Oleh: Fariha Ilyas
Belasan tahun lalu kau dan aku yang masih sama-sama menjadi manusia kecil: dengan tubuh dan suara kecil. Namun tidak dengan pikiran dan kemungkinan ruang gerak kita, Han. Kita adalah bocah yang berpikiran bebas, berkeinginan luas, penuh keberanian, meski orang-orang dewasa menyebut kita “belum berakal”.
Kau tentu masih ingat tentang dunia dalam pandangan kita saat itu. Dunia bagi kita tak bersudut tajam, dunia adalah lekuk-lekuk yang membulat, tumpul, dan bersahabat. Pisau dan duri tak tajam di mata kita. Karena itulah kita tak pernah takut bermain-main dengan benda-benda yang kata pada orang dewasa “berbahaya”.
Kita tak takut kepada jurang, jalan licin, atau cepatnya lalu-lalang kendaraan. Dunia lunak saja rupanya bagi kita. Tak ada yang kita pikir bakal mengancam diri dan hidup kita. Itulah sebagian dari keadaan surga, kukira. Ya, kondisi tanpa rasa terancam.
Aku tak tahu pasti sejak kapan sudut-sudut tajam dunia itu muncul, mengganti lekuk-lekuk membulat dalam dunia kita. Semenjak saat itu pelan-pelan kita banyak merasa takut dengan hal-hal yang dulu selalu ingin kita akrabi. Kita tak pernah lagi bermain pisau, berlarian di jalan licin, atau memanjat pohon yang tinggi untuk melihat sekeliling lebih luas. Kita sekarang hanya melihat satu fungsi pada sebilah pisau, kita sekarang hanya melihat luka pada duri-duri, kita sekarang terserang ketakutan melihat jalanan licin. Itulah rasionalitas orang dewasa, Han, kau pasti tau itu.
Rasionalitas itu-yang entah buatan siapa, dari mana ia masuk- adalah rasionalitas yang tak setuju dengan dunia kita sebelumnya. Ia menggusur dan membawa sepaket dunia yang kita rasai sekarang ini. Kau juga pasti mengerti seperti apa dunia yang dihadirkan rasionalitas orang dewasa itu.
Aku khawatir jika rasionalitas itu terlampau kuat menguasai pikiran kita sekarang. Kita menjadi tukang hitung risiko, kita sering berburuk sangka pada isi dunia yang dulu seluruhnya adalah kawan akrab kita. Kita selalu mengambil jarak terhadap dunia. Apakah kita benar-benar akan terus hidup di dunia dengan cara seperti ini, Han?
Katakanlah kepadaku bahwa kau juga rindu kepada dunia yang lunak dan membulat itu! Katakanlah bahwa kau ingin kembali hidup dalam dunia yang teralami penuh, tanpa prasangka! Pengetahuan, Han, pengetahuan, ia adalah biang kerok segala masalah ini. Pengetahuan seolah memiliki wewenang untuk menyortir apa yang baik dan apa yang tidak baik, itulah tugas rumusan pengetahuan yang bernama: Ilmu.
Tapi bagiku ilmu tak sesempit itu, ilmu tak sepengecut itu. Atau kita sendiri yang memilih menjadi pengecut setelah kita mencecap ilmu?
Ah, aku tak mau lagi bicara soal ilmu. Aku hanya ingin bertanya kepadamu, Han: Apa rasanya hidup di dunia yang terlalu banyak tereduksi pikiran kita sekarang yang katanya telah dewasa dan sudah rasional, jika setiap hari kita banyak bertindak dengan tak yakin dan penuh ketakutan?
Katakanlah kepadaku bahwa dunia ini lunak, dunia ini berlekuk membulat! Katakanlah kepadaku bahwa batu itu tak keras, api itu tak panas!
Aku rindu dunia itu.
(Malam. Surakarta, 24 Desember 2011)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya