Senin, Januari 23, 2012

Tepuk Tangan dan Dua Rembulan

Oleh: Fariha Ilyas

Aku akhirnya merasa heran mendengar suara itu setiap kali aku akan beranjak tidur. Karena bukan sekali ini aku mendengarnya. Ya, selama dua minggu aku menempati rumah kontrakan baruku ini setiap malam aku mendengarkan suara itu. Awalnya kupikir hanya akan terdengar sekali saja, beberapa hari lewat pelan-pelan perasaanku terusik tanya juga. Apalagi setelah semalam suara itu terdengar lagi.

Itu hanya tepuk tangan sebenarnya, bukan sebuah suara yang aneh. Hanya saja aku merasa penasaran kenapa ada orang bertepuk tangan di tengah malam? Sendirian?

Malam ini, akan kutuntaskan rasa ingin tahu itu.

Jam menunjukkan pukul 11 malam. Aku masih sempat mereguk tehku yang sudah dingin sebelum aku melangkah ke luar rumah. Untungnya hari ini tak turun hujan, kalau hujan mengguyur, aku pasti malas atau berkeputusan menunda keinginanku mencari tahu siapa yang bertepuk tangan tengah malam.

Itulah yang mengusik. Beberapa hari lalu hujan turun tak henti-henti. Aku memilih diam di kamar sambil menonton Film. The Pianist, film yang mempertontonkan perjuangan seseorang yang susah payah mendapatkan kembali kemapuan estetiknya di tengah situasi negara yang tak kondusif. Ditengah keasyikan menonton film aku mendengar tepuk tangan itu lagi. Samar-samar kedengarannya, suaranya hampir saja habis tertelan rintik hujan yang seperti ingin menang sendiri malam itu, sampai-samapai aku pun harus memutar volume soundku ke level maksimal untuk bisa menikmat film. Gila! Kataku dalam hati malam itu.

Langkahku akhirnya sampai di depan sebuah tembok tinggi, semacam pagar. Dari sinilah kuperkirakan asal suara tepuk tangan itu. Aku mengendap-endap. Di tembok itu terdapat beberapa jendela yang tak lengkap daunnya. Pelan-pelan aku melongok ke dalam. Ternyata di dalam tembok itu tak ada bangunan samasekali. Hanya tanah kosong yang tak seberapa luas.

Aku diam menunggu.

“Mas”

Aku terkaget-kaget bukan kepalang karena suara itu dekat sekali di belakang telingaku. Kutengok ke belakang.

“Eh, kamu to Ndul!”, jawabku setengah gelagapan.

“Ngapain di sini mas?”, tanya bocah tanggung yang di kampung biasa dipanggil Gendul itu.

“Hhmmm, hhmmm, ah, enggak, nggak ngapa-ngapain, pengen keluar rumah aja, bosan di kamar terus”, kataku berbohong.

“Oh, gitu to mas, ati-ati lho mas kalo ketemu setan”, katanya sambil sedikit tertawa.

“Ah, aku dulu udah pernah jadi majikannya setan ndul”, jawabku sekenanya.

“Hahahaha”, Gendul tertawa sambil terus berjalan masuk ke dalam melalui pintu masuk yang sudah hampir hancur kayunya.

Aku diam di tempatku. Gendul yang malam itu mengenakan kaos dan celana pendek serta mengalungkan kain sarungnya berdiri di tengah-tengah tanah kosong itu.

Apa yang akan dia lakukan di situ? Pikiranku mulai dirambati pertanyaan-pertanyaan.

Bocah kelas tiga SMP itu menengadahkan wajahnya ke langit. Malam ini rembulan memang bersinar terang sekali. Aku teringat masa kecilku dulu, saat purnama, aku sering berdiri mematung di jembatan kecil di ujung kampung. Aku ingin menikmati cahayanya, di jembatan itu aku bisa melihat lebih dari cahaya rembulan di atas sana. Di jembatan yang dibangun di atas sungai kecil itu aku bisa melihat bayang-bayang rembulan yang bercahaya terang. Aku selalu ingin melihat dua rembulan, meskipun ia tak berdampingan, meskipun ia saling berlawanan, yang satu di atas langit dengan anggunnya, sedang yang lain jauh di bawah, sedikit bergoyang mengikuti permukaan air sungai yang mengalir, kadang pelan, kadang deras. Rembulan di sungai itu bisa menari-nari.

“Plok! Plok! Plok! Plok!

“Plok! Plok! Plok! Plok!

“Plok! Plok! Plok! Plok!

“Plok! Plok! Plok! Plok!

Lamunanku akan masa lalu buyar seketika. Ya, tepuk tangan itu! Sedari awal aku sudah menduga hal ini. Namun tak satupun kutemukan alasan yang setidaknya bisa memperkuat dugaanku itu.

“Plok! Plok! Plok! Plok!

“Plok! Plok! Plok! Plok!

“Plok! Plok! Plok! Plok!

“Plok! Plok! Plok! Plok!

Gendul masih bertepuk tangan dengan keras. Sambil menengadah ke langit.

Tiba-tiba di ada sesuatu yang bergetar di saku jaketku.

(Fi, temen-temen dah pada datang ni!) sebuah pesan singkat dari seorang kawan. Aku hampir saja lupa bahwa malam ini beberapa kawanku ingin singgah dan menginap di rumah kontrakanku. Besok pagi-pagi mereka akan pergi dengan kereta dari stasiun yang hanya berjarak kurang dari satu kilometer dari rumah kontrakanku.

Dengan masih menyimpan tanya aku akhirnya berjalan pulang.

“Plok! Plok! Plok! Plok!

“Plok! Plok! Plok! Plok!

“Plok! Plok! Plok! Plok!

“Plok! Plok! Plok! Plok!

Langkah kakiku seiring dengan pikiranku yang entah kenapa seperti terombang-ambing menuju satu ingatn ke ingatan lain.

“Plok! Plok! Plok! Plok!

“Plok! Plok! Plok! Plok!

“Plok! Plok! Plok! Plok!

“Plok! Plok! Plok! Plok!

“Bertepuktanganlah dengan gembira, hai segala bangsa! Pujilah Allah dengan sorak-sorai!”. Tubuhku gemetar mengingat salah satu perintah injil yang pernah kubaca entah kapan dan di mana. Kenapa tiba-tiba aku teringat ayat itu? Dan baru sekarang!

Pikiranku melahirkan berbagai macam dugaan baru atas tepuk tangan Gendul, dan terutama pada apa yang sebenarnya Gendul pikirkan. Apakah ia sedang mengagumi rembulan dan memanjatkan syukur pada Tuhan? Apakah ia penganut aliran kepercayaan tertentu? Kenapa ia melakukannya setiap malam?

“Hoey!”, Sofyan berteriak kepadaku sambil melambaikan tangan. Yang lain-lain sedang bergelimpangan di lantai beranda rumah.

Langkah kakiku terlampau cepat barangkali. Aku telah sampai di depan rumah kontrakan.

“Hey bos! Sorry yang punya rumah lagi ronda nih!”, kataku sambil menyalaminya.

Dalam hati, aku berkata bahwa esok aku harus menanyakan semua prasangkaku pada Gendul.

Dari jauh samar-samar masih terdengar tepuk tangan itu

“Plok! Plok! Plok! Plok!

“Plok! Plok! Plok! Plok!

“Plok! Plok! Plok! Plok!

“Plok! Plok! Plok! Plok!

(Surakarta, 17 November 2011)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya