Oleh: Fariha Ilyas
pada suatu sore
yang gelap, yang basah, yang hujan
tak ada kesusahan yang kurasa, tak jua kesenangan
hanya penerimaan
di jalan-jalan
yang sedikit sepi, yang basah, yang tergenangi
tak ada senyum yang kulihat, tak jua tangis
hanya kuyup
di stasiun
yang ramai, yang sibuk, yang hiruk-pikuk
kutemui sebuah miniatur dunia
tak ada henti
di stasiun
pada saat yang sama, saat kereta tiba
derit cakramnya tak seberapa kentara
namun ia menggetarkan hati
siapa yang datang dan akan pergi
di stasiun-lah harusnya para penyair hidup
jika ia memang selalu ingin berburu rasa
namun stasiun tak peduli, lama-lama
ia terus saja seperti itu
menjadi tempat tumpahnya rasa
aku teringat pada chairil
suatu waktu pernah kubaca tentangnya
bahwa ia sering nampak
di stasiun senen, sedang berbaring
dan kepalanya di atas paha seorang pelacur.
chairil, telah lama mengerti bahwa
stasiun adalah sebuah miniatur dunia.
stasiun menjadi wadah
bagi puncak-puncak perasaan manusia.
memang tak ada tempat lain,
sebaik stasiun, terminal,
atau tempat-tempat persinggahan lainnya
di mana kita dapat menyaksikan
orang-orang mendapati dan melepas
sesuatu yang berharga baginya.
di stasiun aku mengerti
arti nilai
dan kebermaknaan.
(Saat gerimis masih. Surakarta, 20 Desember 2011)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya