, tiba-tiba tiga hari yang lalu susunan itu muncul. Nama adalah sebuah lambang, dan namaku tak hanya suatu lambang yang pendek arti melainkan suatu lambang dari peristiwa panjang. Seperti yang pernah kau katakan kepadaku dulu. Muhammad, nama yang sering kau ceritakan itu adalah perlambang suatu peristiwa besar dalam sejarah peradaban manusia. Aku menyukai interpretasimu.

Kau pernah mengatakan kepadaku bahwa nama "yang terpuji" itu tak hanya lambang suatu peristiwa peradaban, melainkan juga lambang dari satu peristiwa penciptaan. Dalam kebingunganku kau katakan sesuatu yang menurutku janggal, bahwa nama "yang terpuji" adalah nama tuhan yang lain. Yang terpuji, siapa lagi yang pantas disebut menyandangnya selain tuhan sendiri? Adapun tubuh seorang laki-laki keturunan salah satu suku di arab itu hanyalah tubuh manusia yang terpinjam belaka untuk mewadahi ruh yang terpuji itu. Begitu katamu. Aku belum sepenuhnya percaya. Kau memang orang yang menjejaliku beragam hal aneh yang menjelma menjadi teka-teki tanpa kusadari. Atau kau adalah seorang pembual?


II

Setiap orang memiliki rahasia, begitu juga kau dan aku. Memang ucapmu sering penuh rahasia. Namun tindak-tandukmu bukanlah rahasia atau teka-teki yang enigmatik untukku. Kau adalah seorang pencinta yang klise dalam perilaku. Aku tahu hari-harimu adalah hari-hari kebimbangan, malam-malammu adalah malam-malam pergulatan dengan perasaanmu sendiri. Aku yakin malam ini kau sedang memikirkan dan merindukanku. Aku tahu. Aku selalu tahu.

Kau bukanlah orang yang cukup pandai menyembunyikan perasaan. Kau juga bukan pemilik pikiran yang mudah tergerus lupa. Hal itu membuatku merasa kasihan kepadamu. Kau terjebak muslihat waktu yang selalu lebih licin daripada analisa sintingmu itu.

Kau perlu tahu bahwa aku pun tak sepenuhnya mampu lepas dari jerat ingatan dan kerinduan. Tiga hari lalu senja mengumbar keindahannya. Di barat sana langit memerah dengan sebuah lingkaran menyala yang kian turun. Di langit timur lingkaran yang hampir serupa bercahaya pula. Aku selalu riang karena dengan demikian kita semua tak akan kehilangan cahaya. Senja tiga hari lalu itu benar-benar menghantamku, merusak gembok ingatanku, membuka paksa pintu-pintunya dan membuat semua isinya terhambur keluar. Terseraklah namamu diantara ribuan kalimat kisah yang melayang-layang tak pasti dalam pikiranku: B, A, R, A.


III


Setiap orang memiliki caranya sendiri untuk bertemu, Bara. Aku memang bersembunyi selama ini. Aku punya kehidupanku sendiri yang sepertinya tak akan bisa kau jangkau. Namun aku telah memecah jiwaku dan menebarkannya setiap malam kepada setiap jiwa yang hidup.

Aku berharap tak ada lagi aku yang kecil, aku yang menangis di bahumu dulu. Aku ingin menjadi aku yang besar, yang tak lagi perlu kau rindukan dalam lorong-lorong pencarian yang sempit, yang egois.

Semoga suatu ketika kau menyadari bahwa aku kini ada dalam diri orang-orang yang kau temui. Semoga kau selalu dapat menatapku dalam diri orang-orang yang kau tatap. Semoga kau dapat memelukku dalam diri orang-orang yang kau peluk.

Kau adalah seorang yang ditakdirkan untuk tak pernah kehilangan. Sayang kau tak tahu itu.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya