Oleh: Fariha Ilyas
Desau angin tak kuhiraukan. Letih kakiku tak sempat lagi ditanggapi oleh otakku. Kerongkonganku kering, bibirku mulai terasa kasap, itu juga tak dipedulikan otakku. Otakku hanya mau aku terus berjalan, terus saja. Tak boleh ada tujuan.
Otakku tak tahu apa yang ia pikirkan sendiri, karena dia makhluk paling sok di dunia. Ia telaten memikirkan hidupku yang berisi ingin, ingin, dan ingin. Ia sabar mencarikanku jalan keluar dari masalah-masalah yang tak kunjung berhenti bertamu--dan selau ingin berlama-lama-- jika tak kuusir. Kau usir maksudku.
Otakku selalu berlagak seperti altruist.
Tapi itu hanya kadang-kadang.
Karena pada suatu hari, yang bisa kubilang sebagai hari paling sial, kurasa, otakku bertingkah. Ia ganti memintaku.
Ia tak minta sesuatu yang sulit memang. Tapi menjadi sulit dan merepotkan kalau otak si pemberi solusi sekarang ganti meminta. Dengan apa aku memulai mewujudkannya? Dengan apa aku menyusun rencana? Tanpa otak?
Akhirnya ia kuajak ia bekerja sama mencari inginnya. Ia ingin aku mencari sebuah tempat yang tak bernama.
Apa pula yang kau pikirkan otakku? Tak biasanya kau minta sesuatu sesederhana itu. Biasanya kau ketagihan pada nama, istilah, dan konsep-konsep. Sekarang kau minta sesuatu tanpa penanda.
Ya, ya, ya. Tiga tahun sudah aku berjalan, mencari tempat tak bernama. Hasilnya nihil belaka.
Tempo hari aku sempat girang waktu kudapatkan berita bahwa di sebuah wilayah ada bukit yang tak bernama. Aku pun pergi ke sana. Sialnya, sesampainya di sana otakku tak merasa inginnya terpenuhi. Ia katakan padaku bahwa itulah bukit. Itu namanya.
Aku lelah. Tapi aku berjalan lagi.
Kulewati laut. Luas sekali. Namun luasnya menyakitkan karena tak bisa kuharapkan apa-apa darinya. Karena ia terangkum dalam nama: Samudera. Sama menyakitkannya saat aku menatap langit.
Otakku. Berhentikan manjamu. Aku lelah. Tapi aku terus saja berjalan.
Setelah beberapa perjumpaan dengan orang-orang asing di negeri mereka sendiri. Aku mendapat keterangan bahwa di negeri ini ada sebidang tanah yang tak bernama, katanya. Aku pun bergegas ke sana. Lagi-lagi kau tak puas. Kau katakan itu tanah.
Aku pergi ke gugusan bebatuan besar yang curam kau katakan itu tebing.
Aku pergi ke lobang gelap kau katakan itu goa.
Aku pergi ke cekungan tanah yang luas kau katakan itu lembah.
Aku pergi ke tempat rimbun penuh pohon kau katakan itu hutan.
Aku frustasi saat kusadari bahwa semua itu akan terangkum dalam satu nama: bumi.
Aku lelah. Tapi aku terus berjalan. Lelah. Terus berjalan.
Aku akhirnya sampai di bintang yang paling jauh. Tak terjangkau siapapun selain aku.
Kau katakan itu adalah: Semesta.
Aku tidur. Akhirnya.
Aku merasa di dalam entah apa. Aku merasa berada di entah apa. Aku merasa berjalan di atas entah apa. Aku tak gembira.
Aku terbangun tiba-tiba. Sekilas aku ingat bahwa baru saja aku kembali dari tempat yang entah apa. Aku ingin bersorak, karena aku berhasil memenuhi pintamu, otakku.
Tapi sebelum sempat aku memekik senang, kau buru-buru memotong: tempat itu bernama mimpi.
Aku mulai menangis putus asa. Aku membayangkan suatu tempat yang benar-benar tak bernama.
Aku hampir menyelesaikan pencarian ini jika tak kau jegal aku dengan seruan congkakmu: itu adalah tempat imaji.
Aku gagal menemukannya. Tapi aku tak ingin berhenti.
Aku bersemedi, namun kuurungkan. Karena konon, jika aku hilang kesadaran dalam semediku, aku akan sampai pada suatu tempat atau entah apa, yang lagi-lagi terlanjur kau ketahui namanya: Ilahi.
Aku benar-benar menyerah kepadamu, otakku.
Kini, pecahkan masalahmu, dan cari inginmu sendiri. Akan kucerai kau malam ini.
Dengan tidur mendengkur.
(Dini hari. Surakarta, 6 Desember 2011)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya